
Problematika rumah tangga, sebuah kisah nyata; karena kekonyolan seseorang nyaris kehilangan sesuatu yang paling indah dalam hidup di dunia dan sesuatu yang paling mahal dalam hidup di akhirat, yaitu jannah. Tetapi Allah ﷻ masih menyayanginya, sehingga ia menyadari akan kekhilafannya sesudah tenggelam dalam kelalaian dan bangun dari keteledorannya, dan akhirnya dia memperoleh pahala dan balasan yang baik, InsyaAllah.
Oleh sebab itu sebelum saya menurunkan kisah nyata, maka sebaiknya kita sejenak menerungkan dengan baik tentang bimbingan Nabi ﷺ dalam sabdanya,
الوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ البَابَ أَوِ احْفَظْهُ.
Artinya:
“Sesungguhnya orang tua adalah pintu surga yang paling bagus, terserah anda, apakah anda ingin menyia-nyiakan pintu itu atau ingin menjaganya. “[1]
Marilah kita simak kisah seorang yang telah bertaubat, ia bercerita, “Ayahku wafat ketika aku masih kecil. Sepeninggal ayahku aku diasuh oleh ibuku, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar bisa menghidupiku, sedangkan aku adalah anak satu-satunya. Ibuku memasukkanku ke Madrasah Ibtidaiyah dan aku pun belajar dengan tekun hingga aku berhasil menyelesaikan kuliahku.
Singkat cerita, akupun berhasil menyelesaikan studiku dalam beberapa tahun, kemudian aku pulang dengan sosok pribadi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Aku terpengaruh dengan budaya barat, aku merasa nilai keagamaanku mengalami kemunduran dan kemerosotan, hingga aku berubah menjadi seorang yang hanya percaya pada kehidupan materi. Waliyadzubillah. Benarlah sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنَّبَ الفِتْنَ، وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهَا.
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling bahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah dan siapa yang teruji kemudian sabar, maka sukses, “[2]
Aku mendapat pekerjaan dengan jabatan tinggi dan aku pun mulai mencari pasangan hidup untuk berumah tangga dan akhirnya menemukannya. Sebelumnya ibuku telah memilihkan untukku seorang gadis yang taat beragama dan terhormat, tetapi aku menolaknya. Aku memilih gadis pilihanku yang kaya raya dan cantik, karena aku memimpikan kehidupan serba modern dan hedonis. Enam bulan sesudah perkawinan, istriku membuat makar terhadap ibuku sehingga aku pun membenci ibuku. Pada suatu hari aku pulang ke rumah, aku dapati istriku sedang menangis. Aku bertanya kepadanya apa penyebabnya, ia berkata. “Pilih satu dari dua perkara, pilih aku atau ibumu yang tinggal di rumah ini, aku tidak bisa sabar menghadapinya lebih dari ini. Pusing kepalaku dibuatnya!” Hingga akhirnya aku mengusir ibuku dari rumah pada saat marah, dan ibuku keluar sambil menangis dan berkata, “Semoga Allah ﷻ membahagiakanmu wahai anakku.”
Oleh karenanya seorang anak harus sadar bahwa sang ibu merupakan pihak paling menderita dalam membesarkan anak, sehingga Allah ﷻ mengingatkan:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنَّا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَى الْمَصِيرُ
Artinya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (QS. Luqman: 14).
Cobalah perhatikan, betapa besar kasih sayang dan lembutnya perasaan seorang ibu. Walaupun anak satu-satunya mengusirnya dari rumah secara zalim dan kejam, namun ia tetap mendoakan yang baik bagi anaknya dalam kehidupan. Mari kita lanjutkan kisahnya.
Beberapa jam setelah itu, aku keluar untuk mencarinya, tapi tiada guna. Aku tidak menemukan ibuku, aku pulang ke rumah, Istriku berhasil menjalankan makarnya. Dan karena kejahilanku, aku melupakan ibu yang sangat berharga dan utama. Selanjutnya aku tidak mengetahui kabar ibuku selama beberapa hari. Selepas kejadian itu, aku terserang penyakit yang menjijikkan, sehingga aku terpaksa masuk rumah sakit. Ibuku mengetahui keadaanku, ia pun datang untuk menjengukku, saat itu istriku ada di sampingku. Tapi sebelum ibuku menjumpaiku, istriku mengusirnya. Ia berkata kepada ibuku, “Anakmu tidak ada di sini, mau apa engkau dari kami? Menyingkirlah dari sini!” Ibuku akhirnya pergi.
Setelah beberapa lama di rumah sakit, aku pun dibolehkan pulang. Selanjutnya, kehidupan dan kondisi jiwaku berubah total. Aku kehilangan pekerjaan. Rumahku terjual serta hutang-hutangku menggunung. Semua itu disebabkan istriku, ia menekanku dengan tuntutan-tuntutannya yang selangit. Dan akhirnya, istriku yang cantik itu mulai berubah. Ia berkata, “Sekarang engkau telah kehilangan pekerjaan dan hartamu. Engkau tidak memiliki kedudukkan terhormat lagi di tengah masyarakat dan terus terang aku katakan kepadamu; Aku sudah tidak tertarik denganmu, aku tidak membutuhkan dirimu. Ceraikan Aku!”
Kata-kata itu laksana petir yang menyambar ubun-ubunku, maka aku benar-benar menceraikannya. Dan saat itulah aku terbangun dari tidur lelapku selama ini. Aku keluar seperti orang linglung mencari ibuku. Aku yakin pada akhirnya akupun akan menemukannya, akan tetapi di mana aku menemukannya?
Ternyata, ibuku aku temukan di salah satu tempat penampungan orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (tunawisma) dan tidak ada orang yang menafkahi mereka. Tampak dari raut wajahnya bekas tangisan akibat goresan luka hati yang sangat dalam. Ketika melihatnya, aku langsung memeluk kakinya dan aku menangis sejadi-jadinya. Aku mohon ampunannya. Dan dia pun turut bercucuran air mata. Kami terus berpelukan dalam hujan tangis. Begitulah keadaan kami hingga lebih kurang satu jam lamanya. Sesudah itu aku membawanya ke rumah. Aku bersumpah akan mentaatinya, dan sebelumnya aku berjanji akan mentaati perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangan-Nya.”
Seorang Istri Muallaf Kecewa
Ada seorang wanita Eropa telah mendapat hidayah untuk meniti jalan Islam yang lurus dan berusaha sebisa mungkin mengikuti ajaran Islam dan menerapkan hukum Allahﷻ . Namun setelah menikah dengan lelaki Muslim, kehidupan rumah tangganya mengalami ketegangan hebat, yang mengakibatkan wanita muallaf tersebut meminta cerai, dikarenakan suaminya tidak peduli dengan shalatnya serta kebiasaan buruk lainnya yang menghiasi hidupnya.
Bila suaminya marah selalu mengancam akan menceraikannya dan mengusir dari rumahnya. Namun ketika sang istri bertekad ingin meninggalkan suaminya, suaminya menahannya dan menyesal serta berjanji akan merubah perilakunya. Akan tetapi ketegangan dan kabut rumah tangga tetap saja menyelimutinya, karena suaminya lemah keimanannya dan futur dalam menjalankan ibadahnya, terkadang masih melakukan kemaksiatan dan pelanggaran. Suatu contoh, dia sering mengatakan kata-kata kotor di depan putrinya dan mencium anak pada bagian-bagian tubuh yang tidak patut.
Sungguh sangat disayangkan, orang yang beragama Islam sejak kecil yang seharusnya memberi contoh yang baik dan mulia, tidak merusak citra Islam, tidak menimbulkan fitnah dan tidak menjadi batu sandungan bagi kaum muallaf untuk tertarik dengan keindahan Islam serta tidak menjadi penghambat bagi orang kafir untuk masuk Islam, sehingga benar firman Allahﷻ.
يا لَا تَجْعَلْنَا فِينَةٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 5)
Imam Qatadah berkata,”Ya Allah janganlah Engkau memenangkan kaum kuffar untuk mengalahkan kami, sehingga mereka mengfitnah kami dengan kemenangan itu, akhirnya mereka menganggap bahwa kemenangan tersebut karena kebenaran agama mereka dan kebatilan agama kami.”[3]
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ.
Artinya: “Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah terdapat pada sesuatu, kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan merusaknya”[4]
Namun bila akan menasihati suami, istri harus berhati-hati dan memperhatikan waktu yang tepat, karena tidak semua suami mau menerima nasihat dari istri, karena dianggap mengurangi kewibawaan dan dianggap melecehkan kepribadiannya. Dan sampaikan kepada suami dengan penuh hikmah dan perkataan yang baik diharapkan akan membuahkan hasil. Allahﷻ berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Dan yang tidak kalah penting, sang istri harus terus menerus memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh, semoga Dia memberi hidayah kepada suaminya dan berkenan memperbaiki akhlaknya yang buruk, dan semoga Dia melapangkan dada sang suami agar mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Istri Tidak Mau Menerima Nasihat
Kisah yang menimpa pasutri ini tergolong unik. Mereka sudah menikah selama empat tahun, istrinya tidak mau melaksanakan syiar-syiar agama, termasuk shalat. Setiap kali suaminya menyuruh salat dan berhijab istrinya selalu menolak dan mengatakan bahwa dirinya wanita terpelajar dan mengerti mana yang salah dan mana yang benar. Namun sang suami tidak berputus asa dan selalu berusaha memberinya pengertian dan pemahaman supaya takut kepada Allah, karena Allahﷻ berfirman,
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Haj: 30).
Alhamdulillah, setelah empat tahun berikutnya sang istri mulai membaik dan mulai berhijab, menunaikan shalat dan membaca al-Qur’an, meskipun masih sering keliru bacaannya, dikarenakan belum adanya keinginan yang serius untuk belajar membaca al-Qur’an. Namun dalam diri sang suami masih terdapat ganjalan, karena sang istri belum mempunyai kepedulian untuk mempelajari Islam, terutama yang terkait dengan hukum-hukum wanita. Ia tidak mau menerima pendapat siapa pun, karena menganggap keputusan dirinya adalah final, sikap tersebut adalah sombong, Nabiﷺ bersabda,
الكبرُ بَطَرُ الحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.
Artinya: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. “[5]
Sikap sang istri tersebut keliru dan termasuk wanita keras kepala, kami memohon kepada Allah ﷻ untuknya, agar memberinya hidayah kepada jalan yang lurus dan meninggalkan kebiasaan buruknya. Sebab kebiasaan sang istri tidak mau shalat, merupakan perbuatan mungkar yang sangat berbahaya dan termasuk kesalahan besar. Karena meninggalkan shalat akan menuntun pelakunya keluar dari agama Islam.
Demikian itu bagi orang yang meninggalkan Islam secara keseluruhan, sementara orang yang terkadang masih mau shalat masih tetap dianggap Muslim, meskipun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan satu kali shalat sekalipun, sehingga keluar dari waktunya adalah kafir, sebagaimana yang telah ditegaskan Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, maka hal itu menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan shalat. sehingga kita tidak boleh bosan mengajak keluarga untuk shalat. Allah ﷻ berfirman,
وَأَمْرَ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah anda dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).
Dari kasus di atas sang suami sudah menunaikan kewajiban sebagai pembina dan pengarah keluarga, terutama bagi istrinya, bahkan usaha untuk membimbing istrinya mulai tampak buahnya, meskipun belum maksimal. Dan hal itu merupakan langkah positif dan tindakan terpuji yang harus terus dipertahankan, sementara hasilnya diserahkan kepada Allahﷻ, karena yang mampu memberi taufik hanyalah Dia.
Suami harus berusaha terus menasihati istri baik yang terkait dengan akidah, ibadah, akhlak, fiqih dan muamalah. Usaha yang dia lakukan akan menjadi ladang pahala yang sangat besar, Rasulullah ﷺ bersabda,
لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ.
Artinya: “Andaikan ada seorang saja yang mendapatkan hidayah Allah karena (upaya)mu, itu lebih baik bagimu dari pada anda memiliki unta merah. “[6]
Barangkali melihat hasil dakwahnya tergolong lambat, namun boleh jadi kelak dapat memetik hasil yang memuaskan. Dari mulai tidak mau berhijab dan tidak mau memakai apapun, namun setelah dilakukan usaha yang baik, pemahaman dan pengertian yang memuaskan, disertai dengan ketulusan kelembutan, kesabaran, dan kesungguhan yang terus menerus, akhirnya mengalami perubahan dan tertanam kebaikan pada diri istrinya, walaupun hasilnya belum maksimal.
REFERENSI:
Dari “ Dr. Zaenal Abidin, Lc., M.M., Problem Solving Rumah Tangga,( Problematika Rumah Tangga, bagian 2), PT Rumah Media Imam Bonjol”. Diringkas oleh: Nurul Latifah
[1] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, No. 1900.
[2] Shahih: Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya, No. 4263
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8/71
[4] Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, No. 2594
[5] Shahih: Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya. no. 147
[6] Shahih: Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya, no. 2942
BACA JUGA :
Leave a Reply