
Memelihara Hak-hak Suami
Kunci perdana yang dapat kita gunakan untuk mengait simpati hati suami adalah menjaga hak-haknya sebagai suami, yang ini menjadi wajib bersamaan dengan terlaksananya akad pernikahan yakni hak-hak yang tercakup dalam konsep pergaulan yang baik dengan segala pengertiannya. Pemeliharaan hak-hak ini pasti mengantarkan pada tegaknya menara kebahagiaan dalam rumah tangga. Sebab, hak-hak tersebut adalah syariat Rabbani yang dibangun berdasarkan pengetahuan Allah terhadap berbagai kondisi hamba-hamba-Nya, bermacam sebab kebahagiaan serta keberuntungan mereka. Apa saja hak-hak suami yang harus dijalankan istri?
Adapun hak-hak suami yang harus dijalankan istri ada-lah sebagai berikut:
- Menaatinya dalam Kebaikan
Ketaatan istri pada suami adalah kewajiban syar’i yang secara gamblang ditunjukkan banyak nash. Sebagaimana juga sebuah prinsip pasti yang ditunjukkan oleh akal logika dan naluri. Alasannya, karena menyerahkan kendali dan kepemimpinan bahtera rumah tangga kepada suami tergolong unsur penting dalam menjalin ikatan rumah tangga dan memproteksinya dari keterceraiberaian dan perselisihan. Mengingat hal itu, maka ketaatan istri muslimah kepada suaminya adalah hak pertama yang mesti ia tunaikan. Sebab, melalui pemenuhan hak ini, berarti ia telah menjaga wibawa pribadi suami selaku kepala rumah tangga. Dengan menjaga ketataan ini menjadi elemen dasar bagi suami untuk merasakan kenyamanan dan ketenangan.
Hak suami ini telah ditunjukkan Al-Quran dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَت حَفِظَت لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Artinya; “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagı memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…“[1]
Sebagaimana juga ditunjukkan oleh As-Sunnah. Diriwa-yatkan dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
اثْنَانِ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمَا رُءُوسَهُمَا : عَبْدٌ أَبِقٌ مِنْ مَوَالِيهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
Artinya: “Dua orang yang shalat keduanya tidak melewati kepala ke-duanya, yakni budak yang lari dari tuannya sampai ia kembali padanya, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia kembali (mematuhinya).”[2]
Hilangnya akhlak taat ini dalam kehidupan rumah tangga pasti melahirkan ketidakharmonisan. Sebab, sama artinya menghilangkan syariat dan hukum Allah, serta memprotes ketetapan-Nya. Istri yang patuh dalam menaati suami tidak sekedar ingin mendapat muka di hadapan suami. Lebih dari itu, ia meyakini ketaatan kepada suami dalam kebaikan menjaminnya merengkuh nikmat surga dan ridha Ar-Rahman.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا : ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Artinya: “Apabila wanita (istri) menunaikan shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (kesuciannya) dan menaati suaminya, maka dikatakan kepadanya, masuk lah ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.”[3]
Ketika menafsirkan firman Allah, “…Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” (An-Nisa’ [4]: 34), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ini menuntut wajibnya wanita yang shalihah menaati suaminya secara total, baik berupa mengurus keperluannya, menyertainya bepergian, selalu siap melayani kebutuhan biologisnya dan lain sebagainya, seperti yang telah ditunjukkan sunnah Rasulullah dalam hadits ‘gunung merah’, hadits ‘sujud’ serta lainnya. Persis seperti menaati kedua orang tua. Sebab, segala bentuk kepatuhan yang sebelumnya menjadi hak kedua orang tua telah berpindah pada suami, dan tak tersisa satu pun kewajiban taat seorang wanita pada orang tuanya. Ketaatan pada kedua orang tua menjadi wajib karena hubungan kekeluargaan, sedang pada suami menjadi wajib karena perjanjian (akad nikah).” (Majmu’ Fatawa, XXXII: 260-261)
Tidak ada seorang lelaki pun kecuali membenci wanita yang bersikap sok jantan dan menyaingi laki-laki dalam hal kepemimpinan dan karakter maskulinnya. Oleh sebab itu, kepatuhan istri kepada suami tergolong media yang pasti melahirkan cinta suami dan mendapatkan kasih sayangnya inipun menjadi bukti kebaikan wanita muslimah yang bersangkutan dan kepahamannya akan pergaulan rumah tangga yang sukses. Dari Abu Hurairah, ia menuturkan, pernah ditanyakan, Wahai Rasulullah, wanita seperti apa yang paling baik?” Beliau menjawab:
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Artinya: “Wanita yang membuat suami senang bila melihatnya, taat bila suami memerintahnya, dan tidak menyelisihi suami terkait diri dan hartanya (istri) dengan apa yang tidak disukai suami.”[4]
- Menjaga Suami Ketika Ada Maupun Tidak Ada
Termasuk juga di antara cara meraih simpati suami dan mendapat penghormatan serta penghargaannya adalah menjaga hak-haknya, baik saat suami ada maupun tidak ada di rumah. Menjaga suami di kala ada meliputi memelihara hak-haknya secara keseluruhan, seperti hak dilayani di rumah, hak ranjang dan lainnya, yang akan kami bicarakan lebih rinci.
Sedang menjaga suami saat ia tidak ada di rumah berwujud dengan menjaga hartanya dan menjaga statusnya sebagai suaminya. Sebab, istri sama dengan kehormatan dan harga diri suami. Hak inlah yang disyaratkan Rasulullah ketika beliau bersabda, “Dan tidak menyelisihi suami terkait diri dan hartanya (istri) dengan apa yangtidak disukai suami,”. Juga tergolong menjaga suami saat tidak ada adalah memelihara rahasia rumah tangga yang sangat pantas ditutupi dan disembunyikan. Apalagi yang berubungan dengan maslahat suami atau yang dapat mencoreng reputasinya di tengah-tengah masyarakat.
- Melayani Suami dan Mendidik Anak-anaknya
Di antara tanggung jawab yang dibebankan kepada wanita muslimah dalam lingkup rumah tangga dan pelaksanaannya dapat menjadi kunci pembuka hati suami adalah melayani suami dan mendidik anak-anaknya. Sejauh mana bakti istri pada suami menentukan setinggi apa kedudukannya dalam hati suami. Dari Hushain bin Mihshan, ia menuturkan, “Bibiku bercerita padaku, ia berkata ‘Aku mendatangi Rasulullah untuk suatu keperluan. Maka beliau bertanya, ‘wahai wanita apakah engkau bersuami? Aku menjawab, ‘Aku tidak menyia-nyiakan (haknya), kecuali apa yang aku tidak sanggup melaksanakannya.’ Beliau bersabda, ‘Perhatikanlah bagaimana sikapmu padanya. Sebab ia adalah surga atau merakamu”.”[5]
Al-Allamah Nashiruddin Al-Albani mengatakan, “Hadits ini begitu jelas menunjukkan wajibnya istri menaati dan melayani suaminya sebatas kemampuan dirinya. Tidak dir-gukan, hal pertama yang termasuk dalam hal ini adalah melayaninya di rumah dan berbagai perkara yang berkaitan dengan pengasuhan anak serta semacamnya.” (Adabuz Zifaf, hal. 286). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Istri wajib melayani suami dengan pelayanan yang sepatutnya dilakukan wanita. Hal ini bervariasi disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pelayanan yang wajib dilakukan wanita desa tidak seperti yang wajib ditunaikan wanita kota, pelayanan yang wajib dilaksanakan wanita berfisik kuat tidak seperti yang mesti ditunaikan wanita berfisik lemah.” (Majmu’ Fatawa, XXXII: 260)
- Meminta Izin
Di antara untaian akhlak baik dalam kehidupan rumah tangga yang dapat diusahakan wanita muslimah untuk meraih simpati suami adalah etika meminta izin. Permintaan izin wanita muslimah pada suaminya ketika hendak keluar rumah atau puasa sunnah, misalnya, membuat suami merasakan haknya dalam melindungi keluarga dan haknya yang disyariatkan dalam pergaulan. Pasti hal ini memotivasinya untuk menghormati istri dan memuliakannya.
Pada dasarnya wanita harus berada di rumah, sebagai mana tersurat dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala: Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami. Dan, tak seorang pun boleh membawanya keluar dan menghalanginya dari suaminya, baik karena pekerjaannya sebagai tukang menyusui, sebagai bidan atau pekerjaan yang lain. Bila ia berani keluar dari rumah tanpa seizin suami berarti ia berbuat musyuz (durhaka kepada suami), bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta layak mendapat hukuman.” (Majmić Fa-tawa, XXXII: 281)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا يَحِلُّ لِلْمَرْأَة أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْته إلا بإذنه
Artinya; “Tidak halal seorang wanita berpuasa sunnah sementara suaminya ada, kecuali dengan izinnya. Dan, ia tidak boleh mengizinkan (seseorang masuk rumahnya), kecuali dengan izmnya (suami).”[7]
Imam Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Sebab pengharaman ini adalah adanya hak suami bersenang-senang dengan istri di setiap waktu, dan hak ini wajib ditunaikan dengan segera. Maka, tidak bisa dikalahkan dengan ibadah sunnah maupun ibadah wajib yang pelaksanaannya tidak harus segera dilaku-kan (bisa ditunda).” (Fathul Bari, IX: 296)
- Hak Pergaulan
Seorang istri yang bijak tidak hanya berusaha memanjakan suami dengan beragam menu hidangan. Tapi, ia bisa memvariasinya dengan pergaulan baiknya dan selalu siap melayani suami, yakni sebagai tempat ketenangan dan ‘baju’ bagi suami. Ini demi melakanakan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التنور
Artinya: “Apabila laki-laki memanggil istrinya untuk satu kebutuhan (berjimak), hendaknya ia mendatanginya, meskipun ia sedang berada di depan tungku (memasak).” [8]
Semoga kita dapat menjadi istri yang mendapatkan taufiq untuk menunaikan dan memelihara hak-hak suami, serta menjadi salah satu penghuni surga dengan segala kenikmatannya. Aamiin.
Referensi:
Syaikh Nada Abu Ahmad dan Abul Hasan bin Muhammad Al-Faqih. 2019. Suami Shalih Aku Merindukanmu. Sukoharjo: Kiswah
Diringkas oleh:
Shofwah Ummu Zubair (Pengajar Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)
[1] An-Nisa’ [4]: 34
[2] HR. Hakim
[3] HR. Ahmad dan Ibnu Hibban
[4] HR. Hakim
[5] HR. Hakim
[6] Al-Ahzab [33]:33
[7] HR. Bukhari dan Muslim
[8] HR. Tirmidzi
Baca juga artikel:
Ajukan Pertanyaan atau Komentar