Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Kisah Nabi Adam

KISAH NABI ADAM

 

KISAH NABI ADAM

Allah adalah Dzat Yang Maha Awal, tiada sesuatu sebelum-Nya. Dia juga senantiasa melakukan apa yang Dia kehendaki. Tidaklah terlepas suatu-waktupun dari perbuatan dan perkataan yang bersumber dari kehendak dan keinginan-Nya sesuai dengan hikmah Allah, Dzat Yang Maha Bijaksana pada setiap takdir dan ketetapan-Nya, pun Maha Bijaksana pada seluruh syariat-Nya (yang Dia tetapkan) bagi para hamba-hamba-Nya.

Maka, tatkala hikmah Allah yang luas, ilmu-Nya yang menyeluruh, serta rahmat-Nya yang sempurna menuntut diciptakannya Nabi Adam, sang bapak manusia, dimana Allah telah benar-benar melebihkan manusia dari kebanyakan makhluk-Nya yang lain Allah pun mengumumkan hal itu kepada para malaikat. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَة

Artinya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (pengganti) di muka bumi.” [QS. Al-Baqarah:30]

Untuk menggantikan makhluk-makhluk sebelum mereka yang hanya diketahui oleh Allah saja.

قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ

Artinya: “Para malaikat berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” [QS. Al-Baqarah: 30] 

Ini merupakan pengagungan dan pemuliaan para malaikat kepada Rabb’ mereka, di mana terkadang Allah menciptakan makhluk serupa dengan akhlak makhluk yang terdahulu, atau (kemungkinan yang kedua), Allah mengabarkan kepada malaikat tentang penciptaan Nabi Adam dan apa yang akan terjadi dari keturunan beliau yang jahat. Allah pun menjawab kepada malaikat:

إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” [QS. Al-Baqarah: 30]

Dia lah yang ilmu-Nya mencakup segala sesuatu, khususnya maslahat dan manfaat yang tak terbilang yang akan terjadi pada makhluk ini. Allah Ta’ala mengingatkan mereka dengan diri-Nya, kesempurnaan ilmu-Nya, serta kewajiban mengakui keluasan ilmu dan hikmah Allah, yang di antararıya adalah bahwa Dia tidak akan menciptakan sesuatu sia-sia atau tanpa hikmah.

Kemudian Dia menjelaskan secara terperinci (tentang penciptaan Nabi Adam). Allah menciptakan Nabi Adam dengan Tangan-Nya sebagai bentuk pemuliaan baginya atas seluruh makhluk. Dia genggam segenggam tanah dari seluruh jenisnya, yang lunak dan yang keras, serta yang baik dan yang buruk, agar keturunannya nanti bertabiat seperti itu.

Nabi Adam awalnya adalah tanah, lalu Allah memberi air padanya, dan jadilah dia ath-thiin (air bercampur tanah). Kemudian, tatkala air telah lama bercampur dengan ath-thiin tersebut, berubahlah ia menjadi lumpur yang dibentuk, sebuah campuran air dan tanah yang berwarna hitam. Lalu Allah pun mengeringkannya setelah membentuknya. Jadilah ia seperti tembikar yang memiliki suara, di mana pada tahapan ini, Nabi Adam masih berupa jasad tanpa ruh. Setelah sempurna penciptaan beliau, ditiupkanlah ruh kepadanya. Berubahlah jasad yang mulanya mati menjadi hidup, memiliki tulang, daging, syaraf, pembuluh darah, serta ruh, inilah manusia yang sesungguhnya. Lalu Allah mempersiapkannya untuk bisa menyerap seluruh pengetahuan dan kebaikan.

Setelah itu, Allah sempurnakan nikmat kepadanya. Dia ajari nama-nama benda seluruhnya. Ilmu yang sempurna menjadikan kelengkapan akhlak yang sempurna. Lalu Allah pun ingin memperlihatkan kesempurnaan makhluk ini kepada para malaikat. Dia perlihatkan benda-benda tersebut kepada malaikat seraya berkata kepada mereka:

و الْيَتُونَ بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاهُ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Artinya: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian memang benar orang-orang yang benar!” (QS. Al- Baqarah: 31]

Yakni jika kalian benar pada maksud ucapan kalian sebelumnya bahwa Allah tidak menciptakan Nabi Adam itu lebih baik. Dan ucapan mereka ini didasarkan kepada apa yang mereka ketahui waktu itu, (bukan bermaksud untuk kufur kepada hikmah Allah).

Malaikat pun tidak mengetahui nama-nama benda tersebut, mereka menjawab:

سُبْحانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Artinya: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. Al-Baqarah: 32]

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يَادَمُ أَنْبِتْهُم بِأَسْمَانِهِمْ

Artinya: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” [QS. Al-Baqarah: 33]

Para malaikat pun menyaksikan sebagian kesempurnaan makhluk ini serta ilmunya yang tidak mereka sangka. Dari kejadian ini, mereka benar-benar mengetahui dengan bukti yang ada betapa sempurnanya hikmah Allah, sehingga mereka kemudian benar-benar menghargai Nabi Adam. Lalu Allah ingin menampakkan pemuliaan dan penghormatan para malaikat kepada Nabi Adam berfirman kepada malaikat: secara lahir batin. Dia berfirman kepada malaikat:

اسْجُدُوا لِآدَمَ

Artinya: “Sujudlah kalian kepada Adam,” [QS. Al-Baqarah: 34]

Untuk menghormatinya, mengagungkannya, memuliakannya sekaligus sebagai bentuk ibadah, ketaatan, kecintaan, dan perendahan diri kepada Rabb kalian.

Mereka semua segera bersujud. Dan Iblis disaat itu bersama mereka. Perintah untuk bersujud tertuju kepadanya pula, namun ia bukan dari kalangan malaikat, dia termasuk jenis jin yang tercipta dari api yang panas. Dia menyembunyikan kekufuran kepada Allah serta hasad (dengki) kepada manusia yang telah Allah utamakan dengan kelebihan ini.

Kesombongan dan kekufurannya menyebabkannya menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk kesombongan dan kekufuran kepada Allah. Tidak hanya menolak, dia bahkan menyanggah Rabb-Nya serta mencela kebijaksanaan-Nya. Dia berkata:

أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Artinya: “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang Engkau ciptakan dia dari tanah”. [QS. Al-A’raf: 12]

Allah pun menjawabnya:

يَتَإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَى أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ

Artinya: “Hai iblis, apa yang menghalangimu untuk sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih tinggi?” [QS. Shad: 75]

Kekufuran, kesombongan, keengganan dan penolakan yang keras ini merupakan sebab satu-satunya yang menjadikannya terusir dan terlaknat.

Allah berkata kepadanya:

فَاهْبِطَ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَن تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَأَخْرُجَ إِنَّكَ مِنَ الصَّفِرِينَ

Artinya: “Turunlah kamu dari surga itu! Tidak sepatutnya engkau menyombongkan diri di dalamnya. Maka keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.”  [QS. Al-A’raf: 13] 

Si jahat (Iblis) ini tidak mau tunduk kepada Rabb-Nya dan bertaubat kepada-Nya, justru dia menampakkan permusuhan, serta benar-benar berkeras hati untuk memusuhi Nabi Adam dan keturunan beliau. Dia persiapkan dirinya karena dia mengetahui bahwa pasti dia akan mendapatkan kesengsaraan abadi untuk mengajak keturunan Nabi Adam dengan ucapan, perbuatan, dan bala tentaranya agar menjadi kelompoknya yang dipastikan mendapatkan negeri kebinasaan. Dia berkata:

رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Artinya: “Ya Rabbku, beri tangguhlah aku sampai hari merek dibangkitkan”. [QS. Shad: 79]

Untuk memfokuskan diri dalam bersungguh-sungguh memusuhi Nabi Adam dan keturunannya.

Maka, tatkala hikmah Allah menuntut bahwa manusia memiliki tabiat yang berbeda-beda, ada yang berakhlak baik ada juga yang buruk, maka harus ada pembedaan dan pemisahan akhlak-akhlak ini yaitu dengan menakdirkan sebab-sebab pemisahan tersebut berupa cobaan serta ujian dan yang paling besar di antaranya adalah kemampuan musuh ini untuk mengajak kepada seluruh keburukan. Maka dari itu, Allah menjawab dengan firman-Nya:

قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ

Artinya: “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh.. Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).” [QS. Shad: 80-81]

Si Iblis ini pun berkata kepada Rabb-Nya, memproklamasikan kemaksiatan dan permusuhannya kepada Nabi Adam dan keturunannya:

فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لَا تِيَنَّهُم مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَنِهِمْ وَعَن شَمَا بِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شکرین

Artinya; “Karena Engkau telah menyesatkanku, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus.*. kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” [QS. Al-A’raf: 16-17]

Yakni, kalau engkau mampu, jadikanlah mereka melenceng dalam mendidik anak-anak mereka, sehingga mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang memberikan madharat, dan pada pembelanjaan harta mereka sehingga membelanjakannya ke dalam pembelanjaan yang bermadharat begitu pula dari penghasilan yang bermadharat. Dan sertailah siapa saja dari mereka yang makan, minum, atau jima’ tanpa menyebut nama Allah ketika menikmati harta mereka tersebut dan (untuk mendapatkan) anak وعدهُمْ “janjikanlah mereka” yakni perintahkanlah mereka untuk mendustakan hari kebangkitan dan hari pembalasan, serta perintahkan mereka untuk tidak melakukan kebaikan, juga takut-takutilah mereka dari berinfak pada sesuatu yang bermanfaat dengan kekejian (yakni menyebut-nyebut pemberian) dan kekikiran. Di balik ini semua terdapat hikmah-hikmah Allah yang agung dan (manfaat) yang tersembunyi.

Dan engkau, wahai musuh yang nyata, gunakan seluruh kemampuanmu untuk menyesatkan manusia! Sehingga orang yang buruk di kalangan manusia nampak keburukannya dan jelas kejahatannya, dan Allah membiarkannya. tidak peduli kepadanya dan

Adapun keturunan Nabi Adam yang khusus dari para Nabi serta para pengikutnya, dari kalangan shiddiqiin, orang-orang pilihan, para wali, serta kaum mukminin, Allah tidak menguasakan si musuh ini terhadap mereka. Namun, Allah menegakkan pagar yang kokoh, inilah perlindungan dan pencukupan-Nya. Allah juga membekali mereka dengan senjata yang tidak tertandingi oleh musuh mereka berupa kesempurnaan iman kepada Allah dan kekuatan tawakkal kepada-Nya. Wallahu ta’ala a’lam.

REFERENSI:

DiTulis Oleh : Asy-Syaihk Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy

DiRingkas Dari : Abdul Hadi Martapian

DiAmbil Dari : Buku Mutiara Hikmah Dari Kisah Para Nabi

Baca juga artikel:

Enam Tahap Godaan Setan Bagian 1

Pentingnya Belajar Tauhid Formal dan Nonformal

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.