
Jadilah Lentera – Orang yang merasakan nikmatnya hidayah dan manisnya iman, berarti dia telah memiliki motivasi yang kuat dalam hidupnya. Tidak hanya itu, dia pun tidak akan pernah merasa puas atas sesuatu.
Dia tidak puas jika hanya dirinya yang merasakan kenikmatan dan kebahagian. Dia bagaikan lentera yang menerangi dirinya sendiri dan juga orang lain.
Allah ‘Azza Wajalla berfirman:
أومن كان ميتا فأحيينه وجعلنا له نورايمشي به في الناس كمن مثله في الظلمت ليس بجارج منها ج كذ لك زين للكفرين ماكانوا يعملون
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan ditengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?Demikianlah dijadikan terasa indah bagi otetrang-orang kafir terhadapapa yang mereka kerjakan.” (QS.Al-An’am [6]: 122)
Konteks ini juga ditamsilkan pleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallambagaikan danau luas yang menampung air untuk kebutuhan minum manusia dan ternak. Selain itu, ia juga memberi penghidupan untuk tanaman dan pepohonan yang ada disekitarnya.
Tidak sedikit kelompok pergerakan maupun jamaah dakwah yang mencetak para da’i karbitan. Mereka melakukan pengkaderan kepada para da’i tersebut dalam waktu yang relatife singkat. Sayangnya, sebagian besar mereka kosong dari ilmu dan jauh dari hikmah . ironisnya, mereka lebih dekat pada kebodohan daripada terhadap ilmu dan pengetahuan. Mereka lebih layak menjadi jamaah thalabul ‘ilmi daripada menjadi seorang da’i. hanya saja, karena jamaah dan pergerakannya membutuhkan orang-orang yang dapat menghidupkan pemahaman, maka dicetaklah da’i-da’i karbitan tadi. Akibatnya, apa yang dia rusak lebih banyak daripada yang dia perbaiki.
Berbeda dengan Salaf, yang memang jumlah da’inya tidak seberapa. Bisa jadi dalam satu kota hanya terdapat satu atau dua orang da’i, bahkan terkadang seorang da’i mendakwahi beberapa wilayah. Dan dalam hal ini, setiap individu yang telah menerima kebenaran ini, kiranya telah menjadi mesin pencetak orang-orang semisalnya. Setiap minggu ada saja orang yang dia bawa untuk datang ke pengajian, atau minimal pengajian yang telah dia terima malam itu telah dia sampaikan pula kepada orang-orang di sekitarnya.
Adalah para Sahabat Nabi juga merupakan da’i-da’i yang disiapkan oleh Nabi, seperti Mu’adz bin Jabal, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud. Mereka bukanlah da’i karbitan. Jumlahnya itu memenag tidak banyak, hanya saja setiap individu Sahabat adalah lentera dan secara tidak langsung telah menjadi da’i yang mengajak pada kebenaran sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka tidak tahan melihat saudranya dalam kesesatan, sedangkan dia dalam kenikmatan iman.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jubair bin Nufair, dia menuturkan: “Suatu ketika, kami duduk Bersama Miqdad bin Aswad radiyallahu’anhu. Tiba-tiba seorang melintas dihadapannya seraya berkata: ‘Berbahagialah kedua mata yang pernah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Betapa ingin sekali kami melihat apa yang pernah saksikan.’perkataan itu membuat Miqdad marah, sehingga aku pun heran atas kemarahannya, karena tidak ada yang salah dengan perkataan orang itu.
Al-Miqdad menghadap ke orang itu dan berkata: ‘Apa yang membuat seseorang ingn menyaksikan sesuatu yang Allah jadikan dia tidak dapat menyaksikannya. Padahal dia tidak tahu akan seperti apa sikapnya bila dia menyaksikan sesuatu tersebut? Demi Allah! Tidak sedikit orang yang telah menyaksikan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, namun hal itu justru membuat mereka terjerumus ke dalam Neraka. Pasalnya, mereka tidak memenhi seruan beliau dan tidak membenarkan beliau. Mengapa kalian tidak bersyukur kepada Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan telah mengenal Rabb dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi kalian. Sungguh, kalian sudah digantikan olehorang lain dalam menghadapi malapetakaitu! Sungguh, Allah telah mengutus Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallampada masa yang paling genting, masa diamana Dia penah mengutus salah seorang Nabi pada masa jahiliyah. Pada masa itu, orang-orang menilai bahwa tidak ada agama yang lebih baik daripada penyembahan berhala. Lalu beliau datang dengan membawa al-Furqan yang membedakan antara yang haq dengan yang bathil, serta memisahkan antara anak dan ayahnya.
Hingga ketika seseorang yang hatinya telah dibukakakan untuk menerima keimanan melihat ayah, anak, atau saudaranya berada dalam kekafiran, maka dia mengetahui bahwa jika ayah, anak atau saudaranya itu meninggal niscaya mereka akan masuk Neraka.’ (Tafsir Ibnu Katsir (III/439). Beliau berkata: ”sanadnya shahih, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim.”)
Begitulah gambaran kecintaan Sahabat kepada keluarga dan kerabatnya dalam memberi hidayah. Hati mereka tidak merasa tenteram kecuali dengan menunjuki orang lain kepada hidayah. Merekalah lentera kebenaran yang sebenarnya.
Tugas termulia bagi seorang muslim setelah memperoleh hidayah dalam mengajak orang lain mendapatkan hidayah tersebut. Karena dengan cara itulah hiadayah akan kekal pada dirinya. Bukankah al-jaza’ min jinsil ‘amal atau ganjaran diberikan sesuai dengan jenis usaha yang dilakukan?
Jika hari ini seorang telah memberi hidayah kepada orang lain, maka Allah akan menganugerahkannya ganjaran yang serupa dengan amalnya. Yaitu dengan hatinya dalam menerima hidayah, seperti do’a Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
اللهم زينا بزينة الإيمان ، واجعلنا هداة مهتدين
“Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan jadikanlah kami memberi petunjuk yang mendapatkan hidayah.” (HR. Ahmad dan an-Nasa-i)
Allah memuji hamba mukmin yang memohon agar dijadikan pemimpin yang diberi hidayah. Allah berfirman;
والذين يقولون ربنا هب لنا من أزوجنا وذريتنا قرةأعين واجعلناللمتقين إماما
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’ “(QS. Al-Furqan [25]:74)
Mengenai firman-Nya ini, Ibnu Abbas menjelaskan: “Meniru kami dan mengambil hidayah dari kami dalam hal kebaikan.” Ma’khul berkata: “Jadikanlah kami sebagai pemimpin dalam ketakwaan, sehingga orang-orang yang bertakwa mengikuti kami.”
Dalam hal ini, Hasan al-Bashri berkata: ‘Tidak ada yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada melihat anak, cucu, atau teman sejawatnya menaati Allah ‘Azza Wajalla.” (Tafsir Ibnu Katsir (III/439).
Mujahid berkata: “Jadikanlah kami makmum orang-orang yang bertakwa dan meneladani mereka.” Sebagian orang yang tidak mengerti pemahaman dan kedalaman ilmu Salaf, akan merasa sulit mengartikan tafsiran ini. Mereka berkata: “Berdasarkan tafsiran ini, susunan ayat menjadi terbalik, sehingga bermakna: ‘Jadikanlah orang-orang yang bertakwa pemimpin kami.” Kita berlindung dari menafsirkan ayat dalam susunan yang terbalik.
Penafsiran Mujahid ini menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau, karena tidak mungkin seorang menjadi pemimmpin bagi orang-orang yang bertakwa, sampai dia mengikuti orang-orang yang bertakwa. Maksudnya, Mujahid ingin menegaskan bahwa kemuliaan ini mereka peroleh dengan mengikuti ajaran Salaf. Barang siapa yang menjadi Ahlu Sunnah sebagai panutannya, niscaya orang-orang semasanya dan selahnya akan menjadikan dirinya sebagai panutan.
Dalam ayat ini, ada sebuah rahasia, yaitu mengapa kata imaman pada ayat ini berbentuk mufrad (tunggal), tidak jamak: waj’alna lil-muttaqinan a-immatan. Sebagian mengatakan bahwa lafazh imam memang berbentuk mufrad, akan tetapi maksudnya jama’. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Farra. Akan tetapi, jawaban yang terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim, bahwa orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu berada di jalan yang satu, menyembah Dzat yang diibadahi yang satu, pengikut Kitab yang satu, meneladani nabi yang satu, menjadi hamba dari Rabb yang satu, dan agama mereka satu. Mereka bagaikan imam yang satu, tidak seperti para imam lain yang setiap mereka berselisih maka berbeda pula ajaran,mazhab,dan akidah mereka. (Risalah Ibnul Qayyim hal.15)
Wallahu a’lam.
TUNJUKILAH AKU JALAN YANG LURUS
Hajat dari seorang hamba kepada hidayah sama seperti kebutuhannya kepada udara untuk bernafas. Ketika seorang hamba jauh dari hidayah, niscaya kebinasaan dan kesengsaraan akan segera menimpanya. Itulah do’a Nabi Shalallahu ‘Aalaihi Wasallam terkait diri beliau: “Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri (untuk mengurusnya), sekejap pun.”
Imam Ahmad menuturkan: “Kebutuhan seorang hamba kepada hidayah, melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Makanan dan minuman hanya dibutuhkan satu atau dua kali saja, hidayah justru dibutuhkan sesuai jumlah helaan nafas.” (Miftah Daris Sa’dah I/61)
Do’a hamba dalam shalatnya: Ihdinash shirathal mustaqim,’tunjukilah kami hidayah ke jalan yang lurus”, karena seorang hamba tidsk bisa lepas dari hidayah ini.
Berapa banyak perkara syariat yang tidak dia ketahui, sehingga dia memohon kepada Allah ‘Azza Wajalla agar diberikan hidayah menuju kepada yang haq.
Berapa banyak dia mengetahui jalan hidayah, akan tetapi banyak itu pula dia tunaikan dengan cara dan metode yang benar. Sehingga dia memohon agar dituntun kepada hidayah tobat dan ampunan dari segala kelalaian.
Berapa banyak dia tidak mengetahui seluk-beluk hidayah dalam hal ilmu dan pengalamannya. Maka itulah dia membutuhkan anugerah-Nya, mohon agar ditunjuki maksud dan tujuannya.
Berapa kali dia melangkah di atas kebenaran, akan tetapi berapa banyak pula kebenaran yang belum dia ketahui. Oleh karena itulah dia selalu memohon agar diberi kesempurnaan hidayah.
Berapa banyak pula dia mengetahui hidayah secara global, dan sekarang dia membutuhkan penjelasan dan rinciannya.
Berapa banyak seorang hamba telah mengetahui jalan kebenaran, tetapi dia membutuhkan detail prjalanannya menuju hidayah.
Ketika seorang hamba telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar, maka seorang dia membutuhksn petunjuk untuk berjalan di atas jalan kebenaran itu. Karena, hidayah menuju sebuah jalan adalah satu permasalahan tersendiri, sebagaimana hidayah dalam menjalani perjalanan tersebut juga merupakan permasalahan yang lain lagi.
Tahukah anda? Ketika seseorang menunjukkan jalan yang harus Anda lintasi; ketika anda bertanya tentang jalan menuju sebuah kampung terpencil, tentunya Anda tidak mencukupkan dengan pertanyaan yang simple. Akan tetapi, anda akan meminta petunjuk secara detail tentang perjalanan menuju perkampungan tersebut. Kendaraan apa yang dapat dipakai untuk menuju kampung tersebut? Adakah tempat persinggahan di tengah jalan nanti? Manakah yang lebih baik, perjalanan pada malam hari atau siang hari? Pantangan apa yang harus djauhi? Bgaimana kondisi jalannya, apakah banyak rintangan?
Mengetahui arah jalan itulah hidayah umum, sedangkan mengetahui perincian perjalanan menuju perkampungan tersebu adalah hidayah khusus.
Seorang hamba yang telah diberi hidayah pada waktu yang lalu, maka diwaktu sekarang dan masa yang akan datang pun dia masih tetap membutuhkan hidayah agar dirinya selalu ditetapkan di atas kebenaran, sehingga dia istiqamah di atas yang haq.
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Hidayah itu terbagi dua, Pertama, hidayah umum, yaitu hidayah Islam dan Iman, dan orang yang beriman telah mendapatkan hidayah ini.kedua,hidayah khusus, yaitu hidayah tentang pemahaman seorang mukmin terhadap rincian bagian-bagian Islam,serta bantuan-Nya dalam memberikan kepahaman kepadanya.
Seorang mukmin selalu berhajat kepada hidayah ini. Oleh karena itu, ketika shalat seorang hamba diperintahkan untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus: ihdinash shiratal mustaqim.
Dan pada setiap do’a malam yang dipanjatkannya, Rasulullah memohon kepada-Nya:
(( اهد ني لما اختلفوا فيه من الحق بإذنك ، إنك تهدي من تشاء إلي صراط مستقيم ))
‘Berilah aku hidayah kebenaran oada setiap yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau Maha memberi petunjuk menuju jalan yang lurus kepada orang yang Engkau kehendaki.’
Maka itu pula, ketika seorang bersin, dia dido’akan dengan ucapan: Yarhamukallah “semoga Allah merahmatimu”, lalu dia membalasnya dengan ucapan; Yahdikumullah “semoga Allah memberikanmu petunjuk”, sebagaimana yang telah diterangkan oeleh Sunnah tentang hal itu.” (Jami’ul Ulum wal Hikam I/157)
Disadur dari Buku : Untukmu Yang Berjiwa Hanif (Armen Halim Naro, Lc)
Diringkas oleh : Yuni Azrah (Yasmin)
BACA JUGA :
Ajukan Pertanyaan atau Komentar