Oleh Brilly El-Rasheed
Hidup ini penuh misteri. Banyak sekali hal-hal ghoib yang sengaja Alloh khususkan untuk menjadi ilmu-Nya semata sehingga kita sebagai manusia ciptaan-Nya tidak bisa menjangkaunya. Itu merupakan hikmah yang Alloh inginkan untuk dipahami manusia. Salah satunya terkait dengan istidroj.
Istidroj adalah Alloh tetap melimpahkan nikmat-nikmat dunia kepada ahli maksiat dalam waktu tertentu hingga pada waktu yang dikehendaki Alloh, Alloh kemudian menimpakan adzab secara langsung dan tiba-tiba kepadanya di dunia.
Tidak mudah untuk mengetahui apakah diri kita sedang diistidroj atau diberi nikmat. Cukup sulit untuk membedakannya. Sebab, sebagaimana disimpulkan dari sekian ayat suci Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi, bahwa limpahan nikmat dari Alloh itu bisa saja merupakan nikmat karunia Alloh, bisa merupakan ‘inayah dari Alloh untuk memudahkan kita dalam beribadah, bisa merupakan balasan kebaikan yang disegerakan, bisa merupakan ujian keimanan, bisa merupakan adzab yang disegerakan, bisa merupakan istidroj, bisa merupakan wujud lain pengabulan doa.
Maka perlu ada kejelian mengukur diri dan limpahan nikmat yang kita terima apakah nikmat, apakah istidroj, apakah adzab. Kita bersyukur kepada Alloh, dimana Alloh telah menyampaikan indikator istidroj melalui lisan Nabi-Nya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi Muhammad berkata,
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِيْ الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَ هُوَ مُقِيْمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اِسْتِدْرَاجٌ
“Jika engkau melihat Alloh terus saja memberikan kepada seorang hamba kenikmatan dunia yang dicintainya padahal dia senantiasa tetap berada pada kemaksiatan, maka itu sesungguhnya adalah istidroj.”
(Shahih: Shahih Al-Jami’ no. 561)
Al-Munawi menguraikan, istidroj adalah Alloh memberikan karunia kenikmatan dunia untuk menurunkan derajat seseorang atas maksiat yang selalu dilakukannya. (Faidh Al-Qadir 1/455-Shamela)
Alloh berfirman,
إِنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ لِيَزْدَادُوْا إِثْمًا
“Sesungguhnya Kami melapangkan untuk mereka hanyalah untuk menjadikan dosa mereka terus bertambah.” [QS. Ali ‘Imran: 178]
Alloh mengingatkan kepada kaum mu`minin agar tidak tertipu dengan bebasnya orang-orang kafir, musyrik dan fajir/fasiq dalam kehidupan dunia menikmati berbagai kenikmatan dunia.
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ. نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa kami lapangkan untuk mereka harta dan anak (adalah kebaikan) adalah bahwa Kami menginginkan kebaikan yang segera bagi mereka? Sekali-kali tidak melainkan mereka tidak menyadarinya (bahwa itu adalah istidroj).” (QS. Al-Mu`minun: 55, 56)
Karenanya kita perlu untuk senantiasa bertafakkur dan bermuhasabah mencari tahu apa di balik berbagai nikmat yang begitu melimpah sehingga kita sadar bahwa diri ini sedang diistidroj ataukah diberi nikmat oleh Alloh. Sebab istidroj itu sangatlah halus dan sulit untuk disadari kecuali orang-orang yang memiliki pemahaman ilmu syar’i yang benar. Seperti ditegaskan oleh Alloh,
فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ
“Maka tinggalkanlah Aku dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini, niscaya Kami akan mengistidroj mereka dari jalan yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)
Memang istidroj dijadikan Alloh sebagai tipuan agar para fajir dan fasiq yang dibenci oleh Alloh akan terus-menerus dalam kemaksiatan sehingga itu akan menjadi sebab Alloh menyiksa mereka di dunia, tidak perlu menunggu di akhirat. Sebab di akhirat, ada sendiri siksaan yang lebih pedih. Alloh mengisyaratkan hal tersebut,
فَلا تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَلا أَوْلادُهُمْ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كَافِرُونَ
“Maka janganlah engkau dijadikan takjub dengan harta mereka dan anak-anak mereka, sesungguhnya Alloh hanyalah ingin mengadzab mereka dengan itu semua dalam kehidupan di dunia, dan menghancurkan diri mereka, dan mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah: 55)
Namun ada pula anomali dari istidroj tersebut? Seperti apa? Rosululloh telah memperjelas hal itu,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Alloh menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba maka Alloh akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Dan apabila Alloh menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Alloh akan menunda hukuman atas dosanya itu sampai pada hari kiamat nanti hukuman itu baru akan ditunaikan.”
(Sunan At-Tirmidzi. Shahih Al-Jami’ no. 308)
Jadi, jika kita ingin mengetahui apakah adzab yang kita terima dari Alloh itu merupakan istidroj ataukah kehendak kebaikan dari Alloh, maka kita harus mengevaluasi, adakah diri ini termasuk orang-orang yang hari-harinya berhias dosa. Kita harus melihat ke belakang, seberapa banyak dosa kita dibanding kebaikan kita.
Ketika kita adalah lebih banyak beramal sholih kemudian mendapatkan adzab atas beberapa dosa yang telah lampau, insya Alloh itu kehendak yang baik. Namun jika kita adalah lebih banyak maksiatnya, kemudian mendapatkan nikmat selalu, maka kita perlu waspada, jangan-jangan ini adalah istidroj dari Alloh atas diri kita.
Kita tentu saja berharap, semoga Alloh menghendaki kebaikan bagi diri kita, namun kita tidak boleh berharap Alloh menimpakan hukuman kepada kita baik di dunia dan di akhirat, melainkan kita berharap Alloh mengampuni dosa-dosa kita.
Akan tetapi, andaikata ternyata kita sedang diistidroj oleh Alloh? Kita tidak boleh putus asa dari rahmah Alloh. Kita tidak boleh beranggapan bahwa kita pasti akan disiksa selamanya tanpa henti. Kita bahkan harus berharap kepada Alloh bahwa Alloh pasti akan menghentikan istidrojnya, dan akan diganti-Nya dengan rahmah-Nya.
Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,
الكبائر: الإشراك بالله ، والأمن من مكر الله ، والقنوط من رحمة الله ، واليأس من روح الله
“Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Alloh, merasa aman dari makar Alloh, putus asa terhadap rahmat Alloh, dan putus harapan terhadap kelapangan dari Alloh.” (Hasan shahih: Al-Mu’jam Al-Kabir Ath-Thobroni; Majma’ Az-Zawaid 1/104)
Musibah yang menimpa mu`min adalah salah satu tanda kebaikan baginya selama hal itu tidak menyebabkan dia meninggalkan kewajiban atau terjatuh dalam keharaman. Di samping itu, hendaknya mu`min itu merasa khawatir atas kenikmatan dan kesehatan yang ada pada dirinya. Boleh jadi itu adalah istidroj/bentuk penundaan hukuman baginya, sementara dia tahu betapa banyak maksiat yang telah dilakukannya, wal ‘iyâdzu billâh.
Di sisi lain, kita tetap wajib berprasangka baik kepada Alloh atas segala musibah yang menimpa. Perlu diingat pula bahwa pemberian Alloh kepada seseorang tidak selalu menjadi bukti bahwa Alloh meridhoinya. Contohnya, orang yang setiap kali hendak minum khomr (minuman keras, narkotika dsb) kemudian dia selalu mendapatkan kemudahan untuk mendapatkannya. Hal itu bukanlah bukti bahwa Alloh meridhoi hal itu untuknya. (Disarikan dari Al-Jadid fi Syarhi Kitab At-Tauhid hal. 275)
Selain itu, kita juga tidak boleh berdoa kepada Alloh agar hukuman atas maksiat yang kita tumpuk-tumpuk disegerakan di dunia dengan anggapan bahwa itu akan meringankan siksa akhirat. Tidak, sama sekali tidak. Rosululloh melarang keras berdoa demikian.
Anas a meriwayatkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَادَ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ خَفَتَ فَصَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ كُنْتَ تَدْعُو بِشَىْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إِيَّاهُ ». قَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِى بِهِ فِى الآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِى فِى الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « سُبْحَانَ اللَّهِ لاَ تُطِيقُهُ – أَوْ لاَ تَسْتَطِيعُهُ – أَفَلاَ قُلْتَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ». قَالَ فَدَعَا اللَّهَ لَهُ فَشَفَاهُ.
“Bahwa dahulu Rosululloh pernah mengunjungi seorang yang sakit di antara para sahabatnya yang kondisinya sangat lemah. Nabi bertanya kepadanya, “Apakah engkau meminta atau berdoa sesuatu kepada Alloh sebelum ini?”. Maka lelaki itu menjawab, “Ya, dahulu saya pernah berdoa; Ya Alloh, hukuman yang akan Kamu berikan kepadaku di akhirat maka segerakanlah bagiku di dunia.” Rosululloh pun mengatakan, “Subhanalloh! Kamu pasti tidak akan sanggup menanggungnya, tidakkah sebaiknya kamu berdoa; Allohumma âtinâ fid dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah wa qinâ ‘adzâban nâr (Ya Alloh, berikanlah kebaikan kepada kami di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari neraka).” Maka lelaki itu pun berdoa dengannya dan disembuhkan oleh Alloh (HR. Muslim no. 7011)
Semoga Alloh melindungi kita dari ketertipuan. Sehingga kita bisa menilai diri secara tepat dan meningkatkan amal-amal kebaikan secara cepat.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 07 Tahun 03
Leave a Reply