Wasatiah Konsep Moderasi Beragama (Bagian 2)

WASATIAH KONSEP MODERISASI BERAGAMA (PART 2)

 

WASATIAH KONSEP MODERASI BERAGAMA (bagian 2)

Berikut ini adalah lanjutan dari pembahasan “WASATIAH KONSEP MODERASI BERAGAMA bagian 1”.

  1. Wasatiah dalam Berinteraksi dengan Para Umara

Umat yang berpegang teguh kepada nilai-nilai wasatiah tidak segan-segan menasihati para pemimpin, tolong menolong dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan meskipun mereka berbuat zalim, karena tujuan kepemimpinan hampir sama yaitu mendatang- kan kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Sedangkan tidaklah buruk membantu orang jahat dan zalim dalam menunaikan kebaikan selama bukan membantu dalam kejahatan dan kezaliman mereka. Sehingga mereka bersama-sama dengan para pemimpin dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Namun menjauhi mereka dalam keburukan dan kejahatan. Mereka berpandangan bahwa wajib melakukan shalat jamaah, shalat Jumat, menunaikan haji dan berjihad bersama para pemimpin kaum Muslimin hingga hari Kiamat baik para pemimpin tersebut saleh, jahat ataupun zalim.[1]

Memprovokasi umat untuk menentang, melawan, memerangi dan mencabut ketaatan dari para pemimpin Muslim bukan sikap yang benar meskipun pemimpin tersebut jahat dan zalim selama mereka masih shalat dan tidak melakukan kekufuran nyata. Bila seorang pemimpin meninggalkan shalat dan melakukan kekufuran nyata dan kaum Muslimin mempunyai pengganti yang lebih baik. memiliki kekuatan untuk menggantinya dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka hal tersebut diperbolehkan.

Meskipun menaati para pemimpin wajib, bukan berarti harus menjadi umat penjilat, munafik dan memuji-muji para pemimpin secara dusta dan berlebihan. Mereka bersikap tegas di hadapan para pemimpin yang berbuat kezaliman untuk menegakkan nasihat dan amar makruf nahi munkar dengan cara bijak dalam suasana tertutup, tidak dengan mencerca dan membuka aib mereka di mimbar-mimbar bebas, apalagi menghasut masa untuk menyerang mereka. Bila mereka sadar dan mereka mendapat hidayah berarti tujuan mereka tercapai, tetapi bila tidak maka ia telah melakukan tugas agama.

  1. Wasatiah dalam Memenuhi Kebutuhan Jasmani dan Rohani

Umat Islam merupakan umat yang baik lagi bijak, bukan umat yang berlebihan dalam beragama dan bukan pula umat yang teledor terhadap agamanya. Mereka merupakan umat pertengahan dalam masalah akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Sebelum turunnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok, pertama; kaum Yahudi dan kaum musyrikin yang sangat berlebihan dalam mengagungkan materi, sehingga hidupnya diperbudak oleh kese- nangan duniawi, kedua; kaum Nasrani, Shabiah dan penganut paganisme India yang mementingkan kebutuhan rohani dan menelantarkan kebutuhan dunia.

Adapun umat Islam bersikap pertengahan dalam perkara dunia, memenuhi kebutuhan spiritual secara sempurna, mencukupi ke butuhan biologis secara wajar dan memenuhi tuntutan psikologis secara seimbang, karena Islam memberikan hak-hak manusia secara penuh. Sebab manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani, atau hewani dan malaikat, sehingga seakan-akan Allah berfirman, Wahai umat Islam Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan agar kalian mengenali dua hak tersebut (rohani dan jasmani) agar kalian sampai pada dua kesempurnaan (jasmani dan rohani),[2]

  1. Wasatiah dalam Sistem Pendidikan

Umat Islam yang berpegang teguh pada nilai-nilai wasatiah senantiasa bersikap pertengahan dalam menempuh sistem pendi- dikan dan mengambil teorinya. Dalam masalah teori pendidikan sebagian pihak berpendapat bahwa manusia lahir sudah memiliki potensi dan bakat, sehingga guru tidaklah memiliki peran untuk memengaruhi anak, dan bahkan guru hanya berperan sebagai pedagogis (pengasuh) dan pengembang potensi serta bakat yang ada. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa manusia terlahir dalam keadaan seperti kertas putih yang siap diwarnai sesuai dengan kemauan dan keinginan guru, sehingga muncul teori tabula rasa. Kedua pemikiran itu telah bersikap melampaui batas. Adapun pendidikan Islam yang berpijak pada nilai-nilai wasatiah menegaskan bahwa manusia memang telah menyimpan berbagai potensi, bakat, perilaku positif dan negatif kecuali dusta dan khianat, namun beberapa potensi dan bakat harus dikembangkan dan juga dioptimalkan melalui proses pendidikan. Nas-nas agama juga menunjukkan bahwasanya manusia bisa berubah melalui proses pendidikan dan terpengaruh dengan pembentukan lingkungan.

Islam menganjurkan para guru untuk menggunakan berbagai macam sarana dan media dalam rangka pembentukan, perbaikan dan pengembangan murid melalui proses pembelajaran yang interaktif dan gradual agar mengalami tumbuh kembang secara sempurna. Demikian itu, sebagai bukti bahwa manusia memiliki potensi untuk berubah dan mempunyai bakat yang siap dikem- bangkan melalui proses pendidikan baik secara biologis, psikologis perilaku, rohani dan fisika Intinya pendidikan Islam menempuh sistem, teori dan metode pendidikan wasatiah (moderat), di mana proses pendidikan dalam Islam memberi ruang kebebasan bagi anak sesuai kebutuhan dan memberi bimbingan dan peringatan sesuai kebutuhan. Bahkan pendidikan Islam menerapkan metode reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) dalam rangka menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu.

  1. Wasatiah, Konsep Moderasi Beragama

Istilah wasatiah di Indonesia dikenal dengan moderasi beragama yang berasal dari bahasa latin, moderatio yang artinya “sedang” (tidak lebih dan tidak kurang). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata moderasi memiliki beberapa arti; a) pengurangan kekerasan, dan b) penghindaran keekstreman. Seseorang dikatakan bersikap moderat apabila bersikap wajar dan tidak ekstrem. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, moderasi berasal dari kata moderation yang sering dipakai untuk pengertian average (rata-rata), standard (baku), atau non-aligned (tidak memihak).

Dunia menyambut komitmen moderasi beragama dengan suka cita, karena pada masa mendatang diprediksi oleh Abuddin Nata dalam artikelnya “Konstruksi Moderasi Beragama” akan disuguhkan aliansi global Islam moderat yang akan membuahkan arus besar untuk menjadikan agama sebagai energi perdamaian. Di Indonesia, permasalahan wasatiah mulai menyeruak semenjak Muktamar Muhammadiyah dan Muktamar NU pada bulan Agustus 2015. Di mana kedua ormas tersebut sepakat menampilkan sikap damai dalam berinteraksi dengan keberagaman Indonesia, baik suku maupun agama.

Muhammadiyah bersama-sama NU telah menampilkan sikap beragama wasatiah, yang dapat menjadi penengah di antara arus ekstrem kiri dan ekstrem kanan sebagai model keberagamaan di Indonesia. Agama damai, humanis dan toleran yang mengandung dua pengertian, yaitu; pertama, pengertian pasif di mana setiap Muslim memiliki visi untuk menginternalisasi kemaslahatan bagi dirinya dalam rangka menghayati di nensi kemanusiaan yang melekat pada diri mereka. Kedua, pengertian aktif, setiap umat Islam wajib untuk mendakwahkan dan menciptakan suasana kondusif dalam struktur masyarakat yang plural. 300 Tetapi konsep wasatiah beragama dalam Islam sangat berbeda dengan konsep moderasi yang dipahami oleh sarjana Barat, di mana moderasi dalam pandangan mereka sebuah konsep yang berpijak pada filsafat relativisme yang didasarkan atas kemampuan rasional belaka, mengabaikan pengetahuan intuitif yang banyak dipengaruhi oleh agama dan budaya. Bahkan secara ekstrem konsep moderasi Barat dipengaruhi oleh logika yang jauh dari nilai dan norma spiritual.

Dengan demikian, agar konsep wasatiah tidak mengandung pemikiran ambigu dan mengundang gagasan lumer, sehingga mudah ditarik ke kanan dan ke kiri maka harus diberi rambu- rambu tegas, yang antara lain:

Pertama, moderasi beragama tidak boleh mengarah pada pembenaran relativisme dan sinkretisme agama. Relativisme beragama merupakan sikap yang memandang semua agama sama dalam seluruh aspeknya. Moderasi beragama harus bisa menjamin keyakinan penganut agama masing-masing untuk tidak diganggu oleh keyakinan agama lain, serta tidak menyamakan semua agama. Moderasi beragama juga harus menghindari sinkretisme agama. Yaitu paham yang mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lainnya, sehingga identitas masing-masing agama tidak tampak, dan bahkan kabur. Moderasi beragama harus menjaga identitas agama masing-masing, namun di antara satu dan lainnya saling menghormati.

Kedua, moderasi beragama tidak boleh mengarah kepada politisasi agama, dengan menggunakan simbol-simbol agama sebagai alat meraih target-target politik atau memobilisasi masa dalam pemenangan jabatan politik.

Ketiga, moderasi beragama tidak diarahkan menjadi sebuah bentuk ideologi baru. Karena sehebat apa pun sebuah ideologi, ia merupakan hasil pemikiran manusia, yaitu cita-cita yang dibakukan dan menjadi sebuah rumusan keinginan yang hendak diwujudkan.

Pada prinsipnya, Islam secara intrinsik, mengandung roh wasatiah, oleh karena itu, siapa pun yang secara konsisten berpegang teguh terhadap syariat Islam maka akan menjadi umatan wasathan sebagaimana firman Allah dalam surah Al- Baqarah ayat 143. Sehingga umat Islam pada generasi awal yang berpegang teguh kepada Islam senantiasa mengambil sikap tawasut (moderat) dalam setiap urusan, moderat dalam akidah yang bersesuaian dengan fitrah, moderat dalam ritual dan syiar- syiar yang mendorong kemajuan dan kemakmuran, moderat dalam ijtihad yang merekatkan instrumen nas agama dengan tuntutan irama zaman, moderat dalam hukum-hukum yang seimbang antara peneguhan prinsip dengan penegasan cabang, dan moderat dalam dakwah dan pendidikan yang tegak di atas fleksibilitas bimbingan dengan mengedepankan pemberian kabar gembira dalam pembelajaran.[3]

Dalam tataran aplikatif, umat Islam dapat hidup di dalam komunitas yang selaras dengan kepercayaan mereka, tanpa harus mengalami perubahan fundamental akibat campur tangan manusia, yang merusak keutuhan Islam dan keharmonisan kehidupan mereka. Bahkan tanpa menyerah terhadap sentuhan waktu, ke- mauan zaman dan tuntutan realitas lain yang menghancurkan. Sehingga mereka mampu menjalankan seremonial pengabdian yang paling tulus dan sakral untuk merekatkan hubungan antara hamba dengan Rabbnya, dan juga hamba dengan alam sekitarnya. Sehingga terciptalah sikap ubudiah yang melahirkan harmoni kehidupan sebagai bentuk aktualisasi firman Allah, Adz-Dzariyat: 56. Prinsip ubudiah itulah yang senantiasa mengasung akal dan fitrah mereka untuk menemukan sistem yang ideal untuk menata kehidupan yang selaras dengan sasaran ubudiah, yang menekankan pada poros keteraturan (kosmos), moderat (wasath), keseimbangan (tawāzun) dan keadilan (‘adalah) pada setiap urusan baik duniawi dan ukhrawi, seirama dengan watak wahyu yang moderat sebagai sebuah pedoman hidup (way of life) yang memberi pedoman setiap langkah manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Akhirnya terbentuk pribadi dan masyarakat pendidikan yang memihak pada sikap wasath (moderat) dalam segala urusan, tidak meremehkan dan tidak juga berlebihan. Prinsip beragama moderat tersebut menuntut secara konsisten mencintai kebenaran dan membenci kebatilan, serta menyuruh yang makruf dan melarang yang munkar, karena sikap wasath (moderat) bukan sikap basa- basi, lembek, lumer dan ambigu. Justru sebaliknya nilai-nilai wasatiah mengharuskan sikap tulus, teduh dan teguh pada puncak kebenaran sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad. Konsep wasatiah merupakan petunjuk (road map) untuk sistem pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur yang moderat, karena maksud wasath atau tawassuth adalah menempuh sikap tengah, seimbang dan adil, sehingga dalam bahasa Arab a’dal al. amr adalah ausatuhu wa wasathuhu (paling puncak dan adil).

Sikap teguh di atas jalan lurus merupakan konsep tauhid yang digariskan, di dalam hadis Jabir bin Abdullah, dia berkata, “Suatu ketika kami berada di sisi Nabi lalu beliau membuat garis lurus, kemudian membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian beliau meletakkan tangannya pada garis lurus dan berkata, “Dan inilah jalan Allah’, lalu beliau membaca firman Allah surah Al-An’am ayat 153,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

Artinya:

“Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am, ayat: 153)

Oleh karena itu, prinsip utama wasatiah ialah mempersatukan jiwa manusia di atas konsep tauhid, karena tauhid sebagai kata kunci penegakan keadilan, yang menjadi makna paling mendasar dari wasatiah, yang merupakan ideologi yang menyatukan seluruh aspek Muslim, yang menjamin stabilitas setiap individu. Oleh karena itu, nilai tauhid harus diterjemahkan secara nyata dalam setiap aspek kehidupan kaum Muslimin, 311 Dengan tauhid, seluruh komponen masyarakat berada pada prinsip-prinsip agama universal yang lurus dan bersih, yang mengeluarkan mereka dari kesesatan, mendamaikan mereka, menunjukkan mereka kepada hidayah, dan menyelamatkan kehidupan manusia dari jurang kehancuran.[4]

Konsep wasatiah menunjukkan puncak keislaman seseorang, maka puncak gunung dalam bahasa Arab disebut ausath (puncak tertinggi), karena posisinya berada di puncak tertinggi di antara lereng sebelah kanan dan lereng sebelah kiri. Oleh karena itu, derajat surga paling tertinggi adalah Firdaus sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadis sahih ausath al-Jannah (surga paling puncak) yang disiapkan untuk para nabi, orang-orang jujur, orang- orang mati syahid dan orang-orang saleh. Dikarenakan mereka secara konsisten meniti jalan yang lurus yaitu nilai-nilai wasatiah, sehingga wasatiah semakna dengan siratalmustakim (jalan lurus) yang disebutkan dalam surah Al-Fatihah.

Sikap moderat tidak berkonotasi mengalah, berkompromi, dan mengambil jalan tengah pada setiap persoalan, karena demikian itu sulit diwujudkan dalam realitas pemikiran, kejiwaan dan perilaku. Tetapi maksud wasatiah adalah bersikap moderat di antara dua perkara yang berlawanan, berada di puncak tertinggi di antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan berada di poros tengah di antara dua kutub yang saling berhadapan. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai wasatiah, umat Islam akan menjadi umat pilihan (khaira ummah) sejalan dengan bimbingan Allah dalam surah Ali Imran ayat 110. Sehingga mereka mampu mewarnai sistem kehidupan terutama di dalam dunia pendidikan dengan konsep wasatiah. Akhirnya menjadi umat teladan (exemplary people) bagi umat lain sebagaimana penegasan Rabi’ bin Anas, “Kalian adalah sebaik-baik umat manusia untuk umat manusia lainnya, yakni menjadi umat terbaik dan umat paling bermanfaat bagi umat manusia lain.

Gagasan Islam wasatiah berbeda dengan konsep wasatiah, sebab secara leksikal Islam wasatiah menimbulkan polemik akademis, polarisasi mazhab dan menunai pro kontra sebagaimana polemik Islam Nusantara, Islam Arab, dan Islam Liberal. Pada dasarnya konsep wasatiah hanya ingin menegaskan ekspresi keislaman seseorang yang moderat dan toleran serta pelakunya cinta damai. Sehingga konsep wasatiah hanya terjadi pada ekspresi pemikiran dan perilaku, bukan pada keyakinan dan prinsip beragama. Di mana ekspresi tersebut mengarah kepada sikap sederhana, sedang, lurus, bijaksana, teguh, utama, adil dan ungpal. Sedangkan Islam wasatiah secara terminologi mengundang multitafsir dan mengandung multiversi. Bahkan istilah Islam wasatiah (moderat) ditujukan kepada pemaknaan variatif, maka menurut para pakar kalau tidak diberi kriteria jelas dan demarkasi konkret, wasatiah akan mengarah pada konsep yang ambigu, lumer dan cair.

Dengan demikian, Islam wasatiah menjadi wacana keislaman tendensius dan sentimen di tengah umat Islam, sama halnya dengan Islam inklusif yang berarti sebuah teologi inklusif yang menegasi Islam liberal pro Barat sekuler. Begitu juga, Islam wasatiah hanya menjadi label bagi orang yang berpikir liberal, sedangkan orang yang berislam secara kafah dikatakan Islam Arab yang intoleran, dan radikal. Lebih memilukan lagi Islam wasatiah ditujukan kepada mereka yang tidak berseberangan dengan sekularisme dan kapitalisme Barat. Bahkan bagi sebagian pihak, Islam wasatiah dipahami sebagai corak Islam yang tidak anti Barat, sedangkan ‘Islam radikal’ atau ‘Islam ekstrem’ adalah corak Islam yang menolak sekuler-liberal, dan tidak berkompromi dengan budaya Barat. Dengan kata lain, ‘Islam radikal’ atau ‘Islam ekstrem’ adalah corak Islam yang berpegang teguh kepada Al- Qur’an dan as-Sunnah secara kafah yang berseberangan dengan sekuler-liberal Barat.

Adapun pengklasifikasian Muslim menjadi moderat dan radikal dianggap objektif, dan sebagai bentuk klarifikasi yang sahih, bila berisi pesan bahwa dakwah Islam sangat bersahabat, ramah, dan toleran. Muslim moderat berusaha merealisasikan nilai-nilai Islam yang sewajarnya, yaitu keislaman yang mendewasakan, tanpa melakukan paksaan dan kekerasan atas nama agama kepada pemeluk agama lain. Islam hanya satu tidak ada duanya; tidak bisa dipolarisasi dan umat Islam adalah umat yang kreatif dan inovatif yang mencintai kedamaian. Mayoritas mereka adalah penganut Islam moderat yang sesuai dengan Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak para sahabat. Sedangkan mereka yang menganut Islam radikal adalah human error minority (kesalahan oknum minoritas) yang tidak mewakili ajaran Islam. 319 Karena konsep wasatiah secara teori dan praktik, membimbing umatnya kepada sikap sederhana, seimbang, bijaksana, santun, adil, toleran, dan wajar, atau sering disebut dengan “konsep wasatiah” dalam semua dimensi pergaulan hidup.

REFERENSI:

Dari “ Dr. Zaenal Abidin, Lc., M.M., Sekolah Islam Modern dengan Kurikulum Wasatiah,( Wasatiah Konsep Moderasi Beragama, bagian 2), PT Rumah Media Imam Bonjol”.

Diringkas Oleh: Nurul Latifah

[1] Shalih al-Fauzan, syarh as-Sunnah al-Barbahari,Syekh al-Fauzan (Dar Ibnu Hazm, 2009 M/1430 H), hlm. 119.

[2] Muhammad Rasyid Ridha,tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr), vol.2, hlm. 4-5.

[3] Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih, “Wasathiyah al-Islam…”, hlm. 41.

[4] Abuddin Nata, Psikologi Pendidikan Islam(Depok:Rajawali, 2018), hlm. 42.

Baca juga artikel:

Adab-Adab Bersafar dan Berkendara (Bagian 2)

Semuanya Butuh Ilmu

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.