Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

50 Faedah Surat Al Maidah Ayat 6

50 faidah surat al maidah ayat 6

50 Faedah Surat Al-Maidah Ayat 6. Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulilah, wa ba’da. Segala suci bagi Allah Rabb semesta alam yang telah menurunkan kitab-Nya yang penuh  hidayah dan bimbingan, yang telah mengutus Rasulullah untuk menyampaikan wahyu yang mulia yang dipenuhi keberkahan dan keselamatan bagi orang-orang yang mengikutinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

FAIDAH KEEMPAT PULUH TIGA

Anggota tubuh yang diusap dalam hadats kecil dan besar sama  saja yaitu wajah dan telapak tangan.

Penjelasan: Karena Allah Ta’ala berfirman:

وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جآء أحد منكم من الغآئط أو لمستم النسآء

Artinya:

“Dan jika kamu sakit atau bepergian jauh atau buang iar atau bersetubuh.…” (QS. Al-Maidah: 6)

 

Dalam ayat ini Allah menyamakan hadats kecil dengan hadats besar untuk hukum tayamum dan tidak membedakan anggota tubuh yang diusap, dan ini didukung dengan kisah Ammar yang junub kemudian berguling-guling di atas pasir karena mengkiyaskan dengan mandi, namun Nabi hanya mengajarkannya untuk mengusap wajah dan telapak tangannya saja.

FAIDAH KEEMPATPULUH EMPAT

Orang yang mempunyai dua hadts dan ia bertayamum untuk keduannya sekaligus maka sudah mencukupi, hal ini diambil dari keumuman ayat dan kemutlakannya.

Penjelasan: Juga dikiyaskan kepada wudhu, dimana ia mencukupi untuk beberapa hadats kecil dengan sekali wudhu, namun apabila seseorang mempunyai beberapa hadats besar lalu ia bertayamum dengan niat menghilangkan hadats dan lupa berniat untuk menghilangkan hadats besar seperti janabah, apakah itu mencukupinya atau tidak? Para ulama berselisih dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Imam malik dan Ahmad berpendapat bahwa itu tidak mencukupi karena sebabnya berbeda, sedangkan imam Abu Hanifah dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa itu sudah mencukupi karena thaharahnya satu yaitu tayamum. Dan yang shahih ia tidak mencukupi sebagaimana apabila ia mempunyai dua kewajiban mandi dan janabah lalu ia mandi saja tanpa janabah, maka ia wajib mandi sekali lagi sebagaimana ditunjukkan oleh Atsar dari Abdullah bin Abi Qatadah ia berkata:

“Ayahku masuk sementara aku sedang mandi pada hari jum’at, ia berkata: “Mandimu itu untuk janabah atau untuk jum’at?” Aku menjawab: “Untuk janabah.” Ia berkata: “Mandilah sekali lagi karena aku mendengar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

من اغتسل يوم الجمعة كان فى طهارة إلى الجمعة الأخرى

Artinya:

“Barangsiapa yang mandi jum’at maka ia berada dalam kesucian sampai jum’at selanjutnya”. (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

 

Dan jika ia bertayamum untuk menghilangkan hadats kecil dan lupa berniat menghilangkan hadats besar maka tidak mencukupi karena tayamum adalah menggantikan mandi juga, sedangkan niat menghilangkan hadats tidak menghilangkan hadts besar, sebagaimana apabila orang itu berwudhu namun ia lupa untuk mandi janabah maka ia tetap wajib mandi, karena pengganti mempunyai hukum yang sama dengan yang diganti. Wallahu a’lam. Berbeda apabila ia bertayamum untuk menghilangkan janabah saja, maka ia mencukupi untuk menghilangkan hadats kecil sebagaimana mandi mencukupi dari wudhu atas pendapat yang shahih dan ini adalah pendapat syafi’iyyah dan malikiyah.

FAIDAH KEEMPATPULUH LIMA

Mengusap cukup dengan apapun juga, dengan tangan ataupun yang lainnya, karena Allah berfirman (فا مسحوا) dan tidak menyebutkan alat mengusapnya, ia menunjukkan boleh mengusap dengan apa saja.

Penjelasan: Karena lafaznya mutlak: “Usaplah”. Namun jika kita melihat praktek dari Nabi dan para shabatnya kita dapati mereka senantiasa mengusap dengan tangannya. Wallahu a’lam.

FAIDAH KEEMPATPULUH ENAM

Disyariatkan tertib berurutan dalam tayamum sebagaimana disyariatkan dalam wudhu, karena Allah memulai dengan mengusap wajah sebelum mengusap dua tangan.

Penjelasan: Namun pensyaratan ini bertentangan dengan perbuatan Nabi dalam sabdanya yang artinya: “Sesungguhnya cukup bagimu untuk melakukan seperti ini: beliau memukulkan kedua telapak tangan ke tanah kemudian meniupnya kemudian mengusap punggun dengan tangan kirinya atau punggung kirinya dengan telapak tangannya kemudian mengusap wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

FAIDAH KEEMPAT PULUH TUJUH

Sesungguhnya Allah Ta’ala dalam hukum-hukum yang Allah syari’atkan untuk kita, tidak pernah menjadikannya sesuatu yang berat, susah dan sulit untuk kita. Ia adalah rahmat untuk hamba-hambaNya agar Allah mensucikan dan menyempurnakan nikmat-Nya kepada mereka.

Penjelasan: Allah Ta’ala berfirman:

وما جعل عليكم فى الدين من حرج

Artinya:

“Dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.(QS. Al-Hajj: 78)

 

Allah Ta’ala juga berfirman:

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

Artinya:

“Allah menginginkan untukmu kemudahan dan tidak menginginkan untukmu kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185)

 

Saudaraku, kemudahan islam dapat kita tinjau dari beberapa aspek:

Pertama: Perintah dan larangan Allah secara dzatnya adalah mudah.

Cobalah kita renungkan perintah-perintah Allah berupa shalat, zakat, puasa, haji dan perintah-perintah Allah yang lainnya. Mengenai shalat, Allah hanya mewajibkan kepada kita shalat lima waktu saja tidak mewajibkan kepada kita shalat lima puluh waktu.

Mengenai zakat, tidak semua harta Allah perintahkan untuk mengeluarkan zakatnya, hanya harta tertentu saja yang wajib dikeluarkan, itupun setelah sampai kepada nisab, dan sebagainnya harus menunggu satu haul dahulu dan dikeluarkan dengan prosentase yang amat sedkit.

Mengenai puasa, Allah hanya wajibkan satu bulan dalam satu tahun, dan hanya diwajibkan berpuasa dari semenjak terbit fajar samapi matahari terbenam. Demikian pula haji, hanya Allah wajibkan sekali seumur hidup, dan biasanya semakin sulit suatau ibadah semakin besar pula pahalanya selama kesulitan tersebut bukan berasal dari perbuatan hamba yang mempersulit.

Allah dan Rasul-Nya murka kepada orang yang mempersulit agama ini, ketika ada seorang shahabat menjadi imam shalat Isya di kaumnya dan membaca surat yang amat panjang sehingga salah seorang makmum ada yang keluar dan shalat sendirian, maka Rasulullah murka kepadanya dan bersabda, “Apakah engkau hendak membuat fitnah ?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain dari Abu ma’ud ia berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu terlambat hadir shalat, karena si fulan sangat memperpanjang shalatnya.” Abu Mas’ud berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah sangat marah dalam memberi perimgatan kecuali pada hari itu, beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إن منكم منفرين فأيكم صلى بالناس فليتجوز فإن فيهم الضعيف والكبير وذا الحا جة

Artinya:

“Sesungguhnya diantara kalian ada yang membuat orang lari, apabila salah seorang dari kamu menjadi imam shalat, hendaklah ia memperingatkan karena di belakangnnya ada yang lemah, orang tua, dan orang yang mempunyai kebutuhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Kedua: Islam memberikan keringanan (rukhsah) ketika ada kesulitan berupa udzur, atau darurat.

Karena sesungguhnya Allah membebani jiwa sesuai dengan kemampuannya : “Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

Maka setiap kesulitan mendatangkan kemudahan, dan yang dimaksud kesulitan disini adalah kesulitan yang melebihi batas sewajarnya, adapun kesulitan yang masih dibawah kemampuan hamba maka harus tetap dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan, karena syari;at itu beban dan beban adalah suatu macam kesulitan, namun masih dibawah kemampuan hamba.

Ketika ada kesulitan berupa udzur seperti sakit atau yang lainnya, maka syari’at kita meberikan keringanan. Orang yang tidak mendapatkan air misalnya, atau mendapatkan air namun tidak dapat menggunakannya, diberikan keringanan untuk tayamum. Orang yang tidak mendapatkan makanan kecuali bangkai, maka syari’at kita mengizinkan untuk memakannya dalam keadaan darurat seperti itu, karena mashlahat mempertahankan kehidupan leboh besar dari pada mudharat memakai bangkai.

Ketiga: Beban berupa ibadah pada asalnya ditiadakan dari hamba, adapun masalah dunia maka pada asalnya dihalalkan bagi mereka.

Ini adalah macam kemudahan lain yang diberikan kepada manusia, ketika ibadah adalah beban bagi manusia, maka syari;at kita memberikan kaidah bahwa pada asalnya ibdah itu terlarang sampai ada dalil yang memerintahkan, ini berdasarkan hadits:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya:

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada diatasnya urusan (agama) kami, maka ditolak. (HR. Muslim dalam shahihnya)

 

Sedangkan perkara dunia berupa mu’amalah, dan segala sesuatu yang berhunungan dengan dunia pada asalnya adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Maka orang yang mengada-ada suatu ibadah yang tidak sesuai dengan contoh Nabi adalah terlarang, karena ibadah adalah hak Allah, dan Allah ingin diibadahi sesuai dengan apa yang dia ridhai dan cintai, bukan sesuai dengan selera manusia dari hawa nafsu mereka.

FAIDAH KEEMPATPULUH TUJUH

Kesucian lahiriyah dengan air dan tanah adalah sebagai penyempurna dari kesucian batin dengan tauhid dan taubat yang nasuha.

Penjelasan: Oleh karena itu Nabi mensyari’atkan kepada kita apabila telah berwudhu untuk mengucapakan:

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين

Artinya:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah ang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang senantiasa bersuci. (HR. At Tirmidzi dalam sunannya)

 

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Dosa-dosa memberikan kepada hati kelemahan, najis dan panas sehingga menyala padanya api syahwat dan mensajikannya… sedangkan air mencuci najis dan memadamkan api, terlebih jika air itu dingin biasanya lebih kuat untuk membersihkan kotoran.”

Faidah keempat puluh sembilan

Bersuci dengan tayamum walaupun tidak terlihat padanya kebersihan dan kesucian dengan panca indra, namun padanya terdapat kesucian maknawi yang berasal dari mempraktekkan perintah Allah Ta’ala.

Penjelasan: Kesucian yang berasal dari keimanan kepada Allah dan ketundukkan yang menumbuhkan ketaatan dan amalan shalih, dan semua ini tidak mungkin diraih kecuali dengan taslim yang sempurna tanpa menolaknya dengan akal atau hawa nafsu, karena banyak sekali perinah-perintah Allah yang apabila dipikirkan oleh akal semata tak akan sampai kepadanya, hanya keimanan dan ketundukan yang boleh berbicara agar tidak menjerumuskan hamba kepada jurang kebinasaan seraya berucap:

سمعنا وأطعنا غفرانك ربنا وإليك المصير

Artinya:

“Kami mendengar dan kami taat, dan kami memohon ampunan-Mu wahai Rabb kami dan kepada engkaulah tempat kembali. (QS. Al-Baqarah: 285)

 

FAIDAH KELIMAPULUH

Selayaknya bagi seorang hamba untuk men-tadaburi hikmah-himkan dan rahasia-rahasia syari’at Allah dalam bersuci dan yang lainnya, agar semakin bertambah pengetahuan dan ilmunya, bertambah rasa syukur dan cintanya kepada Allah atas hukum-hukum yang Allah syari’atkan yang dapat menyampaikan seorang hamba kepada derajat yang tinggi lagi mulia.

Penjelasan: Hikmah adalah tujuan disyari’atkan-nya suatu hukum berupa mendatangkan mashlahat dan menolak mudharat seperti hikmah disyari’atkan-nya memotong tangan pencuri adalah untuk menjaga harta manusia, hikmah disyari’atkannya mengqashar shalat dalam safar adalah menghilangkan kesulitan yang ada dalam safar dan lain sebagainya. Namun yang harus diingat adalah bahwa hikmah tidak sama dengan illat hukum, karena illat hukum adalah sebuah sifat yang tampak dan tetap seperti illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat zakat gandum adalah makanan pokok dan lain sebagainnya, dan illat ini adalah salah satu rukun qiyas sedangkan hikmah tidak.

Hikmah dibangun di atas illat dimana bila kita mengetahui illat maka memungkinkan kita untuk menetahui hikmah, dan bila tidak diketahui illatnya maka sulit pula mengetahui hikmahnya.

Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu itu sia-sia namun karena adanya hikmah yang agung dibalik penciptaan-Nya, Allah Ta’ala berfirman:

أفحسبتم أنما خلقنكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون, فتعلى الله الملك الحق لآ إله إلا هو رب العرش الكريم

Artinya:

“Apakah kamu menyangka bahwa kami menciptakanmu sia-sia dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?? maha tinggi Allah raja yang Haq. Tiada ilah yang berhak disembah selain dia pemilik ‘Arasy yang mulia. (QS. Al-Mukmin: 115)

 

Dan dalam ayat wudhu Allah menyebutkan hikmah disyari’atkannya bersuci dengan iar dan tayamum  yaitu untuk mensucikan hamba baik kesucian badan maupun kesucian batin dan ini adalah kenikmatan yang amat besar bagi hamba, karena dua kesucian ini dapat mengantarkannya ke dalam surga Allah yang luasnya seluas langit dan bumi.

Maka dengan mengetahui hikmah-hikmah Allah dalam syari’at-Nya, kita akan semakin bertambah kaimanan bahwa syari’at Allah adalah syari’at yang sempurna yang tujuannya adalah memberikan kebahagiaan kepada manusia dan mencegah segala bentuk kemudharatan dari mereka, setiap perkara yang bermanfaat dan memberikan kemashlahatan untuk kehidupan hamba telah Allah perintahkan dan izinkan, dan semua perkara yang berbahaya untuk hamba telah Allah larang dan haramkan sebagian kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.

Hamba yang mengetahui tentang hikmah-hikmah Allah dibalik syari’at-Nya akan senantiasa bersyukur dan bersemangat untuk senantiasa untuk mentaatinya dan menjauhi larangan-Nya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan itu hakikatnya adalah mashlahat untuk dirinya yang membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat, sedangkan larangannya hanya akan memberikan mudharat bagi hamba bila ia melakukanny a dan mencabut keberkahan hidupnya sehingga ia menjadi sengsara dan diadzab batinya sebelum ia diazab badannya dalam neraka jahannam, nau’dzu billah min dzalik.

Hamba yang mengetahui hakikat ini akan berucap seperti yang diucapkan oleh seorang shahabat yang mulia:

نها نا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أمر كان لنا نافعا وطواعية الله ورسوله أنفع لنا

Artinya:

“Rasulullah melarang kami dari suatu perkara yang bermanfaat (menurut pandangan) kami, namun mentaati Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat untuk kami”. (HR. Muslim dalam shahihnya)

 

Referensi: Abu Yahya Badru Salam, LC/50 Faidah surat Al-maidah ayat 6/Tim pustaka Al-Bashirah/cetakan pertama Jumadil Tsaniyah 1431 H/Juni 2010 M

Artikel : Bulan November

Diringkas oleh : Bella Nopita Sari

Baca juga :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.