Tumbal Dalam Pandangan Islam (Bagian 1)

tumbal dalam pandangan islam

Tumbal Dalam Pandangan Islam (Bagian 1) – Manakala di suatu daerah berkembang ilmu yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, maka di sana akan terbit cahaya keimanan dan Sunnah, serta akan terlihat dengan jelas tanda-tanda tauhid. Dan sebaliknya, apabila yang ada berupa kejahilan (kebodohan) maka cahaya Sunnah akan terbenam dan akan terkubur tanda-tanda tauhid dan keimanan. Beragam kesyirikan, tradisi jahiliah, bid’ah dan khurofat akan berkembang yang pada akhirnya muncullah bermacam cobaan, bala’, malapetaka dan kesusahan.

Di antara tradisi jahiliah dan budaya syirik yang berkembang di sebagian masyarakat Islam adalah budaya TUMBAL.

DEFINISI TUMBAL DAN PRAKTIKNYA

Tumbal diambil dari bahasa Jawa yang artinya adalah: “Obat penangkal penyakit atau penolak kesialan.” (Lihat Kamus umum bahasa Indonesia, JS. Badudu-Zain)

Namun apabila kita memperhatikan fakta, tumbal bukan sekadar obat penangkal penyakit atau penolak kesialan saja, akan tetapi lebih luas dari itu. Ia digunakan untuk tujuan yang bermacam-macam, seperti untuk penangkal penyakit, bala’, malapetaka, kesialan atau untuk mendatangkan kebaikan, keberkahan, keselamatan dan tujuan-tujuan yang lain.

Dengan ungkapan lain istilah tumbal bisa kita definisikan dengan redaksi berikut: Tumbal ialah obat penangkal penyakit, bala’ dan malapetaka atau penolak kesialan dan kesusahan, atau obat untuk mendatangkan kebaikan, keberuntungan, keberkahan dan keselamatan.

Pada praktiknya bentuk tumbal bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dilakukan ialah penyembelihan dan sesajian untuk jin dengan keyakinan hal itu akan menolak kejahatan dan gangguan darinya serta mendatangkan kebaikan.

Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di pantai selatan, mereka menyembelih kerbau, kemudian kepalanya dilarung (dihanyutkan) ke laut untuk dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Bahkan ada sebagian yang melakukan hal yang semacam dengan hewan hidup, seperti yang dilakukan beberapa dukun di sumur lumpur Lapindo. Mereka melemparkan beberapa kambing hidup-hidup ke sumber lumpur tersebut. Demikian juga seperti yang dilakukan oleh sebagian orang apabila membangun atau membeli rumah baru, sebelum dihuni dilakukan penyembelihan terlebih dahulu dengan tujuan mendatangkan keselamatan dan ketenangan atau agar terhindar dari kejahatan jin.

Di antara bentuk praktik lainnya ialah: menyembelih kambing atau yang sejenisnya untuk penyembuhan dan pengobatan. Menurut keyakinan pelakunya bahwa penyakit tersebut disebabkan gangguan jin atau setan. Ada juga yang dilakukan tanpa penyembelihan, yaitu dengan menyajikan makanan disertai kemenyan dan bunga untuk mendatangkan kebaikan, keberuntungan dan menolak kesialan.

Itulah makna tumbal dan sebagian bentuk praktiknya yang berkembang di masyarakat kita. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum budaya tersebut dan hukum makanannya?

Sebelum penulis menjawab pertanyaan di atas perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa permasalahan penting yang berhubungan dengan ibadah, tauhid, syirik dan hukum-hukum yang berkaitan dengan sebab akibat.

DEFINISI IBADAH

Allah Ta’ala menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya: “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Ibadah ialah seluruh perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik secara lahiriah (yang tampak) atau batiniah (yang tersembunyi/ berkaitan dengan amalan hati). Di antara contoh ibadah lahiriah: sholat, zakat, puasa, haji, berjihad dan amar ma’ruf nahi munkar, bernadzar, berkorban dan yang lainnya. Di antara contoh ibadah batiniah: kecintaan, berharap, takut dan tawakal dan yang lainnya.

Suatu amalan tidaklah dikatagorikan sebagai ibadah kecuali bila dilandasi dengan tauhid. Seseorang yang tidak mentauhidkan Allah dalam ibadahnya, berarti ia belum mengibadahi Allah Ta’ala. Ini lah makna firman Allah ta’ala :

وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ

Artinya; “Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah.” (QS. al-Kafirun [109]: 5)

DEFINISI TAUHID DAN KONSEKUENSINYA

Tauhid ialah mengikhlaskan seluruh bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Konsekuensinya ialah meyakini bahwa segala sesuatu hanya ada di tangan Allah Ta’ala. Dia lah satu-satunya yang memiliki, menguasai serta mengatur kerajaan langit dan bumi. Dia lah yang bisa mendatangkan segala kebaikan, keberuntungan dan keselamatan dan menolak segala kemudhorotan, bala’ dan malapetaka, tidak seorang pun dari makhluk yang memiliki hal itu dan mampu melakukannya. Oleh karena itu orang yang bertauhid adalah orang yang menyerahkan diri beserta hatinya kepada Allah ta’ala dengan penuh kecintaan, pengagungan, harapan, takut dan tawakal kepada-Nya dan menggantungkan segala kebutuhannya kepada Yang Maha Kuasa, Robb alam semesta. Inilah hakikat Tauhid dan makna Laa Ilaha Illallah.

MAKNA SYIRIK DAN PEMBAGIANNYA

Syirik terbagi kepada dua macam: syirik besar dan syirik kecil. Syirik besar ialah memberikan atau memalingkan salah satu dari macam atau jenis ibadah kepada selain Allah ta’ala . Setiap keyakinan, perkataan dan perbuatan yang diperintahkan di dalam syariat adalah ibadah, maka memperuntukkan dan mengkhususkannya kepada Allah ta’ala adalah tauhid, keimanan dan keikhlasan. Dan memberikan serta memalingkannya kepada selain Allah ta’ala adalah kesyirikan dan kekufuran. Adapun syirik kecil ialah segala wasilah (sarana) yang membawa kepada syirik besar. Baik dalam bentuk irodah (keyakinan), perkataan dan perbuatan yang tidak sampai kepada tingkatan Ibadah. (Lihat al-Qoulus Sadiid fi Maqoshid at-Tauhid, karya Syaikh Abdurrohman as Sa’di, hlm. 52-53)

HUKUM-HUKUM BERKAITAN DENGAN SEBAB

Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan sebab yang wajib diketahui oleh hamba ada tiga:

Pertama: Tidak mengambil atau menjadikan sesuatu sebagai sebab kecuali apa yang telah ditentukan sebagai sebab menurut syariat atau takdir (ketentuan Allah ta’ala)

Kedua: Tidak bergantung semata-mata kepada sebab tersebut, akan tetapi bergantung kepada yang menjadikan sebab dan yang mentakdirkannya, yaitu Allah Ta’ala. Di samping itu seseorang berusaha melakukan atau mengambil sebab-sebab (sarana) yang disyariatkan dan yang bermanfaat.

Ketiga: Sekalipun sebab tersebut sebab yang sama dan kuat, akan tetapi ia selalu berkaitan dengan takdir Alloh Ta’ala, tidak akan keluar dan terlepas darinya. Alloh berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, jika Ia menginginkan maka akan dibiarkan sebab terse- but berfungsi sesuai dengan hikmah Alloh, agar para hamba bisa mempergunakannya dan mengetahui kesempurnaan hikmah-Nya yang telah mengaitkan atau menghubungkan antara sebab dan akibat.

Dan jika Allah ta’ala menghendaki maka Ia akan mengubahnya sesuai dengan keinginan-Nya, agar manusia tidak bergantung kepadanya dan mengetahui kesempurnaan kekuasaan Allah ta’ala dan bahwasannya tidak ada  yang bisa berbuat secara mutlak dan tidak ada yang nya memiliki keinginan mutlak kecuali Allah ta’ala semata. Inilah tiga permasalahan yang wajib diketahui dan diperhatikan oleh setiap hamba dalam melihat dan melakukan atau mempergunakan seluruh sebab dan sarana yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. (Lihat al-Qoul as Sadiid fi Maqoshid at-Tauhid, hlm. 41-42)

HUKUM TUMBAL DAN PELAKUNYA

Berdasarkan penjelasan makna ibadah, tauhid, syirik dan hukum-hukum yang berkaitan dengan sebab di atas, dengan mudah kita bisa menghukumi budaya tumbal dan memposisikan para pelakunya dalam pandangan syariat Islam. Dikarenakan bentuk praktik tumbal tersebut bukan hanya satu, namun bermacam-macam, maka hukumnya tidak bisa disamakan, akan tetapi masing-masing dihukumi sesuai dengan tingkat kesyirikan dan penyimpangan para pelakunya. Ketahuilah, bahwa sembelihan adalah ibadah yang mulia yang wajib diikhlaskan kepada Allah ta’ala dan tidak boleh diperuntukkan kepada selain-Nya,

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Artinya; “Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, pengorbananku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah ta’ala, Robb semesta alam.” (QS. al-An’am [6]: 162)

Dan firman Allah Ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Artinya: “Maka dirikanlah sholat karena Robbmu dan berkorban- lah (untuk-Nya).” (QS. al-Kautsar [108]: 2)

Imam Ibnu Katsir rohimahullah menafsirkan ayat yang pertama seraya berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya untuk mengabarkan kepada orang-orang musyrikin yang mengibadati selain Allah dan menyembelih untuk selain-Nya, bahwa beliau hanya mengikhlaskan sholat dan penyembelihan nya kepada Allah ta’ala semata-mata tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena sesungguhnya orang-orang musyrikin mereka mengibadati patung-patung (berhala) dan menyembelih untuk-Nya, maka Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk menyelisihi mereka dan meninggalkan apa yang mereka lakukan dan menfokuskan tujuan, niat dan tekad di atas keikhlasan hanya kepada Allah Ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/242. Dar al-Fikr, Libanon).

Barangsiapa yang melakukan sembelihan untuk selain Allah ta’ala dan menyelewengkan jenis-jenis ibadah yang lain kepada selain-Nya, maka sungguh ia telah berbuat kesyirikan yang mengeluarkannya dari Islam, seluruh amalannya menjadi pupus dan sirna. Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa orang yang melakukan kesyirikan, jika ia meninggal dalam keadaan seperti itu maka tempatnya tiada lain kecuali neraka, dan ia kekal di dalamnya selama lamanya, kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Allah Ta’ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat yang dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’ [4]: 48)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman:

اِنَّهُ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Maidah [5]: 72)

Dan Rosulullah ﷺ bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

Artinya: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim no. 1978)

Imam an-Nawawi rohimahullah berkata: “Dan adapun menyembelih untuk selain Allah maksudnya adalah menyembelih dengan selain nama Allah Ta’ala, seperti orang yang menyembelih untuk patung (berhala) atau salib atau (nabi) Musa atau (nabi) Isa ‘alaihimasalam atau untuk Ka’bah atau yang semisalnya. Semuanya ini adalah haram dan sembelihannya tidak halal, baik penyembelih seorang muslim atau Nasrani atau Yahudi, (sebagaimana) yang dinyatakan oleh imam Syafi’i dan yang disepakati oleh ashhab kami (ulama Syafi’iyah), jika bersamaan dengan itu ia bermaksud mengagungkan sesuatu dengan tujuan penyembelihan selain Allah Ta’ala dan beribadah kepadanya, maka itu adalah kekufuran. Jika yang menyembelih sebelumnya adalah seorang muslim maka ia telah menjadi murtad (kafir) disebabkan penyembelihan itu.” (Syarh Shohih Muslim: 13/141)

Thoriq bin Syihab rohimahullah berkata: “Nabi ﷺ Seseorang masuk surga disebabkan seekor lalat, dan seseorang masuk neraka disebabkan seekor lalat. Mereka (para sahabat) bertanya: bagaimana itu wahai Rosululloh?, Beliau menjawab: ‘Ada dua orang melewati suatu kaum, mereka mempunyai patung, tidak mungkin seseorang melewatinya kecuali bila memberikan sesuatu kepadanya. Maka mereka berkata kepada salah seorang: Berikanlah (sesuatu)’, ia menjawab: ‘saya tidak memiliki sesuatu untuk diberikan’, mereka berkata: Berikanlah sekalipun seekor lalat, lalu ia memberikan seekor lalat, lalu mereka membiarkannya lewat, maka ia masuk neraka. Dan kepada ia menjawab: ‘saya tidak pernah memberikan sesuatu (untuk mendekatkhan diri) kepada sorang pun selain Allah ta’ala lalu mereka memenggal lehernya, maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad). Bersambung…

Sumber :

Majalah Al-Furqon Edisi. 8 Tahun ke 9

Robiul Awal 1431 (Feb/Maret 2010)

Oleh Ustadz Muhammad Nur Ihsa, MA hafidzohullah

Ditulis ulang / diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi

Staff TU Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur Sumatera Selatan

BACA JUGA :

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.