Mus’ab bin Umair

Mus'ab bin Umair

Bagi kebanyakan orang, larut dalam arus lebih mudah ketimbang berdiri menghadapi kritikan dan hinaan. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang berhasil melewati rintangan dalam hidup menjadi pribadi agung dan melegenda. Salah satunya adalah Mus’ab bin Umair.

Mus’ab bin Umair terlahir di Mekkah dalam keluarga kaya dibawah asuhan seorang ibu yang memiliki kepribadian yang kuat. Mus’ab dikarunia semua yang diimpikan oleh kawula muda. Ia memakai pakaian dan sepatu yang paling modis saat itu. Ia sangat terkemuka di kotanya dan dimuliakan oleh semua orang. Selain itu, ia juga memiliki kepribadian yang baik; Ia pandai berkomunikasi; Ia memiliki kecerdasan yang gemilang; Ia seorang yang cekatan dan tanggap. Oleh karena itu, ia diijinkan ikut perkumpulan-perkumpulan penting yang dihadiri oleh tokoh-tokoh senior, pintar dan terhormat. Mus’ab pernah memiliki semua yang pernah diimpikan kawula muda. Adakah yang dapat memalingkannya dari itu semua?

Mus’ab senantiasa menyusuri jalanan Mekkah dengan penuh percaya diri, berpakaian rapi, dielu-elukan dan mungkin juga membuat iri banyak orang. Pada suatu saat, ia berjalan untuk mencari tahu seseorang yang bernama Muhammad, bergelar al-Amin, yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Mus’ab yang cerdas pergi untuk mencari tahu tentang perkara ini. Akhirnya, Ia mendapatkan petunjuk bahwa orang-orang Islam berkumpul di rumah al-Arqom di pinggiran kota Mekkah. Mus’ab memutuskan untuk melihat-lihat dan mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Mus’ab, Seorang pemuda tampan, memasuki rumah al-Arqom dengan tenang dan mendengarkan bacaan Al-Quran. Ia terkejut dengan apa yang ia dengar dan rasakan. Al-Quran menancap dan sangat berkesan baginya. Dengan tekad yang kuat dan hati yang bersih, ia menemui Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengikrarkan keIslamannya di hadapan beliau.

Mus’ab tumbuh tanpa rasa takut kepada siapapun. ia sangat percaya diri dan cerdas. Tapi bagaimanapun ia hanyalah seorang manusia biasa. Hanya seorang yang ia takuti dalam hidupnya yaitu ibunya. Ibu Mus’ab dikenal sangat tegas dan keras dalam mendidik. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Mus’ab mantap merahasiakan keIslamannya sampai tiba waktu yang tepat. Ketika itu. ia terus mengunjungi rumah al-Arqom untuk belajar Al-Quran dan Islam.

Mekkah dipenuhi oleh mata-mata. gerak-gerik Mus’ab diperhatikan dan jadi bahan pembicaraan. Anda bisa bayangkan betapa murkanya ibunda Mus’ab. Berita menyebar dengan cepat dan kemarahan ibunda Mus’ab pun tumpah kepadanya. Mus’ab menghadapi ibundanya dengan tenang tanpa emosi. Ia tidak berdebat masalah penyembahan Allah Ta’ala ataupun berhala-berhala; Ia tidak merendahkan ibundanya; Ia hanya mengatakan kalau sudah masuk Islam dan menjelaskan alasannya. Kemudian ia membacakan beberapa ayat kepada ibundanya dengan harapan sang ibu mau memahami, tapi sayang ia menolak. Bahkan Ibundanya ingin memukul dan menghukumya sebagai balasan kepedihan dan penghinaa yang ia rasakan (karena keIslaman anaknya). Akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan meminta pembantunya untuk mengikat Mus’ab; menjadikannya tahanan di dalam rumahnya sendiri.

Seperti biasa Mus’ab tetap tenang dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Allah Ta’ala yang Maha Rahman memberikannya jalan untuk berhijrah ke Abisinia mencari keselamatan dari siksaan penduduk Mekkah. Akhirnya Mus’ab meninggalkan ibu, rumah, harta dan kampung halamannya menuju tempat yang belum ia kenal. Ia yakin Allah Ta’ala akan memberinya kekuatan dan kedamaian.

Setelah beberapa waktu, terdengar kabar bahwa sudah aman untuk kembali ke Mekkah. Ia pun pergi ke Mekkah, tapi sesampainya di sana, ia dapati kondisi yang sama. Tak dapat dielakkan, ia bertemu ibundanya. Sekali lagi Mus’ab menjelaskan alasan sederhananya untuk masuk Islam bahkan mengajak ibundanya untuk memeluk Islam tapi sang ibu bersikeras mengikuti jejak pendahulunya. Ibundanya mengancam akan mengikat dan mengurungnya kembali tapi Mus’ab balik mengancam untuk membunuh siapapun yang membantu ibundanya. Ibundanya melihat kemarahan di mata Mus’ab. Ia mengusirnya dan tak berharap ia kembali karena sudah tidak dianggap anaknya lagi. Mus’ab kembali mendekat; merayu ibundanya untuk beriman kepada Allah Ta’ala dan Rosul-Nya tapi ia tetap menolak. Bahkan ia bersumpah tidak akan masuk Islam meskipun terhina. Tak ada yang bisa dilakukan Mus’ab. Kemudian ia berlalu.

Tak hanya meninggalkan ibunda dan rumahnya, ia juga meninggalkan harta dan kemewahan yang telah membesarkannya. Beberapa orang mungkin akan bersedih jika kondisi yang sama menimpa mereka; itu bahkan bisa membuat mereka tertekan dan kehilangan harapan; tapi tidak dengan Mus’ab. Ia berjalan meninggalkan Mekkah dengan senyum di wajahnya dan sinar harapan yang terpancar dari matanya. Setelah itu, waktunnya banyak ia habiskan untuk berguru kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat terkemuka.

Suatu saat Nabi duduk bersama para sahabat dan melihat Mus’ab mendekat. Nabi bersabda: “Saya melihat Mus’ab ini dan orang tuanya di Mekkah. Mereka sangat perhatian dan memanjakannya serta memberikan segala kenyamanan untuknya. Tak ada pemuda Quraish yang (beruntung) sepertinya. Kemudian ia tinggalkan semuanya karena mencari ridho Alloh dan mencurahkan perhatian untuk melayani Nabinya”

Nabi dan para sahabat tetap tinggal di Mekkah sampai 10 tahun berikutnya mengajak manusia kepada Islam tetapi mereka tetap menolak. Masa depan terasa suram tapi mereka tidak pernah menyerah. Kemudian kesempatan terbuka untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah bernama Yatsrib yang kemudian bernama Madinah. Mus’ab terpilih menjadi duta pertama dalam islam diantara sahabat-sahabat senior dan kerabat Nabi sendiri. Kenapa anak muda ini yang dipilih? Ia terpilih karena kepribadiannya yang sholeh dan terhormat, akhlak yang baik dan kecerdasannya. Ia juga mampu membaca Al-Quran dengan indah dan memiliki pengetahuan Islam yang luas. Ia sangat sempurna untuk tugas itu.

Mus’ab tahu ini adalah tugas suci mengajak manusia kepada Alloh dan Nabi-Nya dan kota ini akan menjadi basis perjuangan masyarakat muslim. Ketika di Madinah, Mus’ab biasa mengunjungi penduduk di rumah mereka, bercengkerama dan membacakan Al-Quran kepada mereka. Meskipun Mus’ab menikmati pekerjaan ini, tapi nampaknya ini mengganggu para pemimpin Madinah.

Pernah suatu saat Mus’ab duduk bersama sekelompok orang di bawah pohon. Salah seorang pemuka madinah datang. Mus’ab berkata kepada orang-orang, “Jika ia duduk, saya akan bicara padanya”. laki-laki itu mendekat, mengancam Mus’ab dan memperingatkannya untuk segera meninggalkan Madinah. Mus’ab tersenyum hangat dan memintanya untuk duduk dan mendengarkan ucapannya. Jika suka, ia bisa menerimanya dan jika tidak, Mus’ab yang akan pergi dan tidak akan mengganggunya lagi. Lelaki itu setuju. Ia duduk dan mendengarkan. Mus’ab tidak memaksanya melakukan sesuatu dan tidak pula berargumen dengannya. Ia hanya membaca Al-Quran dan sedikit menjelaskan ajaran Islam. Wajah lelaki itu berubah menjadi berseri-seri. Telah nampak keimanan merasuk ke dalam hatinya. Akhirnya ia masuk Islam. dari waktu ke waktu, dengan rahmat Allah Ta’ala, orang yang masuk Islam melalui tangan Mus’ab semakin banyak. Duta pertama Islam itu telah berhasil.

Mus’ab dikenal sebagai Mus’ab al-Khoir (yang baik). Saat perag Uhud Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta Mus’ab untuk membawa bendera umat Islam. Saat umat Islam terdesak karena sebagian meraka yang tidak mentaati perintah Nabi, musuh berbalik menyerang dan memenangkan pertempuran. Pasukan musuh berupaya untuk membunuh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam. Mus’ab yang menyadari bahaya mengancam Nabi, langsung terjun ke barisan musuh dengan bendera di satu tangannya dan pedang di tangan yang lain. Ketika sabetan pedang-pedang musuh mengenainya sepertinya hidupnya akan segera berakhir. Ia berkata, “Muhammad hanyalah seorang Rosul. Beberapa rosul telah mendahuluinya meninggalkan dunia”. Mus’ab sedang mengingatkan dirinya bahwa perjuangannya tidak hanya untuk Nabi melainkan untuk ajaran Allah Ta’ala ke seluruh dunia. Satu tangannya terputus, maka ia memegang bendera itu dengan tangan lainnya. Kemudian tangan keduapun sudah putus maka ia memegang bendera dengan kedua tunggul tangannya yang tersisa dan akhirnya ia dihujam tombak dan meninggal dunia. Kata-kata yang terus diulang setiap kali ia terkena sabetan pedang kemudian diwahyukan kepada Nabi dan disempurnakan serta menjadi bagian dari Al-Quran.

Setelah pertempuran, Nabi dan para sahabat bersedih di sepanjang medan pertempuran. Air mata mengalir saat mereka melihat tubuh Mus’ab. Khobbab Radhiyallahu ‘anhum menceritakan bahwa mereka tidak memiliki kain untuk menutupi tubuhnya kecuali pakaian yang dikenakannya. Ketika mereka mencoba menutupi wajahnya, kakinya tersingkap. Saat kakinya ditutup, wajahnya tersingkap. Maka Nabi memerintahkan mereka untuk meletakkan kain di wajahnya sedangkan kaki-kakinya ditutupi dedaunan.

Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersedih dengan banyaknya sahabat yang terbunuh di Medah Uhud. Ia teringat Mus’ab bin Umair saat pertama melihatnya di Mekkah dengan pakaian yang modis dan elegan kemudian memperhatikan kain yang ia kenakan- satu-satunya pakaian yang ia punya, dan membaca surat al-Ahzab ayat 23. Begitulah sepenggal kehidupan Mushab bin Umair Radhiyallahu’anhum.


Sumber: Majalah Lentera Qolbu, tahun ke 4 edisi ke 10

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.