KEAGUNGAN IBADAH TAUHID

Banyak orang meremehkan ibadah yang akan penulis bahas pada artikel. Ibadah tersebut padahal sangatlah agung dan sangat besar peranannya dalam kehidupan seseorang. Jika dia ingin mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat, maka dia harus mengamalkannya. Dia tidak akan masuk ke dalam surga jika tidak mengamalkannya. Ibadah apakah itu? Dengan melihat judul di atas, maka pembaca bisa menjawabnya dengan benar. Ibadah yang sangat agung tersebut adalah tauhid.

Sebelum penulis membahas tentang keagungan ibadah ini, penulis ingin menyampaikan bahwa kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara. Sungguh indah apabila kita menjadi hamba Allah yang benar-benar mulia. Tidaklah kita diciptakan di dunia ini kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ }

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” (QS Adz-Dzariyat : 56)

Jika kita tahu bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah hanyalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka sudah seharusnya kita benar-benar dapat memberikan waktu kita untuk beribadah kepada-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seluruh manusia di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:

{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ }

Artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Rabb (Tuhan) kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 21)

Apa arti kata “U’buduu/sembahlah” pada ayat di atas?

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata:

(كُلُّ مَا وَرَدَ فِيْ الْقُرْآنِ مِنَ الْعِبَادَةِ فَمَعْنَاهَا التَّوْحِيْدُ.)

Artinya: “Setiap (kata) yang ada di dalam Al-Qur’an yang berarti ‘penyembahan’, maka maknanya adalah bertauhid (kepada Allah).”[1]

Dengan demikian, sekarang kita telah sama-sama mengetahui bahwa ibadah teragung tersebut adalah tauhidullah (bertauhid kepada Allah).

Apa arti tauhid?

Menurut bahasa Arab, “tauhid” berarti menjadikan sesuatu menjadi satu saja. Sedangkan menurut Islam, tauhid adalah menyerahkan ibadah dengan ikhlas hanya untuk Allah dan tidak dicampuri dengan kesyirikan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ }

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” (QS Al-Bayyinah : 5)

Pentingkah tauhid?

Para ulama memisalkan tauhid dengan pondasi atau asas suatu bangunan. Apabila pondasinya tidak kokoh, maka percuma saja membangun bangunan yang tinggi, lambat laun bangunan tersebut akan roboh juga. Berbeda dengan bangunan yang berpondasi kuat, setinggi apapun bangunan yang didirikan, maka dia akan tetap kokoh.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Barangsiapa yang berkeinginan untuk membangun bangunan yang tinggi, maka perkara yang wajib dilakukannya adalah memperkuat dan memperkokoh  pondasi bangunan tersebut disertai dengan pengawasan yang ketat. Karena, tingginya sebuah bangunan itu tergantung pada kekuatan dan kekokohan pondasi bangunan tersebut.

Apabila keseluruhan amal dan derajat adalah bangunan, maka pondasinya adalah iman…Orang yang tahu (berilmu), dia akan berusaha untuk menguatkan dan memperkokoh pondasi bangunannya. Sedangkan orang yang jahil (bodoh), (dia akan terus) meninggikan bangunannya tanpa (memperhatikan) pondasi bangunannya. maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah ambruknya bangunan tersebut.”[2]

Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an:

{ أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.}

Artinya: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan ke-ridha-an-(Nya) itu yang lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. (QS At-Taubah : 109)

Di dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala membuat permisalan tentang orang yang berpegang teguh dengan tauhid dan kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ dengan sebuah pohon yang memiliki akar yang kuat dan batangnya menjulang ke langit dengan kokoh serta selalu memberikan manfaat setiap waktu. Berbeda dengan orang yang tidak bertauhid, Allah subhanahu wa ta’ala memisalkannya dengan tanaman yang jelek.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24)

تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26)}

Artinya: “ (24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (25) Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb (Tuhan)nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (26) Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi, dia tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.  (QS Ibrahim : 24-26)

Itulah perumpamaan orang yang bertauhid dengan orang yang tidak bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Setelah membaca paparan di atas, maka sebagai orang yang beriman, kita tidak boleh meremehkan ilmu tauhid dan berhenti untuk mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sekarang ini banyak manusia terlalaikan dengan dunia dan banyaknya syubhat yang diterima, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi untuk belajar ilmu tauhid. Subhanallah, siapa yang bisa menjamin bahwa mereka telah aman dari dosa syirik, lawan dari tauhid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sangat takut jika para sahabanya terjatuh pada kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa berlindung dari kesyirikan kepada orang terbaik umat ini, Abu Bakr Ash-Shiddiq, sebagaimana tercantum pada hadits berikut:

عن مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ : انْطَلَقْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- إِلَى النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ ، لَلشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : وَهَلِ الشِّرْكُ إِلاَّ مَنْ جَعَلَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم-: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ، أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى شَيْءٍ إِذَا قُلْتَهُ ذَهَبَ عَنْكَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ ؟ قَالَ : قُلِ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ.

Artinya: Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, dia bercerita, “Saya pernah pergi menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakr. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Bakr! Sesungguhnya kesyirikan yang ada pada diri kalian lebih samar daripada semut (yang gelap).’ Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pun berkata, ‘Bukankah yang dimaksud dengan syirik adalah jika seseorang menjadikan sembahan selain (Allah)?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya! Kesyirikan lebih samar daripada semut. Apakah engkau mau saya tunjukkan sesuatu yang jika engkau mengatakannya, maka kesyirikan akan terhindar darimu, sedikit maupun banyak?’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Katakanlah: Allaahumma innii a’uudzu bika an usyrika bika wa ana a’lam, wa astaghfiruka limaa laa a’lam. (Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada Engkau sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada Engkau atas apa yang tidak aku ketahui.’.”[3]

Subhanallah inilah doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita terhindar dari kesyirikan.

Para ulama juga menyebutkan –ketika menjelaskan hadits ini- bahwa seseorang bisa saja menjadi seorang musyrik (pelaku kesyirikan) sedangkan dia tidak ketahui atau tidak sadar. Allahua’lam.

 

Siapakah di antara kita yang lebih afdhal dari para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu tidak ada. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dan mewanti-wanti mereka dengan sabdanya:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ : يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا ، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً.

Artinya: “Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada diri kalian adalah asy-syirk al-ashghar (syirik kecil). Kami (Para sahabat) pun berkata, “Ya Rasulullah! Apakah asy-syirk al-ashghar itu?” Beliau pun menjawab, “Dia adalah riya’. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berkata di hari pembalasan terhadap amalan-amalan manusia: Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian riya-i dengan amalan-amalan kalian di dunia! Lihatlah apakah kalian mendapatkan balasannya?”[4]

Siapa di antara kita yang lebih afdhal dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam?

Beliau ‘alaihissalam sangat takut bila terjatuh kepada perbuatan syirik, sehingga beliau berdoa dengan doa yang diabadikan Allah di dalam Al-Qur’an:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ (35)

Artinya : ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabbi (Tuhanku)! Jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS Ibrahim : 35)

Oleh karena itu, kita harus lebih takut apabila kita terjatuh kepada kesyirikan daripada mereka. Tetapi hal ini banyak disepelekan oleh kebanyakan orang. Sebagai contoh, bagaimana menurut pendapat pembaca tentang orang yang memakai jimat di tangan, di leher atau di badannya?

Kebanyakan orang pada saat ini,  apabila ia menemukan saudaranya memakai gelang jimat di tangannya guna penyembuhan dari penyakit atau yang lainnya, kebanyakan orang tidak mengingkari hal tersebut. Akan tetapi, jika ia mendapatkan saudaranya berzina dan membunuh, maka ia sangat  menghinakan dan membesarkan hal tersebut.

Penulis tidak mengatakan bahwa perbuatan zina dan pembunuhan adalah dosa yang kecil dan memang benar itu adalah perbuatan dosa besar dan kita wajib untuk memperhatikan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan menjauhinya. Akan tetapi, memakai gelang jimat adalah perkara yang lebih besar dan hina. Karena, dalam akidah (keyakinan) ahlussunnah wal jama`ah, pelaku dosa besar yang bertauhid tidak akan kekal dalam neraka. Akan tetapi, dia berada dibawah masyi`ah (kehendak) Allah. Apabila Allah mengehendaki untuk mengampuninya maka Dia akan mengampuninya. Apabila Ia mengehendaki untuk menyiksanya maka Ia akan menyiksanya.

Sedangkan pemakai  halqah (gelang jimat) untuk pengobatan maka ia telah berbuat kesyirikan, entah itu syirik kecil (syirkul ashghar) ataukah syirik besar (syirkul akbar).

Apabila ia memakai gelang tersebut berkeyakinan bahwa benda tersebut hanya merupakan sebab untuk menyembuhkan penyakitnya, maka ini termasuk kepada syirik kecil.

Sedangkan, apabila ia memakai benda tersebut dengan keyakinan bahwa benda tersebutlah yang memberikan kesembuhan dengan sendirinya, maka ini termasuk pada syirik besar. Pelakunya akan kekal selama-lamanya dalam neraka, apabila ia meninggal dengan keyakinan semacam ini. Na`udzu billahi min dzaalik.

Ini adalah salah satu contoh di masyarakat kita. Masih banyak lagi contoh yang lain.

Oleh Karena itu, kalau kita melihat dakwahnya seluruh Rasul, maka kita akan mendapatkan bahwa mereka semua mendakwahkan tauhid, yaitu agar manusia hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ }

Artinya: “Dan telah kami utus pada setiap umat seorang Rasul untuk memerintahkan: Sembahlah Allah dan jauhilah thagut!” (QS An-Nahl : 36)

Dan juga firmannya:

{ وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ }

Artinya : ”Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az-Zumar : 65)

 

Contoh yang harus diteladani kaum muslimin adalah Nabi kita sendiri, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah meninggalkan dakwah tauhid padahal beliau adalah seorang yang bertauhid. Beliau tidak pernah melupakan dakwah tauhid meskipun beliau berada dalam kepungan kaum musyrikin Mekah.

Beliau juga tidak pernah  berhenti membicarakannya meskipun beliau berada di kota Madinah dan hidup di antara para sahabatnya yang senantiasa menolongnya.

Oleh karena itu, meskipun umat ini telah mencapai derajat kesempurnaan dalam kesadaran mentauhidkan Rab-nya, kekurangan itu pasti akan muncul juga dalam diri  manusia.

Kekurangan yang paling keji adalah kekurangan dalam keikhlasan dan dalam penyepelean tauhid. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diam untuk memperingatkan akan bahaya syirik sampai tiba hari-hari menjelang wafatnya. Padahal pada saat itu umat muslimin telah sampai kepada derajat tertinggi dalam mentauhidkan Rab mereka dan juga dalam persatuan di antara  mereka.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ: لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا.

Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika dia sakit yang mengakibatkan wafatnya, “Mudahan Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka telah menjadikan kuburan-kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.”[5]

Subhanallah! Inilah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat takut jika umatnya terjatuh kepada kesyirikan setelah beliau wafat.

Dengan demikian, mudah-mudahan kita bisa sama-sama menyadari bahwa ilmu tauhid sangat penting untuk dipelajari. Oleh karena itu, untuk pembaca yang ingin mempelajari tauhid dari dasar, maka penulis menyarankan untuk membaca buku-buku berikut:

  1. ‘Al-Aqidah Al-Wasithiyah’ karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah beserta kitab penjelasannya (syarh).
  2. ‘Kitab At-Tauhid’ dan kitab ‘Tiga Landasan Utama’ karya Syaikh Muhammad At-Tamimi beserta kitab penjelasannya.
  3. ‘Kitab Tauhid 1’, ‘Kitab Tauhid 2’ dan ‘Kitab Tauhid 3’ karya Syaikh Shalih Al-Fauzan dan kumpulan penulis.
  4. Cara Mudah Memahami Aqidah karya Syaikh Abdullah bin ‘Abdil-‘aziz Al-Jibrin, Pustaka Tazkia.

Dan jika bisa menghapalkan dalil-dalilnya maka itu lebih baik lagi.

 

Demikian, mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan kita bisa menjadi hamba Allah yang bisa beribadah dengan ibadah teragung ini. Amin.

Tamma bifadhlillahi wa karamihi.

 

(Diringkas dari berbagai sumber)

[1] Tafsir Al-Baghawi I/71.

[2] Al-Fawaid hal. 155-156. Ibnul-Qayyim.

[3] HR Al-Bukhari di Adabul-Mufrad no. 716. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Adabil-Mufrad.

[4] HR Ahmad di Musnadnya no. 23630 dan yang lainnya. Isnadnya dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib.

[5] HR Al-Bukhari no. 1330

 

Oleh: Abu Ahmad Said Yai Ardiansyah, M.A.

(Mudir Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.