Mengingat bahwa seseorang hidup di tengah masyarakat, maka seseorang akan menemui banyak hal, termasuk perilaku yang mengganjal di hati kita. Maka terasa sangat penting sekali untuk mengetahui etika dan adab dalam ber tetangga. Dengan harapan masyarakat paham akan pentingnya mempraktikkan etika ber tetangga, sehingga akan terwujud masyarakat yang hidup dengan harmonis, rukun dan lebih dari itu bisa menjadi tangga untuk meraih surga.
Kedudukan Tetangga dalam Islam
Perihal tetangga mendapatkan perhatian besar dalam syariat ini. Karena itu tak heran bila Alloh menyebutkannya setelah perintah beribadah hanya kepada-Nya (lihat An-Nisa’:36).
Bahkan saking pentingnya, sampai-sampai Rosul shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril terus saja berpesan kepadaku mengenai tetangga (untuk selalu berbuat baik kepadanya), sampai-sampai aku menyangka ia datang membawa wahyu bahwa seseorang akan mewarisi tetangganya.” (muttafaq ‘alaih)
Lebih-lebih lagi kesaksian tetangga terhadap kita menjadi tanda cerminan jati diri kita. Rosululloh bersabda:
إِذَا سَمِعْتَ جِيرَانَكَ يَقُولُونَ: قَدْ أَحْسَنْتَ، فَقَدْ أَحْسَنْتَ، وَإِذَا سَمِعْتَهُمْ يَقُولُونَ: قَدْ أَسَأْتَ، فَقَدْ أَسَأْتَ
“Bila engkau mendengar para tetanggamu berkata ‘engkau telah berbuat baik, maka sungguh engkau telah berbuat baik. Dan bila engkau mendengar mereka mengatakan ‘engkau telah berbuat buruk’, maka sungguh engkau telah berbuat buruk.” (HR. Ahmad)
Batasan Tetangga
Definisi tetangga sendiri adalah orang yang kediamannya dekat dengan kita. Sebutan tetangga cakupannya umum. Tidak pandang bulu siapakah tetangga tersebut, baik yang muslim ataupun yang kafir, ahli ibadah ataupun fasik, teman ataupun musuh. Sedangkan mengenai batasannya, beragam ulama memberikan batasan. Ada yang membatasinya dengan 40 rumah dari semua penjuru arah, meski hadits yang mendasarinya dinilai sebagai hadits dho’if. Tapi kita bisa mendasari batasan tetangga berdasarkan urf (adat kebiasaan) yang berlaku. Namun pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada tetangga dalam arti hunian tapi lebih luas dari itu.
Secara umum ada tiga kriteria tetangga, seperti yang dijelaskan para ulama.
a.Tetangga mempunyai tiga hak; yaitu tetangga muslim yang masih ada hubungan kekerabatan. Ia mempunyai hak kekerabatan, hak tetangga, dan hak Islam.
b.Tetangga mempunyai dua hak; yaitu tetangga muslim namun tak ada hubungan kekerabatan. Baginya hak Islam dan hak tetangga.
c.Tetangga mempunyai satu hak; yaitu tetangga yang kafir. Baginya hak tetangga.
Etika Bertetangga: Tangga Menuju Surga
Akhlak yang baik, perilaku yang santun, itu semua dapat menghantarkan menuju surga. Dan yang paling banyak mengantarkan manusia menuju surga adalah takwa dan akhlak yang baik, seperti terdapat dalam hadits hasan riwayat Ibnu Majah.
Bukankah menjaga etika terhadap tetangga juga masuk dalam akhlak mulia?!
Seorang wanita yang banyak sholat, sedekah, puasa, namun ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya, Nabi n menyatakan bahwa ia di neraka. Sedangkan yang sedikit puasa dan sholatnya (dengan catatan yang wajib terpenuhi), sedekahnya pun hanya beberapa potong keju kering yang mungkin kurang diperhitungkan, hanya saja ia tidak menyakiti tetangganya, Nabi n mengatakan, ia masuk surga. (HR. Ahmad)
Lebih-lebih lagi Rosululloh menyatakan dalam sabdanya:
وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ وَاَللَّهِ لَا يُؤْمِنُ”، قِيلَ : وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ :” الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Alloh tidaklah beriman! Demi Alloh tidaklah beriman! Demi Alloh tidaklah beriman! Ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman dari ulah jahatnya.” (muttafaq ‘alaih)
Maka seorang muslim yang cerdas yang mengharapkan surga-Nya, tentu tidak rela bila ia harus tertahan dari surga karena perlakuan buruknya terhadap tetangga.
Dalam hadits di atas, orang yang berulah jahat terhadap tetangganya dikatakan tidak beriman. Namun masalah ini perlu dipahami dengan baik agar tidak menimbulkan salah persepsi. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyitir ucapan Ibnu Batthol berkenaan dengan masalah ini: “Dalam hadits ini ada penekanan terhadap hak tetangga, di mana Rosul n mengucapkannya dengan disertai sumpah, bahkan Rosul mengulangi sumpah ini tiga kali. Hadits ini juga menafikan (meniadakan) iman dari orang yang mengusik tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Tapi yang dimaksud tidak beriman di sini adalah bahwa imannya tidak sempurna. Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang bermaksiat, imannya tidaklah sempurna.”
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim juga mengarahkan bagaimana kita mamahami hadits orang yang mengganggu tetangganya tidak masuk surga. Hadtis di atas (tidak masuk surga…) dibawa pada pengertian orang yang menghalalkan perbuatan mengganggu tetangga, padahal dia tahu bahwa hal itu haram. Maka orang ini kafir, sama sekali tidak akan masuk surga. Pengertian kedua yaitu bahwa balasan seorang muslim yang mengganggu tetangganya[1] adalah ia tidak akan masuk surga pada saat masuknya orang-orang yang berbahagia memasukinya, yaitu kala pintu surga dibukakan untuk mereka. Ia akan tertunda, lalu diberikan ganjaran sesuai perbuatannya. Tapi bisa juga Allah memaafkannya, sehingga ia bisa masuk surga sejak mula-mula bersama yang lain. Mengarahkan hadits tersebut pada pengertian di atas sangatlah penting; karena yang menjadi madzhab ulama yang hak bahwa orang yang meninggal di atas tauhid, namun ia bersimbah dosa besar, maka perkaranya diserahkan pada kebijakan Alloh. Bila Alloh berkenan, Ia akan memaafkannya, lalu ia dimasukkan ke surga. Dan bila Alloh berkehendak, Ia akan menyiksanya, kemudian baru ia akan dimasukkan ke surga. Wallahu a’lam.
Bagaimana Beretika terhadap Tetangga?
Secara detail, hak-hak dan etika yang harus diperhatikan terhadap tetangga sangatlah banyak. Hanya saja itu bisa disimpulkan dalam empat hak secara garis besar:
1. Tidak mengganggu dan menyakitinya
Rosululloh bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti (mengganggu) tetangganya.” (HR. Bukhori)
Dan menyakiti tetangga jauh lebih besar lagi tingkat keharamannya. Bahkan bobot dosa mengusik tetangga berlipat-lipat. Rosululloh bersabda:
لَأَنْ يَزْنِىَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِىَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ
“Sungguh, seseorang berzina dengan sepuluh perempuan itu lebih ringan baginya daripada ia berzina dengan seorang perempuan tetangganya.” (HR. Ahmad)
2. Berbuat baik kepadanya
Dalam bertetangga, tidak cukup dengan hanya menjaga diri agar tidak menyakitinya, namun juga harus dibarengi dengan berbuat baik kepadanya. Sehingga dalam riwayat Muslim ditegaskan dengan lafal:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berbuat baik pada tetangganya.” (HR. Muslim)
Termasuk berbuat baik pada tetangga adalah bertakziah kala ia tertimpa musibah; mengucapkan selamat dalam moment-moment bahagianya; menjenguknya kala sakit; memulai beruluk salam padanya; selalu menampakkan muka berseri-seri kala berjumpa; berbagi makanan walau tak begitu besar nilainya. Bahkan meskipun yang diberikan adalah sesuatu yang mungkin dianggap sepele. Seperti dalam hadits:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai kaum wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga menyepelekan untuk memberi kepada tetangganya, walaupun hanya dengan kikil (kaki) kambing.” (HR. Muslim) Dan pemberian terhadap tetangga tidak terbatas pada tetangga yang muslim saja. Kala Ibnu Umar menyembelih kambing, ia berkata: “Apakah kalian sudah memberi pemberian (dari kambing ini) kepada tetangga yahudi kita?”
Dan di antara bentuk berbuat baik terhadap tetangga adalah mengarahkannya pada kebaikan, baik kebaikan dunia maupun akhirat. Seperti kisah Rosul yang menjenguk anak muda tetangganya yang yahudi yang biasa melayani Nabi n. Anak tersebut tengah sakit. Rosul duduk di dekat kepala si sakit seraya berkata: “Islamlah engkau!” Si sakit pun memandang sang ayah, meminta pendapatnya. Sang ayah berkata: “Patuhi Abul Qasim!” Yang ia maksud adalah Rosululloh. Maka si anakpun masuk Islam; lalu Nabi keluar; sembari berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Bukhori)
3. Memperhatikan kondisi tetangga dan memberikan perlindungan kepadanya
Rosul bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Seorang yang mukmin bukanlah yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Thobroni dan Abu Ya’la).
4. Tabah menanggung gangguan tetangga
Ini juga tak kalah pentingnya; yaitu tak mempersoalkan kesalahan-kesalahan tetangga, cenderung memberinya maaf, terutama bila hal itu dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Ini merupakan di antara akhlak yang sungguh menawan.
Rosul shallallahu alaihi wasallam sendiri memerintahkan agar bersabar menghadapi tetangga yang sok usil. Dalam hadits diceritakan, ada seorang lelaki datang kepada Nabi n, mengeluhkan ulah tetangganya. Nabi n berkata kepadanya: “Pergilah dan bersabarlah!” Lalu orang itu datang lagi dua atau tiga kali, sehingga Nabi n berkata: “Pergilah, dan taruhlah barang-barangmu di jalan.” Ia pun melakukannya. Maka orang-orang kala lewat, mereka bertanya kepadanya (tentang apa yang terjadi). Iapun menceritakan perihal tetangganya. Maka orang-orang pun mencacinya, semoga Alloh menimpakannya begini dan begitu. Sebagian orang mendoakan keburukan atasnya. Maka si tetanggapun mendatanginya dan berkata: “Kembalilah, engkau tidak akan lagi melihat hal yang tak kau sukai dariku!” (HR. Abu Dawud)
Potret Bertetangga ala Rosul dan Sahabat
Karena begitu besar kedudukan tetangga di mata Islam, maka kita dapatkan potret para sahabat benar-benar mempraktikkan hal ini dalam kehidupan mereka.
Inilah Aisyah, segera terketuk hatinya untuk mewujudkannya dalam praktik hidupnya. Beliau meminta arahan dari Rosul, mana di antara tetangganya yang harus ia dahulukan kala hendak memberi hadiah. Nabi menjawab: “Kepada tetangga yang paling dekat pintunya.” (HR. Bukhori)
Ini karena kondisi kehidupan rumah tangga Nabi yang tidak hidup dalam kelapangan. Kadang beberapa hari dapur rumah Nabi tidak mengepulkan asapnya. Maka di sini Aisyah perlu untuk memberi prioritas, siapa yang harus didahulukan.
Ketika Abu Huroiroh dililit lapar, Nabi mengirimkan untuknya sepinggan susu, yang kemudian bukan hanya dinikmati oleh Abu Huroiroh seorang, namun juga orang-orang ahlu shuffah yang ada bersamanya.
Lihat pula Asma’ istri dari Zubair. Kala baru datang hijrah dari Mekah ke Madinah, tentunya hidupnya serba berat; mulai dari pengadaan rumah, dan beban berat lainnya. Asma’ membeberkan bahwa di antara yang meringankan bebannya bahwa ia mempunyai tetangga-tetangga yang baik dan tulus, yang rela membuatkan roti, membantunya membuat adonan tepung dan roti. Dan masih banyak lagi potret para sahabat, juga para kaum salafus sholih yang menggambarkan bagaimana mereka berinteraksi dengan tetangga. Kiranya kita bisa meneladani mereka sehingga bisa membuahkan surga. Amiin.
[1] Orang yang berulah jahat terhadap tetangganya di atas tidak meyakini bahwa ulah jahatnya tersebut adalah hal yang diperbolehkan.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu
artikel lainnya:
Leave a Reply