1. llmu Adalah Ibadah
Sesungguhnya prinsip dalam semua persoalan yang harus diketahui seorang muslim terkhusus para penuntut ilmu adalah bahwa ilmu itu ibadah. Oleh karena itu, syarat ibadah ada 2, diantaranya:
Pertama: Keikhlasan niat karena Allah azza wa jalla. Hal ini berdasarkan firman-Nya:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعبُدُواْ ٱللَّهَ مُخلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus….”[1]
Dalam sebuah hadits ahad, diriwayatkan dari Amiirul mukminin Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, seluruh amalan itu tergantung pada niat…”[2]
Apabila tidak dibarengi dengan keikhlasan niat, maka ilmu yang merupakan ibadah yang paling utama itu akan berubah menjadi kemaksiatan yang paling nista. Tidak ada penghancur ilmu yang sedahsyat riya’ dan sum’ah, misalnya engkau mengatakan nada sum’ah. “Aku sudah mengetahui dan aku sudah hafal….”. Maka dari itu, bersihkanlah diri kita dari segala bentuk yang bisa mengotori niat tulus dalam menuntut ilmu, seperti kesenangan dalam menonjolkan diri dan mengalahkan teman, menjadikan ilmu sebagai batu loncatan untuk meraih ambisi dan kekayaan duniawi (baik berupa jabatan, uang, kehormatan, ketenaran, pujian, atau menarik perhatian orang lain kepadamu). Jika hal-hal ini dan yang serupa dengannya mencampuri niatm, niscaya akan rusak dan hilanglah keberkahan ilmu. Oleh karena itu, engkau wajib menjaga niat dari noda keinginan selain Allah serta menghindari hal-hal yang mengantarkan kepadanya.
Dari Sufyan rahimahullah, ia berkata:
كُنْتُ أُوْتِيْتُ فَهمَ القُرْآنِ، فَلَمَّا قَبِلْتُ الصُّرَّةَ سُلِبْتُهُ
Artinya: “Dulu aku dikaruniai kepahaman tentang Al-Quran. Namun, setelah menerima hadiah dari penguasa, kepahaman itu dicabut dariku.”[3]
Berpeganglah teguh pada buhul tali yang amat kuat, yang melindungi dari noda ini. Caranya -di samping berupaya keras mewujudkan keikhlasan- yaitu harus memiliki rasa takut yang besar terhadap pembatal-pembatal keikhlasan serta menyadari kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi kepada Allah ta’ala. Semoga Allah menolong kita agar senantiasa berada di jalan yang lurus, aamiin.
Kedua: Sifat yang selalu mencintai Allah dan Rasul-Nya untuk dunia dan akhiratnya. Perwujudannya dengan berupaya mengikuti ajaran dan jejak Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan semurni-murninya.
Allah ta’ala berfirman:
قُل إِن كُنتُم تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحبِبكُمُ ٱللَّهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنُوبَكُمۡۚ
Artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’”[4]
Wahai para penuntut ilmu! Duduk menerima pelajaran dan berada di forum paling mulia (baca: majelis ilmu) maka, bertakwalah kepada Allah azza wa jalla baik dalam keadaan sendiri maupun di hadapan orang banyak. Itulah perbekalan sejati, landasan seluruh keutamaan, dan pelabuhan semua hal terpuji. Ia juga merupakan pemicu kekuatan, tangga yang mengantarkan kepada ketinggian, dan pengikat hati yang kuat dari daya tarik godaan.
- Ikutilah Jalan Para Salafus Shalih
Jadilah seorang salafi sejati, yang senantiasa menapaki jalan para salafus shalih, yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum ‘ajmain dan para ulama sesudahnya yang mengikuti jejak mereka dalam seluruh aspek agama (baik itu tauhid, ibadah, dan lainnya). Sebagai ciri khas yang tidak melekat pada siapa pun kecuali mereka, yaitu seorang yang konsisten memegang teguh warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerapkan sunnah pada diri sendiri, meninggalkan perdebatan dan bicara berlebihan dalam persoalan ilmu kalam, serta meninggalkan hal-hal yang membawa kepada dosa dan menghalangi dari syariat.
Imam Dzahabi rahimahullah berkata[5]:
“Diriwayatkan secara shahih dari Daruquthni bahwa ia berkata: ‘Tiada sesuatu yang lebih aku benci daripada ilmu kalam.’ Saya katakan: ‘Orang ini tidak pernah membahas ilmu kalam dan berdebat. Ia tidak pernah melibatkan diri di dalamnya. Ia seorang salafi.’”
Ahlussunnah wal jamaah adalah orang-orang yang mengikuti jejak peninggalan Rasulullah ashallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetaplah di jalan ini dan jangan mengikuti jalan-jalan lain, sehingga akhirnya diceraiberikan dari jalan-Nya.
- Senantiasa Takut kepada Allah subhanahu wata’ala
Berhias diri dengan memperbaiki kondisi lahir dan batin, dengan rasa takut kepada Allah azza wa jalla. Caranya dengan menjaga syiar-syiar Islam; menampakkan dan menyebarluaskan sunnah dengan mengamalkan dan mendakwahkannya; mengajak mendakwahkan ajaran Allah kepada orang lain dengan ilmu, sikap, dan amal; serta berhias dengan sifat kstaria, lapang dada, dan sikap baik.
Semua yang disebutkan di atas kuncinya adalah rasa takut kepada Allah ta’ala. Karena itu perihalah selalu rasa takut kepada Allah, baik Ketika sendiri maupun di hadapan orang banyak. Manusia terbaik adalah yang memiliki khasy-yah “rasa takut” kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang takut kepada kecuali ulama. Oleh karena itu, manusia yang terbaik adalah ulama. Jangan lupa bahwa seseorang tidak disebut sebagai ulama kecuali apabila mengamalkan ilmu. Seorang ulama tidak akan mengamalkan ilmu kecuali apabila di dalam dirinya selalu tertanam rasa takut kepada Allah ta’ala.
Khathib Baghdadi rahimahullah berkata[6]: “Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib berkata:
“Ilmu itu memanggil pemiliknya untuk beramal, jika ia memenuhi panggilannya. Jika tidak maka ilmu itu akan pergi.””
- Selalu Menjaga Sifat Muraqabah
Berhias diri dengan selalu menjaga sifat muraqabah, yaitu kesadaran akan pengawasan Allah ta’ala baik dalam keadaan sendiri maupun di hadapan orang banyak. Berhiasa dengan sifat ini seraya menuju Rabb-mu dengan perasaan antara takut dan harap, karena posisi keduanya bagi seorang Muslim seperti sepasang sayap bagi seekor burung. Oleh kerena itu, hadapkanlah diri kepada Allah secara totalitas. Biarkan kecintaan kepada Allah memenuhi hatimu dan dzikir kepada Allah menyibukkan lidahmu. Penuhilah hatimu dengan kegembiraan, keceriaan, dan kebahagian terhadap hukum-hukum dan hikmah-hikmah Allah ta’ala.
- Rendah Hati dan Tidak Sombong
Berhiaslah dengan adab-adab pribadi, yaitu sikap iffah (menjaga kesucian diri), santun, sabar, tawadhu kepada kebenaran, tenang “seperti burung” yang mencakup penampilan yang berwibawa, sopan, dan rendah hati, sabar menanggung kehinaan belajar demi kemuliaan ilmu, serta patuh kepada kebenaran.
Berhati-hatilah terhadap sikap-sikap yang bertentangan dengan adab-adab tersebut; kerna selain berdosa, ia membuktikan kepada dirimu bahwa di akalmu terdapat penyakit, sekaligus bahwa engkau gagal meraih ilmu dan mengamalkannya. Hindarilah sikap angkuh, karena ia merupakan kemunafikan dan kesombongan. Sungguh luar biasa upaya yang dilakukan oleh para ulama salaf untuk melindungi diri dari sifat ini.
Salah satu contoh yag hebat terdapat dalam Riwayat yang dibawakan Imam Dzahabi mengenai biografi Amru bin Aswad al-Ansi yang wafat pada masa kekhalifahan Abdulmalik bin Marwan rahimahullah. Diriwayatkan bahwa ia memegangi tangan kiri dengan tangan kanannya apabila pulang dari masjid. Ketika ditanya mengenai hal itu, ia menjawab: “Karena aku khawatir tanganku menjadi munafik.” Saya katakan: Ia memegangi tangannya agar tidak terayun-ayun Ketika berjalan, karena hal itu merupakan indikasi keangkuhan. Begitulah kerjadian yang pernah dialami oleh Al-Ansi rahimahullah.
Waspadalah terhadap penyakit para tirani (sombong), karena sombong, tamak, dan iri merupakan dosa pertama yang dilakukan sebagai maksiat kepada Allah. Sikap lancangmu kepada guru merupakan kesombongan, keenggananmu menerima ilmu dari orang yang di bawahmu merupakan kesombongan, kelalaianmu mengamalkan ilmu adalah: lumpur: kesombongan dan tanda kesengsaraan. Oleh karena itu, semoga Allah merahmatimu, hendaklah engkau selalu menapak bumi, bersikap rendah hati, dan menekan diri Ketika meuncul kecenderungan kepada kesombongan, kecongkakan, kegemaran menonjolkan diri, kekaguman kepada diri sendiri, dan sifat-sifat buruk lain yang merupakan penyakit pembunuh ilmu, penghilang wibawanya, dan pemadam cahayanya. Setiap kali ilmumu bertambah atau kedudukanmu bertambah tinggi, pegang teguhlah adab ini niscaya kelak kau raih kebahagiaan agung dan kedudukan yang menjadikan banyak orang iri kepadamu.
Diriwayatkan dari Abdullah, putra seorang hujah sekaligus rawi Kutubut Tis’a, Bakr bin Abdullah al-Muzani rahimahumallah bahwa ia berkata: “Pernah ku dengar seseorang bercerita mengenai ayahku bahwa suatu ketika ia sedang berwukuf di Arafah. Tiba-tiba ia menangis, ia berkata: “Andai kata aku tidak berada di tangah-tangah mereka niscaya ku katakana bahwa mereka semua sudah diampuni.” Riwayat tersebut dibawakan Imam Dzahabi, kemudian belian berkata: “Saya katakan: Demikianlah seorang hamba, seyogyanya bersikap rendah hati.”
REFERENSI:
Diringkas dari: buku Hilyah Thalibil ‘Ilmi Perhiasan Penuntut Ilmu karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Diringkas oleh: Adi Joyo Prasetyo (Pegawai Pondok Pesantrean Darul Quran wal-Hadits OKU Timur)
[1] QS. Al-Bayyinah: 5
[2] Al-Hadits
[3] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim, hlm. 19
[4] QS. Ali Imran: 31
[5] As-Siyar
[6] Al-Jami’, Khathib, Dzammu man laa Ya’malu bi Ilmihi, no. 15, Ibnu Asakir, lihat sanadnya dalam Lisanul Mizan, III/26-27, Al-Hafizh Ibnu Hajar
BACA JUGA:
Leave a Reply