Abu Hurairah Pembesar Para Hafizh Hadits dan Murid Rasulullah yang Paling Unggul
Bismillah
Segala puji bagi Allah Rabb semesta Allah, yang dengan rahmatNya kita saling berkasihsayang satu sama lain, yang dengan nikmatNya yang tidak pernah putus kita bisa beribadah dengan tenang dan memperbagusnya. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi yang beliau utus untuk seluruh alam, Nabi yang kedudukannya paling tinggi dan paling dicintai di hati seluruh lapisan yang mengaku beriman, Muhammad bin Abdilllah bin Abdi Muththablib, juga kepada para shahabatnya, para istri dan keluarganya, tabiin, tabiut tabiin, ulama rabbaniyyin, serta orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat.
Amma ba’ad:
Kembali lagi pada artikel sirah sahabat Nabi radhiyallahu anhum ajmain. Harapan kami setelah membaca kisah-kisah mereka, pembaca yang Budiman bisa mengambil ibrah atau pelajaran yang bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari, juga dengannya kita bisa mengetahui kisah hidup mereka yang penuh dengan rintangan dalam membersamai Nabi dalam menegakkan agama Islam di muka bumi di tengah-tengah kaum jahiliyah. Insyaa Allah pada pertemuan kali ini kita akan membahas salah seorang sahabat beliau yang terkenal dengan riwayat hadits beliau yang sangat banyak, bahkan yang paling banyak di antara para sahabat yang lainnya radhiyallahu anhum ajmain. Beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi atau yang biasa dikenal dengan Abu Khurairah.
Beliau adalah seorang sahabat besar yang terkenal, masuk Islam tahun 7 H.[1] Penghuni Shuffah yang paling dikenal sepanjang hayat Nabi dan tidak berpindah darinya. Beliau adalah pemimpin orang-orang yang tinggal Shuffah, baik yang permanen maupun yang temporer.[2] Salah satu tokoh orang-orang fakir miskin di zaman Nabi. Beliau bersabar menghadapi kefakiran yang sangat paraj hingga beliau bisa menimba ilmu dari Rasulullah.
Abu Hurairah menceritakan kelaparan berat yang dirasakannya, namun beliau memikulnya dengan sabar, “Aku pernah terjatuh antara mimbar dan kamar karena lapar, sehingga orang yang lewat berkata, ‘Orang ini gila.’ Aku tidak gila, akan tetapi kelaparan. Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar dan mengikat batu di perutku. Aku pernah meminta salah seorang dari mereka untuk membacakan satu ayat kepadaku padahal aku lebih mengetahui ayat tersebut darinya, tidak ada maksud dariku, kecuali aku berharap dia akan mengajakku ke rumahnya dan memberiku makan.[3]
Beliau diberi nama kunya “Abu Hurairah” karena suatu sebab yang beliau ceritakan sendiri, beliau berkata, “Dulu aku mengembala domba-domba keluargaku dan aku memiliki seekor anak kucing kecil. Pada malam hari aku biasa meletakkan kucing itu di sebuah pohon, sedangkan pada siang hari aku membawanya pergi dan bermain-main dengannya, maka mereka memanggilku Abu Hurairah.[4] Di antara ciri fisik Abu Hurairah dia berkulit coklat, daerah di antara kedua pundaknya lebar, memiliki sepasang kepang rambut dan kedua gigi depannya renggang.[5] Abu Hurairah berbahagia denga napa yang didapatkannya dari Nabi berupa kelembutan beliau, sebagaimana dia juga berbahagia karena cita-cita besarnya terwujud, yaitu hidup di sisi Nabi dan menimba ilmu dari beliau.
Namun masih ada perkara yang membuatnya sangat bersedih dan mengeruhkan kejernihan hidupnya, yaitu ibunya yang masih di atas kesyirikan, menolak untuk beriman kepada Allah dan RasulNya. Abu Hurairah sudah mengajaknya kepada Islam berulang-ulang, namun dia selalu menolak. Abu Hurairah tidak kenal henti dalam mengajak ibunya kepada Islam, tidak kenal putus asa. Abu Hurairah terus memintanya setiap hari agar beriman kepada Allah dan RasulNya. Suatu hari ibu beliau jengkel dan mengucapkan kata-kata tidak baik tentang Nabi. Abu Hurairah sangat menyesali kata-kata ibunya terhadap Nabi, beliau memikul kegelisahan berat karena itu, beliau khawatir ibunya akan ditimpa adzab dari Allah, beliau juga takut terhadap dirinya bila menjadi sebab apa yang menimpa Nabi dari kata-kata ibunya. Abu Hurairah merenung dan beliau tidak mendapatkan jalan kecuali Rasulullah yang diharapkan membantunya keluar dari perkara sulit ini.
Abu Hurairah bergegas menemui Rasulullah. Beliau datang menemui Nabi di masjid, sedangkan air matanya membasahi wajah dan janggutnya. Beliau mengucapkan salam dan duduk. Nabi langsung bertanya, “Ada apa denganmu wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengajak ibuku masuk Islam, namun beliau menolak, suatu hari aku mengajaknya, namun dia mengucapkan kata-kata tentang dirimu yang tidak aku inginkan. Berdoalah kepada Allah agar Allah memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Maka Nabi صلى الله عليه وسلم merespon permintaannya, beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa,
اللهم اهد أم أبي هريرة
Artinya: “Ya Allah, berikanlah hidayah kepada Ibu Abu Hurairah.”[6]
Abu Hurairah bersuka cita dengan doa Nabi, beliau berharap kebaikan di belakangnya. Tidak lama sesudah itu, beliau meninggalkan majelis Nabi untuk pulang kepada ibunya menyampaikan kabar gembira tentang doa yang penuh berkah tersebut. Allah segera mengabulkan doa NabiNya, dan Allah segera memuliakan hambaNya yang shalih, Abu Hurairah terkait ibunya. Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata, “Aku pulang berlari, dan ternyata pintu rumah tertutup dan aku mendengar gemercik air, kemudian aku membuka pintu dan mendengar ibuku mengucapkan,
أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.”
Maka aku kembali sambil menangis karena bahagia.”[7]
Abu Hurairah merasakan sebuah beban sangat berat telah melayang dari hatinya pasca ibunya masuk Islam. Beliau pun mengetahui bahwa tidak ada lagi penghalang untuk memfokuskan hati, pendengaran, dan pengelihatannya kepada Rasulullah agar bisa memahami Islam dengan pemahaman yang sempurna dan mengejar ilmu-ilmu yang terlewatkan.
Abu Hurairah selalu menyertai Nabi, beliaulah sahabat yang paling banyak hafalan dan riwayatnya terhadap hadits. Beliau meriwayatkan 5374 hadits, di mana al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan darinya sebanyak 326 hadits. Al-Bukhari meriwayatkan darinya secara khusus sebanyak 93 hadits, sedangkan Muslim 98 hadits.[8] Asy-Syafi’I berkata, “Abu Hurairah adalah yang paling hafal hadits di zamannya.”[9]
Abu Hurairah hidup sesudah wafatnya Rasulullah selama hampir 50 tahun. Kesibukan utamanya adalah mengajar masyarakat, memahamkan mereka tentang agama mereka, menyampaikan kepada mereka tentang hadits-hadits Rasulullah yang dia dengar selama menjadi sahabat dan apa yang telah dia hafal dari para sahabat Nabi lainnya saat Nabi masih hidup dan sesudah beliau wafat. Beliau tidak pernah mengedepankan apa pun dari pekerjaan ini, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang sahabat pendidik. Beliau mendidik sebuah generasi besar. Di antara murid-muridnya adalah para ulama Tabi’in dan Para Imam Islam para paruh kedua abad pertama. Kepedulian Abu Hurairah terhadap belajar tidak lebih rendah daripada perhatiannya terhadap mengajar. Beliau menyertai Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab dan para sahabat yang lainnya, beliau menimba fikih mereka, dan belajar Al-Quran dari mereka dan juga dari Ubay bin Ka’ab.
-
Ibadah dan Ketakwaan Abu Hurairah رضالله عنه
Ilmu bukan satu-satunya ciri khas sahabat besar lagi mulia ini, masih ada yang lain yang tidak kalah darinya, yakni ketakwaannya kepada Allah dan kesungguhannya dalam beribadah kepadaNya, menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Abu Hurairah adalah sahabat yang banyak beribadah, banyak sahalat malam, shalat dengan rukuk dan sujud yang panjang, banyak beristighfar dan bertasbih, berdoa dengan doa yang panjang, selalu kembali kepada Allah dan bertaubat kepadaNya. Bila sepuluh hari pertama Dzulhijjah datang, Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum masuk ke pasar sambil bertakbir dan orang-orang pun bertakbir mengikuti keduanya.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Utsman al-Hudzali bahwa dia berkata, “Aku bertamu di rumah Abu Hurairah selama tujuh malam; dia, istri, dan pelayannya membagi malam menjadi tiga.”[10] Diriwayatkan juga dengan sanad shahih darinya bahwa beliau biasa bertasbih 12 ribu kali dalam sehari. Beliau berkata, “Aku bertasbih sebanyak dosa-dosaku.”[11] Beliau berusaha keras menjaga dua rakaat fajar dan berwasiat kepada rekan-rekannya agar menjaga keduanya. Beliau berkata, “Jangan meninggalkan shalat dua rakaat fajar sekalipun kuda mengejarmu.”[12] Saat dunia mendatangai beliau, di mana harta melimpah di hadapannya, beliau berpakaian dari bahan yang lembut, dan kehidupannya membaik, dunia tetap tidak dapat mengubahnya dan beliau tidak memalingkan perhatiannya terhadap dunia, sebaliknya beliau bersikap zuhud terhadap dunia dan selalu memperhatikan akhirat, beliau tetap berjalan di atas jalan yang dilewati oleh Rasululah dan pra Khulafa’ Rasyidin yang diberi petunjuk. Abu Hurairah selalu memperharikan akhirat dan tidak menengok kepada dunia, memandang kenikmatan dan kelezatan dunia sebagai suatu yang rendah, beliau selalu ingat bahwa beliau akan ditanya di alam kuburnya dan akan berdiri menghadap Rabbnya dan Rabbnya akan menghisab amal perbuatannya.[13]
-
Di Antara Keutamaan Abu Hurairah رضي الله عنه
Abu Hurairah memiliki banyak keistimewaan, kemuliaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh para sahabat Nabu yang lainnya, di antaranya:
Pertama, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda dalam suatu hadits yang beliau ucapkan pada suatu hari,
إنه لن يبسط أحد ثوبه حتى أقضي جميع مقالتي, ثم يجمع أليه ثوبه إلا وعى ما أقول
Artinya: “Sungguh tidak ada seseorang yang membentangkan kainnya di depanku hingga aku menyudahi kata-kataku, kemudian dia melipatkan kainnya kecuali dia mengingat apa yang aku katakana.” (Muttafaq Alaih)
Maka aku membentangkan kain bergaris-garis milikki dan pada saat Nabi menyelesaikan kata-katanya, aku melipatnya ke dadaku, maka aku tidak lupa sedikit pun dari kata-kata Rasulullah tersebut.”[14]
Kedua, diriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata, “Sesunggnuhnya orang-orang berkata, ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits’, Demi Allah, seandainya tidak ada duat ayat dalam Kitab Allah, niscaya aku tidak menyampaikan sebuah hadits pun.” Kemudian Abu Hurairah membaca firman Allah,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكتُمُونَ مَآ أَنزَلنَا مِنَ ٱلبَيِّنَٰتِ وَٱلهُدَىٰ مِنۢ بَعدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلكِتَٰبِ أُوْلَٰئِكَ يَلعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ. إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰئِكَ أَتُوبُ عَلَيهِم وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيم
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 159-160)
Kemudian beliau (Al-A’raj) berkata sesudahnya, “Sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan kamu Muhajirin sibuk dengan perniagaan mereka di pasar, sedangkan saudara-saudara kami dari kaum Anshar sibuk bekerja di kebun mereka, sementara Abu Hurairah selalu menyertai Nabi untuk sekedar mengisi perutnya, maka Abu Hurairah mendengar apa yang tidak mereka dengar, dan menghafal apa yang tidak mereka hafal.”[15]
Ketiga, Abu Hurairoh berkata, “Aku datang ketika Rasulullah berada di Khaibar dan saat itu usiaku sudah di atas 30 tahun, aku tinggal bersama Nabi hingga beliau wafat, aku berkeliling bersama beliau di rumah-rumah istrinya. Aku melayani beliau, berperang bersama beliau, dan menunaikan haji bersama beliau, maka aku adalah orang yang paling mengetahui hadist Nabi. Demi Allah, sebelumku telah ada orang-orang yang menyertai Nabi, mereka mengetahui kedekatanku dengan beliau, maka mereka bertanya kepadaku tentang hadits beliau, di antara mereka Umar, Utsman, Ali, Thalhah, dan Az-Zubair. Demi Allah, tidak ada satu pun hadits di Madinah yang samar bagiku.”[16]
-
Wafatnya Abu Hurairah
Abu Hurairah sakit dan dia merasa ajalnya sudah dekat. Dia memohon kepada Allah agar mewafatkannya sebelum tahun 60 H. Kesehatan Abu Hurairah menurun, beliau pun yakin bahwa sakit ini adalah sakit kematian, bahwa dia akan berpisah dengan dunia. Sebuah kabar beredar cepat di antara manusia, bahwa seorang ulama Islam di zamannya dan hafizh para sahabat, Abu Hurairoh, sedang sakit dan di ambang kematian. Maka orang-orang berdatangan ke rumahnya untuk menjenguknya. Masyarakat berdatangan dari segala penjuru. Beberapa pemuka Madinah menemuinya dan beliau melihat wajah-wajah mereka, kemudian beliau tenggelam dalam tangisan, maka jiwa mereka terenyuh karena tangisannya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Hurairoh?” Beliau menjawab, “Aku tidak menangisi dunia kalian ini, akan tetapi aku menangisi jauhnya perjalananku dan minimnya bekalku, sesungguhnya aku sedang mendaki sebuah jalan terjal menanjak yang ujungnya adalah surga atau neraka, aku pun tidak tahu berujung di manakah aku berhenti.”[17]
Hari terakhir tiba, Marwan bin al-Hakam menjenguk Abu Hurairoh. Dia berkata, “Semoga Allah menyembuhkanmu wahai Abu Hurairah.” Maka Abu Hurairah menjawab, “Ya Allah, sesungguhnya aku sangat ingin bertemu denganMu, maka aku harap Engkau pun ingin bertemu denganku.”[18] Marwan berpamitan dari sisinya dan dia belumlah tiba di tengah pasar, melainkan Abu Hurairah sudah meninggal.[19] Ruhnya yang tenang dibawa naik kepada Rabbnya. Abu Hurairah meninggalkan kehidupan yang fana ini untuk masuk ke kehidupan yang kekal dan tenang dengan izin Allah.
Sejarah menulis dengan tinta tebal sebuah peristiwa yang masuk salah satu peristiwa besar tahun 59 H, yaitu wafatnya seorang sahabat Rasulullah dan muridnya yang unggul, Abu Hurairah ad-Dausi al-Yamani, sesudah kehidupan yang sarat dengan ilmu, ibadah, dan amal shalih. Masyarakat menangisinya dan bersedih dengan kesedihan mendalam. Semoga Allah meridhai Abu Hurairah dan membuatnya ridha.
REFERENSI:
Diringkas dari:
As-Suhaibani, Dr. Abdul Hamid. 2018: V. Para Sahabat Nabi Kisah Perjuangan, Pengorbanan, dan Keteladanan. Jakarta: Darul Haq. Hal:371-378.
Diringkas oleh:
Tamim Abu Zubair (Staff Ponpes Darul Quran wal Hadits, OKU Timur)
[1] Ma’rifah al-Qurra’ al-Kibar, adz-Dzahabi, 1/44.
[2] Hilyah al-Auliya, 1/276.
[3] Al-Bidayah wan Nihayah, 8/104.
[4] HR. At-Tirmidzi dalam Al-Ishabah, 7/426.
[5] Al-Ishabah, 7/434.
[6] Siyar A’lam An Nubala’, 2/592, HR. Muslim.
[7] Al-Ishabah, 7/425.
[8] Siyar A’lam An Nubala’, 2/632.
[9] Al-Ishabah, 7/433/
[10] Al-Ishabah, 7/442.
[11] Ibid.
[12] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, 2/49.
[13] Abu Hurairah Tilmidz an-Nubuwah an-Najib, Muhammad Ali Daulah.
[14] HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan Abu Nu’aim.
[15] Bidayah wan Nihayah, 8/104; Al-Ishabah, 7/433; dan Hilyatul Aulia, 1/379.
[16] Bidayah wan Nihayah, 8/108 dan Al-Ishabah, 7/441.
[17] Siyar A’lam an-Nubala’, 2/625 dan Hilyatul Aulia’, 1/383.
[18] Siyar A’lam an-Nubala’, 2/625.
[19] Ath-Thabaqat al-Kubra, 4/339.
Baca juga artikel:
Leave a Reply