Berjabat Tangan Sunnahkah?

Berjabat Tangan Sunnahkah

Berjabat Tangan Sunnahkah? – Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Asasnya adalah aqidah yang benar, bangunannya adalah amal shalih dan hiasannya adalah akhlak yang mulia. Sebuah pondasi tidak akan bernilai tinggi, jika tidak ada bangunan di atasnya; Sebuah bangunan akan rapuh, meski terkesan kokoh jika pondasinya tidak kuat dan sebuah bangunan tidak akan enak dipandang jika hampa dari hiasan. Artinya, ketiga unsur merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Berikut diantara akhlak Islami yang mulia yang menghiasi diri kaum Muslimin dan terhitung sebagai bukti atau kensekuensi persaudaraan sejati yaitu berjabat tangan tatkala berjumpa. Pertanyaannya, bagaimana aturan Islam dalam berjabat tangan yang mendatangkan kebaikan itu ? Sudah benarkah praktik yang dilakukan oleh kaum Muslimin sekarang ini ? Ini perlu sekali untuk diketahui bersama, karena tidak beberapa lama lagi kita akan melaksanakan ibadah puasa yang diakhiri dengan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini, biasanya berjabat tangan itu seakan sudah menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.

Berikut pembahasan seputar ber-jabat tangan dalam Islam, hukum dan keutamaannya serta hal-hal yang terkait dengannya.

HUKUM BERJABAT TANGAN DAN ASAL USULNYA:

Berjabat tangan adalah sunnah yang disyari’atkan dan adab mulia para shahabat radhiallahu ‘anhu yang dipraktikkan sesama mereka tatkala berjumpa.

Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab al-Isti’dzân dalam kitab Shahihnya memuat sebuah bab yang berjudul Babul Mushafahah (Bab: Berjabat Tangan). Dalam bab ini beliau rahimahullah membawakan beberapa hadits yang menjelaskan sunnahnya berjabat tangan tatkala bersua, diantaranya :

عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسِ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ قَالَ نَعَمْ

Artinya: Dari Qatadah ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas (bin Malik), ‘Apakah berjabat tangan dilakukan dikalangan para shahabat Rasûlullah?” Beliau menjawab, ‘Ya’

Dalam riwayat lain:

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ إِذَا تَلاقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا. وفي رواية: دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُوْلُ اللَّهِ جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ فَقَامَ إِلَيَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ يُهْرُولُ . حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي

Artinya: “Adalah shahabat nabi apabila mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan dan apabila kembali dari perjalanan mereka saling berangkulan. Dalam riwayat lain: Dan hadits Ka’ab Bin Mâlik setelah turunnya taubat beliau, ia berkata: “Saya masuk masjid (Nabawi) sementara Rasûlullâh shalallahu alaihi wasallam sedang dalam keadaan duduk dan dikelilingi oleh manusia (para shahabat), lalu Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu anhu berlari (kearahku) lalu beliau radhiallahu Anhu berjabat tangan denganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.².

Imam Nawawi menyebutkan bahwa dalam hadits ini banyak terkandung faedah, diantaranya: “Disunnahkan berjabat tangan tatkala berjumpa. Ini merupakan sunnah yang tidak diperselisihkan.”

Dari sebagian hadits diatas disimpulkan bahwa ber-jabat tangan tatkala bersua adalah sunnah yang disyari’atkan, sebagaimana yang dipertegas oleh para Ulama, seperti :

  • Imam Ibnu Baththal Radhiallahu anhu yang mengatakan, “Berjabat tangan adalah kebaikan menurut seluruh Ulama.”
  • Imam Nawawi rahimahullah yang juga mengatakan, “Berjabat tangan adalah sunnah tatkala bersua berdasarkan hadits hadits yang shahih dan ijma’ para Imam.”

ASAL-USUL JABAT TANGAN

Orang-orang yang pertama kali melakukan jabat tangan adalah penduduk Yaman yang terkenal dengan keimanan dan keilmuan mereka. Anas bin Malik radhiallahu anhu mengungkapkan :

لَمَّا جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ قَدْ جَاءَكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَةِ

Artinya: “Tatkala penduduk Yaman datang (ke Madinah) Rasûlullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Yaman, dan merekalah orang yang pertama sekali yang melakukan berjabat tangan.”

Dalam riwayat lain Anas bin Mâlik radhiallahu anhu berkata:

يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا أَقْوَامٌ هُمْ أَرَقُ قُلُوبًا لِلْإِسْلَامِ مِنْكُمْ قَالَ فَقَدِمَ الْأَشْعَرِيُّونَفِيهِمْ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَلَمَّا دَنَوْا مِنْ الْمَدِينَةِ جَعَلُوا يَرْتَجِزُونَ يَقُولُونَ : غَدًا نَلْقَى الْأَحِبَّهْ مُحَمَّدًا وَحِزْبَهُ فَلَمَّا أَنْ قَدِمُوا تَصَافَحُوا فَكَانُوا هُمْ أَوَّلَ مَنْ أَحْدَثَ الْمُصَافَحَةَ

Artinya: ‘Besok akan datang kepada kalian kaum yang hati mereka lebih lembut untuk (menerima) Islam dari pada kalian.’ Anas mengatakan, ‘Maka datanglah kabilah Asy’ariyyun, diantara mereka ada Abu Musa al-Asy’ari. Tatkala mereka telah mendekati kota Madinah, mereka melantunkan sebagian sya’irnya seraya berkata, “Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, Muhammad dan shahabatnya”.

Tatkala mereka telah datang mereka berjabatan tangan, merekalah orang yang pertama sekali melakukan jabat tangan.

BERJABAT TANGAN BUKAN HANYA KETIKA BERJUMPA

Untuk diketahui bahwa berjabat tangan bukan diwaktu berjumpa saja, tetapi di syari’atkan juga tatkala berpisah, akan tetapi keutamaan nya tidak seperti tatkala berjumpa.

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya berjabat tangan (disyari’atkan) di waktu berpisah juga”.

Beliau اللهرحمه menambahkan, “Pendalilan (tentang hal ini) hanya akan jelas dengan dalil disyari’atkannya mengucapkan salam tatkala berpisah juga, berdasarkan sabda Rasûlullâh  shalallahu alaihi wasallam :

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الْأُخْرَى

Apabila salah seorang diantara kamu masuk majlis maka hendaklah ia mengucapkan salam, apabila ia keluar hendaklah ia mengucap salam, tidaklah yang pertama lebih pantas dari yang kedua”, diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmizi dan yang lain dengan sanad yang hasan.

Jadi perkataan sebagian orang, “Sesungguhnya ber-jabat tangan tatkala berpisah adalah bid’ah” itu adalah perkataan yang tidak perlu dilihat. Benar, sesungguhnya orang yang memperhatikan hadits- hadits tentang (syari’at) berjabat tangan tatkala berjumpa, dia akan mendapatkannya lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan hadits-hadits tentang berjabat tangan tatkala berpisah. Orang yang paham, niscaya akan menyimpulkan dari hadits-hadits tersebut bahwa ber-jabat tangan yang kedua (tatkala bepisah) tidaklah sama hukum dan kedudukannya seperti yang pertama (tatkala bersua). Yang pertama adalah sunnah (yang sangat di anjurkan) dan yang kedua mustahab, adapun jika dihukumi sebagai bid’ah maka itu tidak benar, berdasarkan dalil yang kami sebutkan.”

KEUTAMAAN BERJABAT TANGAN

Berjabat tangan memiliki keutamaan yang sangat agung dan pahala sangat besar. Ber-jabat tangan termasuk diantara penyebab terhapusnya dosa, sebagaimana dalam hadits berikut :

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Artinya: “Dari Bara’ bin ‘Aazib radhialallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: tidaklah dua orang Muslim bersua kemudian mereka bedua saling berjabat tangan kecuali diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Dawud, dll).

Dari Hudzaifah Radhiallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ

Artinya: “Sesungguhnya seorang Mukmin apabila berjumpa dengan Mukmin lainnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya kemudian memegang tangannya dan berjabat tangan, maka berguguran (dihapuskan) dosa mereka sebagaimana daun pohon berguguran. (shahih, HR. Bahsyal dalam tarikh wasith)

ETIKA BERJABAT TANGAN:

1. Ber-jabat tangan dengan wajah yang berseri- seri

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunatkan dalam ber-jabat tangan dengan wajah yang berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh shalallahu alaihi wasallam bersabda :

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهِ طَلْقٍ

Artinya: “Janganlah kamu meremekan suatu kebaikkan apapun sekalipun hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar, dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal ini.”

2. Berjabat tangan dengan satu tangan.

Etika ini di ambil dari hadits yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna ber-jabat tangan secara etimologi.

Syaikh al-Albâni berkata, “Memegang dengan satu dalam berjabat tangan. Sungguh telah terdapat penjelasannya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushafahah secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab: “al-Mushafahah” artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga at- tashafuh.

Dan mushafahah dalam hadits bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini. Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)”.

Kemudian beliau membawakan hadits Hudzaifah diatas tentang keutamaan ber-jabat tangan seraya berkata: “Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam ber-jabat tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang ber-jabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah.”

3. Tidak membungkuk Saat ber-jabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata :

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ

Artinya: “Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullah, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung kepadanya?” Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan menciumnya?’ Beliau menjawab, “Tidak,’ Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’ Beliau menjawab, “Ya”  (HR. At-Tirmidzi, dll)

Imam Nawawi mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anas di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan kamu jangan tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shalih dan semisal mereka.”

BEBERAPA PERKARA YANG DILARANG DAN MENYELISIHI SUNNAH DALAM BERJABAT TANGAN

1. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Tidak diperbolehkan seorang lelaki ber-jabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Sebagaimana dalam hadits berikut :

إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ

Artinya: “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita”. (Muttafaqun Alaih)

Aisyah  radhiallahu anha berkata :

وَ اللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ مَايُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ

Artinya: “Demi Allah, tidak pernah tangan Rasûlullah menyentuh tangan wanita sama sekali dalam bai’at. Beliau shalallahu alaihi wasallam tidak mengambil bai’at (atas) mereka kecuali dengan perkataan.” (HR. Muslim)

2. Waspadai berjabat tangan dengan al-amrad (anak muda yang belum tumbuh jenggotnya).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dan hendaklah waspada dari berjabat tangan dengan al-amrad yang ganteng, karena melihatnya tanpa ada keperluan adalah haram berdasarkan pendapat yang shahih.”

Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dan di kecualikan dari keumuman perintah untuk berjabat tangan yaitu berjabat tangan dengan wanita lain (bukan mahram) dan amrad (anak muda) yang ganteng”.

3. Mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan.

Kebiasan sebagian kaum Muslimin apabila ber-jabat tangan mereka mengucapkan shalawat kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam, tidak diragukan bahwa ini adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada landasan dalam agama, karena mengucapkan shalawat adalah ibadah, dan tidak terdapat satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa diantara tempat bershalawat adalah tatkala berjabat tangan. Maka jelaslah bahwa ia adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah. Karena sekiranya hal itu adalah suatu ibadah dan kebaikkan maka tentu Rasul dan para shahabat yang akan lebih dahulu mengamalkannya.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “Jala’ul afhâm fi Fadhli ash-Shalât ‘ala Khairil Anâm” menyebutkan empat puluh satu (41) tempat yang disyari’atkan bershalawat padanya, dan tidak disebutkan di sana diwaktu berjabat tangan. Ini memperkuat pernyataan diatas bahwa bershalawat tatkala ber-jabat tangan adalah perkara yang bid’ah yand tidak ada landasannya dalam agama, wallahu a’lam.

4. Ber-jabat tangan sesudah shalat antara makmum dengan imam atau antara para makmum.

Amalan seperti ini tidak ada landasan dalam sunnah, tidak pernah dilakukan oleh rasul dan para shahabatnya, kecuali bila seseorang bertemu dengan teman atau saudaranya yang sebelumnya ia belum bersua, maka diperbolehkan baginya untuk ber-jabat tangan. Karena ber-jabat tangan disyari’atkan tatkala berjumpa sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Adapun sesama jama’ah yang setiap hari dan waktu berjumpa di masjid atau mushalla, maka tidak disyari’atkan untuk ber-jabat tangan setiap selesai shalat, karenanya perbuatan seperti ini adalah perkara bid’ah yang telah dingkari oleh para Ulama.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun tradisi berjabat tangan yang dilakukan oleh menusia sesudah shalat Shubuh dan Ashar maka tidak ada landasan atau asalnya dalam syari’at seperti ini”

Syaikh al-Albani berkata, “Adapun berjabat tangan setelah shalat fardhu maka tidak diragukan bahwa ia adalah bid’ah, kecuali diantara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya, maka ia adalah sunnah sebagaimana yang Anda ketahui.”

Hukum ini pulalah yang di fatwakan oleh “Lajnah ad Daimah” (Komite Fatwa di Saudi Arabia). Didalam fatwa itu dinyatakan “Tradisi berjabat tangan setelah shalat fardhu antara imam dan makmum atau diantara para makmum, seluruhnya adalah bid’ah tidak ada landasannya. Oleh karena itu, wajib ditinggalkan, karena sabda Rasûlullah shalallahu alaihi wassallam, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada landasan dari perintah kami maka tertolak”, dan adalah Nabi shalallahu alaihi wasallam shalat bersama para shahabatnya, begitu juga para khalifah sepeninggalnya, mereka shalat bersama kaum Muslimin, namun tidak dinukilkan keterangan tentang rutinitas berjabat tangan setelah shalat. Padahal, sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek jelek perkara adalah yang baru, dan setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesať”.

Demikian lah artikel ini ana buat mohon maaf jika ada penulisan kata, kepada Allah ana memohon ampun semoga artikel yang dibuat ini bermanfaat bagi ana sendiri dan bagi semua pembacanya.

Wallâhu a’lam.

Referensi:

Idul Fithri dan Halal bin Halal di susun oleh Ustadz DR. Nur Jhsan hafizhallahu Majalah As-Sunnah EDISI 04-05/THN XV/RAMHADAN-SYAWAL 1432H/JULI-AGUSTUS 201 1M

Diringkas oleh : Meilinda Sari (Pengabdian Ponpes Darul Quran Wal-Hadits OKU Timur)

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.