Amaliyah Sunnah Yang Dianggap Bid’ah
Oleh Ustadz Ustadz Abu Ahmad As Salafi hafidzohullah
Ditulis ulang / diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi
Staff TU Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur Sumatera Selatan
TAQDIM
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul Amaliyah Sunnah Yang Dianggap Bid’ah. Pada kata pengantarnya disebutkan bahwa buku ini membahas sejumlah masalah yang menurut syariat Islam wajib, sunnah, dan mubah, namun dinilai bid’ah oleh sebagian kalangan. Semua masalah dibahas oleh penulisnya secara aktual, profesional, akurat objektif dan tidak tendensius pada sekte, aliran atau golongan tertentu.
Kemudian di dalam Muqoddimah, penulis menyebutkan bahwa buku ini telah beredar puluhan ribu eksemplar dan mendapat tanggapan positif dari masyarakat luas, baik di dalam dan luar negeri, sebab ternyata buku ini diminati oleh umat Islam di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan lainnya.
Namun sangat disayangkan, setelah kami telaah ternyata di dalam buku ini penuh dengan syubhat- syubhat yang membahayakan agama seorang muslim. Karena itulah Insya Allah dalam pembahasan kali ini kami berusaha melakukan telaah kritis terhadap buku ini sebagai nasihat kepada kaum muslimin secara umum dan para pembaca buku ini secara khusus.
PENULIS DAN PENERBIT BUKU INI
Buku ini ditulis oleh Drs. KH. M. Sufyan Raji Abdullah, Lc dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Riyadh Jakarta, cetakan keempat (edisi revisi), Oktober 2008.
KEDUSTAAN-KEDUSTAAN PENULIS
Penulis berkata pada halaman 31 buku ini: “Niat boleh dengan selain bahasa Arab, tetapi yang lebih baik dengan bahasa Arab. Maka yang mampu niat dengan bahasa Arab niatnya adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabatnya, yaitu memulai niat shalat dengan lafadz اُصَلِي setiap niat shalat Nabi Shalallahu’alahi Wasallam memulainya dengan ushalliy.”
Kami katakan: Ini adalah kedustaan yang nyata atas Rasulullah dan para sahabatnya, karena tidak ada satu pun riwayat hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya memulai sholat dengan lafadz, bahkan Rasulullah sholat dengan takbirotul ihrom sebagaimana di dalam hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ
Artinya: “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memulai sholat dengan takbir.” (HR. Muslim: 1/357 no. 498)
Karena itulah maka para ulama dari segala penjuru dan zaman menyatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah (Lihat al-Ifshoh: 1/56, al-Inshof. 1/142, Fathul Qodir: 1/186, Majmu’ Fatawa: 22/223, Maqoshidil Mukallafin Fima Yata’abbadu Bihi Lirob- bil ‘Alamin hlm. 123, dan al-Qoulul Mubin fi Akhtoil Mushollin hlm. 95)
Kami tidak tahu apa yang mendorong penulis sehingga lancang berdusta atas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya, apakah dia menggunakan kaidah “Tujuan menghalalkan segala cara!,” sehingga terjatuh pada kedustaan yang merupakan ciri-ciri ahli bid’ah sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Ali bin Harb al-Maushili: “Setiap ahli hawa (pengekor hawa nafsu) selalu berdusta dan tidak peduli dengan kedustaannya!” (Diriwayatkan oleh al-Khotib dalam al-Kifayah hlm. 123)
Penulis berkata dalam bukunya halaman 73: “Terdapat sebagian kalangan yang menilai bahwa membaca do’a qunut pada shalat subuh bid’ah. Pendapat tersebut berdasarkan hadits palsu dari Tha- riq salah seorang tabi’in atau dikenal dengan Sa’ad bin Thariq atau Abu Malik Al-Asyja’i:
قُلْتُ لأبي يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلَى هَاهُنَا بالْكُوفَةِ قَرِيبًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْتُتُونَ قَالَ أي بُنَيَّ مُحْدَثٌ
Artinya: “Wahai ayahku anda shalat bersama Nabi Shalallahu’alahi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib di sini di Kufah sekitar 5o tahun, apakah mereka qunut? Ja- wabnya: Wahai anakku itu adalah perbuatan bid’ah.” HR. Ahmad, Nasai, Ibnu Majah dan Tirmidzi (Shahih Tirmidzi 1/192). Dan Ibnu al-‘Arabiy mengatakan hadits palsu. Imam Tirmidzi perawi hadits tersebut mengatakan: “Bahwa hadits itu lemah.” Hadits lemah tidak dapat dipakai dalil, terlebih bila hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih yang justru menganjurkan qunut Shubuh. Hadits tersebut menerangkan semua qunut bid’ah.”
Kami katakan: Penulis telah melakukan beberapa kedustaan:
1. Penulis mengatakan: “Berdasarkan hadits palsu. ” Padahal hadits tersebut adalah shohih”.
2. Penulis mengatakan: “Imam Tirmidzi perawi hadits tersebut mengatakan: Bahwa hadits itu lemah.” Ini adalah dusta, karena Imam at-Tirmidzi A mengatakan setelah membawakan hadits di atas:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Ini hadits yang hasan shohih.” (Sunan at-Tirmidzi: 2/252, Dar Ihya’ Turots al-‘Arobi, Beirut)
Maka penulis telah membuat kedustaan yang nyata atas Imam at-Tirmidzi Rohimahullah
3. Penulis mengatakan bahwa Ibnu al-‘Arobi me- ngatakan hadits ini palsu. Ini juga dusta, tidak ada di dalam kitab satu pun bahwa Ibnu al- ‘Arobi mengatakan hadits ini palsu.
IBADAH JIKA TIDAK DILARANG MAKA BUKAN BID’AH?
Penulis berkata di dalam halaman 41-42 dari bu- kunya ini:
“Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan II/3 mengatakan membaca ‘Sayyidina’ dalam shalawat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, dalam bacaan tasyahhud Bid’ah karena menurutnya merupakan tambahan dalam syar’iat Islam. Namun beliau mengakui bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Sayyid. Hanya menurutnya, sekalipun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sayyid, tetap bid’ah dan tidak boleh membaca shalawat dengan ditambah ‘Sayyidina’ karena yang demikian Bid’ah. Fatwa seperti Syaikh Shalih bin Fauzan yang mengikuti istimbath paham Dhahiriyyah ini belum pernah difatwakan oleh ulama’baik salafiyyah maupun khalafiyyah. Itu hanya sebatas pendapat individu, bukan hujjah, kecuali bila dibarengi dalil yang jelas-jelas melarang membaca ‘Sayyidina. Selama dalil sharih tidak ada, maka menghukumi haram berarti membuat kebohongan atas nama agama. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak melarang membaca Sayyidina dalam bershalawat baik di dalam maupun di luar shalat. Memakai alasan. teks hadits tersebut yang tidak disebutkan kata-kata Sayyidina dan berkesimpulan bahwa mengucapkan Sayyidina bid’ah dan dilarang tidak benar. Itu hanya kesimpulan dan paham mereka sendiri, bukan karena adanya larangan di dalam Al-Qur’an dan hadits…”
Kami katakan: Ada beberapa catatan atas perkataan penulis di atas:
Catatan Pertama
Penulis menyatakan bahwa ibadah hukum asal adalah boleh, maka selama tidak ada larangan dari Kitab dan Sunnah terhadap ibadah tersebut, maka boleh dilakukan dan bukan bid’ah.
Berdasarkan perkataannya ini maka boleh seseorang sholat Shubuh tiga roka’at karena tidak ada satu pun dalil yang melarangnya, demikian zi juga boleh thowaf di kuburan-kuburan karena tidak ada dalil yang melarangnya !!.
Perkataan penulis ini menyelisihi sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ
Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini yang bukan darinya, maka dia tertolak.”
(Muttafaq ‘alaih)
Hadits ini menunjukkan bahwa segala amalan yang tidak berdasar kepada urusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, maka dia akan tertolak, dan maksud ‘urusan’ Rosulullah adalah agama dan syariatnya, maka barangsiapa yang melakukan amalan tanpa ada tuntunan dari Rosulullah, maka amalannya akan tertolak kembali kepada pelakunya tanpa mendapatkan pahala sedikitpun dari Alloh ‘Azza wajalla.
Berdasarkan hadits inilah maka datang kaidah yang masyhur :
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْمَنْعُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلا ما الدليل الشَّرْعِيُّ الصَّحِيحُ مِنَ الْقُرْآنِ أو مِنَ السُّنَّةِ
Terjemahannya: “Hukum asal ibadah adalah dilarang, maka tidaklah disyariatkan darinya kecuali yang tsabit dengan dali syar’i yang shohih dari al-Quran atau Sunnah.” (Lihat Risalah fi Ushul Fiqh oleh Syaikh as-Sa’di hlm. 7 dan Ushul Fiqih ‘ala Manhaj Ahlil Hadits: 1/137)
Al-Imam Ibnul Qoyyim Rohimahullah berkata: “Tidak ada agama kecuali yang disyariatkan oleh Allah , maka asal ibadah adalah bathil hingga datang dalil yang menunjukkan atas perintah padanya.” (I’lamul Muwaqqi’in: 1/344)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Karena inilah maka Ahmad dan Fuqoha’ Ahli Hadits berkata: Sesungguhnya perkara dalam ibadah adalah tauqif, tidaklah disyariatkan kecuali yang disyariatkan oleh Allah (Majmu’ Fata: 29/16)
Catatan Kedua
Penulis menyatakan bahwa fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan tentang bid’ahnya lafadz Sayyidina dan tidak disyariatkannya lafadz sayyidina dalam bacaan tasyahhud hanya sebatas pendapat individu dan belum pernah difatwakan oleh ulama.
Ini adalah pernyataan yang keliru, karena fatwa ini telah datang dari banyak para ulama mutaqoddimin dan muta’akhirin.
Di antara para ulama yang melarang tambahan tersebut adalah Abu Bakr Ibnul Arobi al-Maliki di dalam kitabnya ‘Aridhotu Ahwadzi fi Syarhi at-Tir- midzi: 2/271, para ulama Hanafiyyah sebagaimana di dalam Hasyiyah Marogi Nuril Falah oleh Ahmad bin Muhammad bin Ismail al-Hanafi: 1/181, dan al- Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolani asy-Syafi’i sebagai- mana dinukil oleh muridnya al-Hafidz Muham- mad bin Muhammad al-Ghorobily di dalam sebuah manuskrip di Maktabah Dhohiriyyah sebagaimana di dalam Shifat Sholat Nabi hlm. 172-175.
Di antara ulama muta’akhirin yang yang melarang tambahan sayyidina tersebut adalah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin A di dalam Fatawa Nur ‘ala Darb: 20/16 dan 29/125, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani 4 di dalam Ashi Shifat Sholat Nabi hlm. 941.
Fatwa tentang larangan menambah lafadz Sayyidina dalam bacaan tasyahhud didasarkan atas tiadanya satu hadits pun yang shohih yang menyebut lafadz sayyidina dalam tasyahhud yang disandarkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimahullah berkata: “Mengikuti atsar-atsar yang datang lebih rojih, tidak pernah dinukil yaitu lafadz sayyidina dari para sahabat dan tabi’in, dan tidak pernah diriwayatkan kecuali dari hadits yang lemah dari Ibnu Mas’ud seandainya disunnahkan maka pasti tidak akan tersembunyi atas mereka.” (Dinukil oleh asy-Syihab di dalam Syarhu asy-Syifa sebagaimana di dalam Hasyiyah Maroqi Nuril Falah oleh Thohtho wi: 1/181)
Lajnah Da’imah berkata: “Sholawat Ibrohimiyah tidak datang satu pun di dalam riwayat-riwayatnya lafadz sayyidina, maka tidak disyariatkan tambahan lafadz tersebut di dalam sholat karena ibadah adalah tauqifiyah.” (Fatawa Lajnah Da’imah: 5/401 nomor 16431).
Allahua’lam Bisshowab.
Sumber :
Majalah Al-Furqon Edisi. 7 Tahun ke 9
Shofar 1431 H (Januari/Februari 2010)
BACA JUGA :
Leave a Reply