40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 3)

40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah 3

40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 3) 

HADITS KE –  6

Diriwayatkan dari Abu Musa secara marfu’,

حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَائِهِمْ.

“Diharamkan bagi kaum laki-laki dari umatku memakai sutra dan emas dan dihalalkan bagi kaum wanita mereka.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa`i)

Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/392; at-Tirmidzi, 4/217; dan an-Nasa’i, 8/161 melalui jalur Sa’id bin Abi Hind dari Abu Musa al-Asy’ari secara marfu’. Abu Isa berkata, “Dalam bab tersebut terdapat riwayat dari Umar, Ali, Uqbah bin Amir, Anas, Hudzaifah, Ummu Hani’, Abdullah bin Amr, Imran bin Hushain, Abdullah bin az-Zubair, Jabir, Abu Raihan, Ibnu Umar, al-Bara’, dan Watsilah bin al-Asqa’. Dan hadits Abu Musa adalah hadits hasan shahih.”

Az-Zaila’i berkata dalam Kitab Nashb ar-Rayah, 4/223, Ibnu Hibban berkata dalam kitab Shahihnya dan riwayat Sai’d bin Abi Hind dari Abu Musa, dalam bab ini adalah ma’lul (memiliki illat) dan tidak sha- hih.” Ad-Daraquthni berkata dalam Kitab al-‘Ilal, “Usamah bin Zaid telah meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Hind dari Abu Murrah budak Aqil dari Abu Musa. Sedangkan Ubaidillah bin Umar al-Umari me- riwayatkan hadits ini dari Nafi dari Sa’id bin Abi Hind dari seorang laki-laki dari Abu Musa, Imam ad-Daraquthni berkata, “Ini lebih mendekati kebenaran, karena Sa’id bin Abi Hind belum pernah mendengar dari Abu Musa. Adapun Suwaid bin Abdul Aziz meriwa- yatkan dari Ubaidillah dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi dari Abu Musa. Dia salah dalam dua hal, pertama pada ucapannya, “Sai’d al- Maqburi” dan yang benar adalah Sa’id bin Abi Hind, dan kedua, dia tidak menyebut Nafi’ dalam isnad”. ” Dan ad-Daraquthni berkata Penjelasan Imam as-Suyuthi mengatakan dalam Kitab Hasyiah ‘ala Sunan an-Nasa`i, juz 8, hal. 157, “Ibnu Syahin berkata dalam Bab Musnad Ibnu Umar, “Ubaidillah bin Umar telah meri- wayatkan hadits ini dari Nafi dari Ibnu Umar dan orang-orang ber- selisih apakah Ibnu Umar yang meriwayatkannya, kemudian Yahya bin Sulaim ath-Tha’ifi meriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda,

أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُورِهَا.

“Emas dan sutra dihalalkan bagi kaum wanita umatku dan diha- ramkan bagi kaum laki-lakinya.”

Baqiyah bin al-Walid memutaba’ah hadits ini dari Ubaidillah dan keduanya salah, karena Thalq bin Habib telah meriwayatkan, ia berkata, “Saya berkata kepada Ibnu Umar, ‘Apakah Anda pernah mendengar dari Rasulullah sesuatu tentang sutra.’ Ia berkata, “Tidak”. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya wahm (salah). Jadi yang shahih adalah riwayat dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Sa’id bin Abu Hind dari Abu Musa, dan Sai’d tidak mendengarnya dari Abu Musa, seperti yang kita jelaskan dalam Musnad Abu Musa. Wallahu a’lam.

Dan ada beberapa hadits penguat, di antaranya, 1. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Amr secara marfu’,

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي، حِلٌّ لِإِنَائِهِمْ.

“Sesungguhnya dua barang ini (emas dan sutra) haram bagi kaum laki-laki umatku, halal bagi kaum wanita mereka.” Hadits ini dhaif karena dalam isnadnya ada seorang berkebang- saan Afrika yaitu Abdurrahman bin Ziyad bin An’um.

  1. Hadits riwayat Ali yang ada dalam Musnad Ahmad, 1/115 dan an-Nasa’i, 8/160 dan dalam isnadnya ada Abu Aflah al-Hamdani, dan dalam Kitab at-Taqrib ia maqbul, hal. 7944 waraqah (lam- piran) 619. Dan lihat Kitab Majma’ az-Zawa`id, 5/143; dan Kitab as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1765.dalam kitab Nasikhnya, ‘Pada awalnya kaum laki-laki me- makai cincin dari emas dan yang lainnya, kemudian da- tang terhadap seluruh manusia larangan mengenakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah membolehkannya hanya untuk kaum wanita saja, sehingga sesuatu yang dilarang bagi kaum wanita itu menjadi boleh untuk me- reka. Pembolehan tersebut menghapus hukum pengharamannya. Imam an-Nawawi خانت menerangkan dalam kitabnya Syarah Muslim, bahwa kaum Muslimin sepakat atas keputusan hukum tersebut.”

Imam an-Nawawi خان mengatakan dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, juz 4, hal. 767, “Adapun bagi kaum wanita yang telah menikah atau belum, tua atau muda, yang kaya maupun miskin diperbolehkan memakai berbagai macam pakaian dari sutra dan cincin dari emas, dan semua perhiasan emas dan perak.” Inilah pendapat kita, pendapatnya jumhur ulama, bahwasanya emas dan sutra haram bagi kaum laki-laki dan boleh bagi kaum wanita.

Imam al-Qadhi menceritakan dari satu kaum, bahwasanya emas dan sutra boleh bagi laki-laki dan bagi wanita.Diriwayatkan dari Ibnu az-Zubair, bahwa sutra dan emas itu haram bagi keduanya, laki-laki dan perempuan.

Kemudian terjadi ijma’ (kesepakatan para ulama) tentang diperbolehkannya bagi kaum wanita dan haram bagi kaum laki-laki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang dengan tegas mengharamkan hal tersebut berikuthadits yang disebutkan oleh Imam Muslim setelah ini yang menerangkan bahwasanya Ali menyobek-nyo- bek kain sutra, lalu dibagikan kepada para keluarga pe- rempuan beliau dan para Fathimah sebagai kerudung. Hal ini atas perintah Nabi Muhammad sebagaimana diterangkan dalam hadits tersebut. Wallahu a’lam.

Ibnu Hazm mengatakan dalam kitabnya al- Muhalla, 10/82, “Halal bagi kaum wanita untuk mema- kai kain dari sutra dan emas ketika shalat dan di luar shalat.” Ia mengatakan lagi pada juz 10, hal. 86, bahwa wanita dan laki-laki boleh berhias dengan perak, batu lulu (permata), yaqut (mutiara), dan zamrud pada se- mua kondisi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah حاسه berkata dalam al- Fatawa, 25/64, “Adapun masalah pakaian, maka pakaian dari emas dan perak diperbolehkan bagi kaum wanita, berdasarkan kesepakatan para ulama.”

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam mengatakan pada juz 2, hal. 157, “Sekelompok besar umat meman- dang bahwa memakai kain sutra haram bagi kaum laki- laki dan boleh bagi kaum wanita, dan telah terjadi ijma’ atas halalnya sutra bagi kaum wanita.”An-Nawawi dalam al-Majmu’ mengatakan pada juz 6, hal. 436, “Asal hukum memakai emas bagi wanita adalah mubah (boleh).” Ia berkata lagi, “Kaum Muslimin sepakat membolehkan kaum wanita memakai berma- cam perhiasan dari emas dan perak seperti kalung, tali ikatan leher, cincin, gelang tangan, gelang kaki, gelang leher, gelang tangan, ikat leher, dan semua yang dipa- kai pada leher atau yang lainnya dan yang biasa dipa- kai oleh mereka, dan tidak ada perbedaan sedikit pun dalam masalah ini.”

Ibnu Qudamah mengatakan dalam Kitab al- Mughni, juz. 3, hal. 15, “Adapun perhiasan yang adat- istiadatnya tidak biasa dipakai oleh kaum wanita, maka itu diharamkan, seperti ikat pinggang dan lainnya yang biasa dipakai laki-laki, dan wajib baginya untuk menge- luarkan zakat perhiasan tersebut. Demikian pula seorang laki-laki harus mengeluarkan zakat apabila ia menjadi- kan perhiasan wanita untuk dirinya.”

HADITS KE – 7

Dari Tsauban, dia berkata,

أَسْتَفْتِي النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ، فَقَالَ: أَمَّا الرَّجُلُ فَلْيَنْشُرْ رَأْسَهُ فَلْيَغْسِلْهُ حَتَّى يَبْلُغَ أُصُولَ الشَّعْرِ، وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَلَا عَلَيْهَا أَنْ لَا تَنْقُضَهُ وَلِتَغْرِفْ عَلَى رَأْسِهَا ثَلَاثَ غَرَفَاتٍ.

“Saya meminta fatwa kepada Nabi tentang cara mandi junub.” Beliau bersabda, “Adapun bagi kaum laki-laki hendaknya menguraikan rambutnya (dan membuka ikatannya bila diikat) kemudian membasuhnya dengan air sehingga sampai pada akar rambut. Sedangkan bagi wanita, maka tidak harus membuka ikatan rambutnya, dan hendaklah menuangkan air ke rambutnya tiga cidukan.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud).

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/255, dia berkata, Muhammad bin Auf meriwayatkan kepada kami, dia berkata, saya membaca kitab Aslu Isma’il bin Ayyasy, Ibnu Auf berkata lagi, dan Muhammad bin Isma’il meriwayatkan kepada kami dari bapaknya, bapaknya berkata, Dhamdham bin Zur’ah telah meriwayatkan kepadaku dari Syuraih bin Ubaid dia berkata, “Jubair bin Nufair telah memberitakan ke- pada saya tentang tata cara mandi junub, bahwa Tsauban men- ceritakan kepada mereka, bahwa mereka meminta fatwa kepada Nabi lalu dia menyebutkan hadits tersebut.” Penulis Kitab ‘Aun al-Ma’bud berkata pada juz 2, hal. 261, “Yang dimaksud dengan KitabAslu Ismail adalah kitabnya yang dia tulis di dalamnya beberapa riwayat dari para Syaikhnya, maksudnya saya sendiri membaca ha dits tersebut di dalam kitabnya Isma’il.” Ibnu ‘Auf berkata, “Muham- mad bin Isma’il bin ‘Ayyasy bin Sulaim al-Ansi al-Himshi telah menceritakan kepada kami, Abu Hatim berkata, ‘la belum pernah mendengar dari bapaknya satu hadits pun, lalu mereka memaksa- nya menyampaikan hadits, lalu dia meriwayatkan hadits’.” Al- Ajurri berkata, “Abu Dawud ditanya hal tersebut, dan dia menja- wab, “Tidak demikian, saya telah melihatnya dan saya masuk ke kota Homs berkali-kali ketika dia masih hidup, dan saya bertanya kepada Umar bin Utsman tentang dia, maka dia mencelanya’.” Saya berkata, Abu Dawud telah meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Auf dari bapaknya beberapa hadits, namun mereka memandang- nya bahwa Muhammad bin ‘Auf melihat dalam Kitab Aslu Isma’il dari bapaknya adalah Isma’il bin ‘Ayyasy. Kesimpulan perkataan ini adalah bahwa hadits dari Muhammad bin ‘Auf memiliki dua jalan: Jalur pertama adalah dengan membaca Kitab Aslu Isma’il dan ini adalah jalur Isa, yang ada perantara antara Ibnu ‘Auf dan Isma’il. Jalur kedua adalah bahwa Muhammad bin Isma’il meriwayatkan ha- dits ini dari bapaknya. Tujuannya adalah untuk memperkuat riwa- yat, karena Muhammad bin Isma’il tidak tsiqah. Saya berkata, Lihat Kitab al-Mizan, 3/481; Kitab at-Tahdzib, 9/52; dan at-Taqrib, no. 7535, waraqah (lampiran), 468.

Penulis Kitab ‘Aun al-Ma’bud berkata, “Dhamdham adalah Ibnu Zur’ah bin Tsaub al-Hadhrami.” Penulis Kitab al-Mizan berkata pada halaman 2/331, “Yahya bin Ma’in memandang ia adalah tsiqah se dang Abu Hatim mendhaifkannya.” Al-Hafizh berkata dalam Kitab at-Tahdzib, juz 4, hal. 405, “Ahmad bin Muhammad bin Isa penulis Kitab Tarikh al-Himshiyyin berkata, ‘Bahwa Dhamdham bin Zur’ah bin Muslim bin Salamah bin Suhail al-Hadhrami, tidak bermasa lah, dan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Kitab Tsigat. Dan per- nyataan tsiqahnya telah dikutip dari Ibnu Numair, dan Syuraih bin Ubaid bin Syuraih al-Hadhrami al-Maqra’i dan Kitab Tsiqat al-‘Ijli dan Duhaim dan Muhammad bin ‘Auf dan an-Nasai. Sedangkan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Kitab ats-Tsiqat.” Al-Bukhari berkata, bahwa Muawiyah mendengar, bahwa Syuraih

22Penjelasan

Al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan mengata- kan pada juz 1, hal. 80, Mayoritas ahli ilmu menerang- kan bahwa membasahi kepala sampai pada akar rambut sudah mencukupi walaupun ia tidak menguraikan rambutnya.

Imam an-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim, juz 4, hal. 12, “Menurut pendapat kita dan pen- dapat sebagian besar para ulama, bahwa gulungan ram- but dari wanita yang mandi tidak harus diurai, jika air bisa sampai pada semua rambut yang nampak ataupun yang tidak. Tetapi, jika air tersebut tidak sampai pada se- mua rambut kecuali dengan mengurai gulungan rambut, maka gulungan tersebut harus dilepas. Adapun hadits Ummu Salamah maka maknanya adalah bahwa air bisa sampai pada seluruh rambutnya tanpa harus mem- buka gulungan rambutnya, karena mengalirkan air ke seluruh rambut merupakan suatu hal yang wajib. Dice- ritakan dari Imam an-Nakha’i bahwa membuka ikatan berkata, “Jubair bin Nufair telah memberiku fatwa dan dia terma- suk tsiqah. Kemungkinan Syuraih meminta fatwa kepada Jubair bin Nufair tentang tata cara mandi junub.”

Al-Hafizh berkata dalam kitabnya, at-Taqrib pada hal. 2755 lam- piran 265, bahwa dia tsiqah namun dia banyak meriwayatkan ha- dits-hadits mursal. Lihat permasalahan tadi dalam Kitab at-Tahdzib, juz 4, hal. 289.

Saya berkata, Bahwa hadits tersebut secara maknanya ada dalam Kitab Shahih Muslim, 1/259.rambut adalah wajib, apa pun kondisinya. Sedangkan dari al-Hasan dan Thawus, wajib membuka ikatan ram- but ketika mandi setelah haid bukan mandi junub. Dalil yang menguatkan pendapat kami adalah hadits Ummu Salamah. Demikian juga apabila seorang laki-laki me- miliki ikatan rambut, maka hukumnya seperti wanita. Wallahu a’lam.”

Imam an-Nawawi berkata, “Adapun perintah Abdullah bin Umar agar para wanita membuka ikatan rambutnya jika mereka mandi, maka pengertiannya ada- lah bahwa dia bermaksud mewajibkan hal tersebut ke- pada para wanita dan hal itu berlaku pada rambut yang tidak sampai air kepadanya, atau itu merupakan penda- pat beliau yang mewajibkan membuka ikatan rambut pada semua keadaan, seperti yang telah kami ceritakan dari an-Nakha’i, dan hadits Ummu Salamah dan hadits Aisyah belum sampai kepadanya. Perintah tersebut bisa juga bermakna bahwa beliau memerintahkan me reka sebagai anjuran dan ihthiyathi (kehati-hatian), bu kan perintah yang sifatnya wajib. Wallahu a’lam.”

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari jalur sanad Isma’il bin ‘Ulaiyyah, dari Ayyub, dari Abu az-Zubair, dari Ubaid bin Umair, dia berkata,

بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضُنَ رُءُوسَهُنَّ ، فَقَالَتْ: يَا عَجَبًا لِابْنِ عَمْرٍو هَذَا، يَأْمُرُ

النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ، أَفَلَا يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوْسَهُنَّ، لَقَدْ كُنْتُ اَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فَلَا أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغْ عَلَى رَأْسِي ثَلَاثَ إِفْرَاغَاتٍ

“Telah sampai kepada Aisyah berita bahwa Abdullah bin Amr menyuruh para wanita untuk membuka ikatan rambut mereka bila mandi. Kemudian Aisyah berkata, ‘Aneh sekali Ibnu Amr ini, dia menyuruh para wanita agar membuka ikatan rambut bila mereka mandi. Me- ngapa dia tidak menyuruh mereka menggundul kepala mereka saja. Padahal aku pernah mandi bersama Rasu- lullah dalam satu bejana, dan aku mengguyurkan air pada kepalaku tidak lebih dari tiga cidukan’.”

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 1, hal. 173, “Tidak diwajibkan bagi para wanita membuka ikatan rambut mereka ketika mandi junub dan haid, ka- rena sampainya air pada akar-akar rambut bukan me- rupakan suatu syarat.”

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mengatakan pada juz 1, hal. 225, “Wanita harus membuka ikatan rambutnya jika ia mandi haid, namun tidak diwajibkan membukanya jika ia mandi junub dengan syarat jika akar-akar rambut- nya tersirami air.” Kemudian ia mengatakan bahwa da- lam madzhabnya tidak ada pertentangan tentang tidak wajibnya membuka ikatan rambut ketika mandi junub.”Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat da lam masalah ini antara para ulama, kecuali apa yang di riwayatkan dari Abdullah bin Umar.” Sang penulis Kitab al-Mughni melanjutkan, “Para Imam yang empa sepakat bahwa membuka ikatan rambut (bagi wanita ju- nub) hukumnya tidak wajib, berdasarkan hadits Ummu Salamah.”

Saya katakan itu dalam masalah mandi junub, se dangkan membuka ikatan rambut saat mandi haid, maka ada dua pendapat:

Pendapat pertama, para wanita wajib membuka ikatan rambutnya ketika mandi haid, ini pendapat Imam al-Hasan, Thawus, dan Imam Ahmad mereka adalah: Argumentasi

  1. Perkataan Rasulullah kepada Aisyah ketika Haji Wada’ sedangkan dia dalam keadaan haid,

رَعِي عُمْرَتَكِ، وَانْقُضِي رَأْسَكِ، وَامْتَشِطِي، وَأَهِلِي بِالْحَجَ.

*Tinggalkanlah ibadah umrahmu, bukalah ikatan ram butmu, menyisirlah, dan berniatlah ibadah haji.”

Ibnu Qudamah berkata dalam Kitab al-Mughni “Juga karena asal kewajiban membuka ikatan rambu adalah agar terwujud sampainya air pada tempat yang harus dibasuh, namun tidak diwajibkan pada mandi ju nub, karena mandi junub sangat sering terjadi sehinggamembukanya merupakan suatu hal yang menyulitkan, beda dengan mandi haid. Sehingga hukumnya tetap se- suai dengan tuntutan asal kewajibannya.”

Adapun Hadits Ummu Salamah

أَفَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ؟

“Apakah saya harus membuka ikatan rambut ini untuk mandi haid dan mandi junub,”

maka ia berasal dari riwayat Abdurrazaq dari ats-Tsauri , ia sendirian dalam meriwayatkan tambahan kata ‘haid’. Sedangkan semua riwayat menyatakan,

أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: لَا إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْتِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ تُفِرْضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ.

“Apakah saya harus membuka ikatan rambut untuk mandi junub?” Nabi menjawab, “Tidak, kamu cukup meng- guyurkan air pada rambutmu sebanyak tiga kali kemu- dian menyiramnya, maka kamu sudah suci.”

Karena itu, Ibnul Qayyim berkomentar dalam kitabnya Tahdzib as-Sunan, bahwa tambahan kalimat haid, maka barangsiapa betul-betul menganalisa masa- lah ini, pasti ia akan mengetahui bahwa kalimat tersebut tidak terdapat dalam hadits. Lihat Kitab Irwa’ al-Ghalil, juz 1, hal. 169.Pendapat kedua, melepas ikatan rambut itu hukum- nya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagai- mana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah حراست dalam kitabnya al-Mughni dan ulama yang lainnya. Argumen- tasi mereka adalah sebagai berikut:

  1. Menggabungkan antara haid dan junub dalam ha- dits Ummu Salamah yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dia (Ummu Salamah) berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي امْرَأَةُ أَشَدُّ ضَفْرَ رَأْسِي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟

“Wahai Rasulullah, saya adalah wanita yang mengikat kuat pintalan rambut kepalaku, apakah saya harus mele- pasnya untuk mandi junub?”… (al-Hadits).

  1. Adapun hadits Aisyah tentang haid, dan pe- rintah menguraikan rambut untuk mandi yang berkaitan dengan ihram adalah untuk kebersihan. Juga ada perin- tah untuk menyisir dan merapikan rambut, tetapi tidak ada seorang pun yang mengatakan kewajibannya. Lihat Kitab al-Mughni dan asy-Syarah al-Kabir, juz 1, hal. 226, 318, dan Kitab Hasyiah ar-Raudh al-Murbi’, juz 1, hal. 287.

Besmbung………

 

Diringkas oleh : Angii Abu Rayyan pegawai ponpes DQH

Referensi : 40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah oleh al ustadz Mansyur Bin Hasan Al-abdullah

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.