ADAB-ADAB PENUNTUT ILMU TERHADAP WAKTU

adab penuntut ilmu terhadap waktu

Waktu yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan lebih mahal dari pada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak  menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ ﴿١ إِنَّ الْإِنسٰنَ لَفِى خُسْرٍ ﴿ ٢

إِلَّا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِالصَّبْرِ ﴿ ٣

Artinya: “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ.

Artinya: “Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengannya: nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

Seorang Muslim yang terkumpul dua nikmat ini pada dirinya: kesehatan badan dan waktu luang, maka seharusnyalah menunaikan hak keduanya, yaitu besyukur kepada Allah Waktu yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan lebih mahal dari pada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak  menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya dengan memanfaatkan keduanya untuk meakukan ketaatan dan meraih keridhaan-Nya.

Jika ia menyia-nyiakannya maka ia adalah orang yang tertipu alias merugi besar dan bangkrut. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit, da waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, ia harus meraih keuntungan dengan modalnya itu. Begitu juga seorang Muslim memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya pada selain ketaatan kepada Allah Waktu yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan lebih mahal dari pada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak  menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya, yang merupakan perdagangan paling menguntungkan.[2]

Seorang penuntut ilmu harus memanfaatkan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menunda-nunda melakukan berbagai kebaikan.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhum, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memegang kedua pundakku seraya bersabda,

كن في الدنيا كأنك غريب أو عا بر سبيل(وعدنفسك من أهل القبور), وكان ابن عمر يقول : إذا أمسيت فلا تنتظر الصبا ح وإذ أصبحت فلا تنتظر المسا ء , وخذ من صحتك لمر ضك , ومن حيا تك لمو تك .

Artinya: “Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir, [dan persiapkan dirimu teramasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)].’” Dan Ibnu ‘Umar pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.”[3]

Dengan kemurahan Allah semoga contoh berikut dapat membangkitkan semangat kita dalam mencari ilmu dan menyadari bahwa kita telah banyak menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga.

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukan kesungguhan mereka dalam menggunakan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’laamin Nubalaa’ tentang Dawud bin Abi Hindun Rahimahullah (wafat th. 139 H). Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala hingga tempat selanjutnya… hingga sampai dirumah.”[4] Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Pentingnya Waktu Dalam Menuntut Ilmu

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

من حسن إسلا م المرء تر كه ما لا يعنيه.

Artinya: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”[5]

Kewajiban seorang penuntut ilmu, adalah memelihara waktunya, jangan dihabiskan, kecuali untuk hal yang bermanfaat karena ia adalah modalmu, bersungguh-sungguhlah menjaganya sebagaimana kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Wallaahul Muwaffiq.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu Jama’ah Rahimahullah berkata mengenai adab penuntut ilmu syar’i dengan dirinya sendiri, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan kemudharatan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka lakukanlah.”[6]

Diantaranya bentuk memanfaatkan waktu yang lainnya adalah menjauhi banyak gurau dan tawa. Hendaklah mengadakan perkumpulan untuk menghafalkan Al-Qur’an, giat menghadiri kajian ilmiah dan majelis-majelis ilmu, giat mendengarkan audio dan video kajian Islam dan mencatat poin-poin penting darinya, menghafalkan hadits-hadits Rasulullah, dan yang lainnya.

Diantaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Begitu pula meninggalkan perhatian dalam mencari makanan yang berlebihan,karena hal itu menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sebabnya.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa ada empat hal yang dapat membuat hati menjadi keras, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam makanan, berlebihan dalam tidur, dan berlebihan dalam bergaul.[7]

Begadang, Antara Manfaat dan Mudharatnya[8]

Di antara bentuk menyia-nyiakan waktu yang sering dilakukan oleh penuntut ilmu adalah bergadang.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

لاسمر إلا لمصل أو مسا فر.

Artinya: “Tidak ada bergadang, kecuali bagi seseorang yang melakukan shalat atau melakukan safar.”[9]

Masalah begadang merupakan hal yang benar-benar penting untuk dibahas. Hal itu karena beberapa alasan berikut ini.

  1. Begadang dilakukan banyak orang.
  2. Begadang dapat menimbulkan dosa, apabila dilakukan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pelakunya. Apalagi untuk mengerjakan yang jelas-jelas haram atau bid’ah seperti untuk nnton film, musik, permainan haram, atau ibadah ynag bid’ah.
  3. Banyak hal-hal yang lenyap terluput karena bergadang, seperti mengabaikan kewajiban atau menunda dan mengakhirkannya.
  4. Berat melakukan shalat Witir karena lelah.

Yang paling berbahaya dari begadang ialah seseorang meninggalkan shalat shubuh yang merupakan kewajiban atas setiap Muslim dan ini merupakan dosa besar yang paling besar yaitu meninggalkan rukun Islam yang kedua. Seandainya dia tidak meninggalkannya, paling tidak dia terlabat mengerjakannya dengan tidak berjama’ah bahkan ada yang selalu mengerjakannya menjelang terbit matahari? Padahal waktu ini adalah waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat padanya. Wallahul Musta’an.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Begadang yang sesuai syari’at…berupa shalat, berdzikir, membaca, menulis…, dan amalan lainnya. Di antara berbagai amalan, ada yang pada dasarnya lebih utama (dari amalan yang lainnya), kemudian menjadi sesuatu yang tidak lebih utama bahkan dilarang. Shalat misalnya, sesungguhnya shalat lebih utama daripada membaca Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an lebih utama daripada dzikir, dan dzikir lebih utama daripada do’a. Lalu shalat yang diakukan di waktu-waktu yang terlarang seperti setelah shubuh, Ashar, dan ketika khutbah jum’at dilarang untuk dilakukan, maka menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an, berdzikir, berdo’a, dan mendengarkan (khutbah Jum’at) adalah lebih utama daripada itu (shalat di waktu-waktu terlarang).”[10]

Maka berusahalah untuk mencontoh para ulama salaf dimana mereka begadang untuk hal-hal yang bermanfaat.

Fudhail bin Ghazwan Rahimahullah (wafat th. 143 H) berkata, “Aku pernah duduk-duduk bersama Ibnu Syubrumah (wafat th. 144 H), al-Harits bin Yazid al-‘Ukli, al-Mughirah (wafat th. 105 H), dan Qa’qa’ bi Yazid Rahimahullah pada suatu malam guna berdiskusi tentang fiqih. Lalu kami sama sekali tidak berdiri hingga mendengar kumandanh adzan Shubuh.”[11]

Sulaiman at-Taimi Rahimahullah (wafat th. 143 H) berkata, “Sesungguhnya mata itu jika engkau membiasakannya untuk tidur, maka ia akan terbiasa dengannya. Dan jika engkau membiasakannya untuk begadang, maka ia akan terbiasa dengannya.”[12]

Semoga kita dimudahkan utuk mellakukan hal-hal yang bermanfaat, apabila kita memang harus begadang, maka tidak boleh melalaikan kewajiban dna amal-amal yang lebih utama. Dan kia pun harus berusaha tidur di awal waktu agar dapat bangun malam (melaksanakan shalat Tahajjud dan Witir) dan melaksanakan kewajiban shalat shubuh berjama’ah. Dan kita pun harus berusaha membiasakannya.

Teladan Para Ulama dalam Menjaga Waktu

Inilah, sesungguhnya para pendahulu kita yang shalih adaalah orang yang paling bersmangat dalam memanfaatkan waktunya. Mereka tidak menyia-nyiakannya pada apa yang tidak bermanfaat. Mereka tidak mencurahkannya pada apa yang tidak mendatangkan keuntungan di belakangnya, Sebaliknya, mereka menghabiskan waktunya unuk berjuang di jaan Allah, merekapun menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.

Abul Muwahib bin Shashri berkata, “Beliau belum pernah sinuk semenjak 40 tahun, (yakni semenjak gurunya mengizinkannya unuk meriwayatkan hadits) kecuali dengan mngumpulkan dan mendengarkan hadits hingga pada saat beliau mengasingkan diri.”[13]

Sebagian ulama kita tidak menyia-nyiakan waktunya hingga ketika mereka berada di setiap perjalanannya, bahkan mereka menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bermanfaat.

Di antara mereka adalah al-Hafizh al-Kabir Abu Nu’aim al-Ashbahani Rahimahullah (wafat th. 430 H). Imam adz-Dzahabi Rahimahullah berkata tentang biograf beliau dalam kitabnya, Tadzkiratul Huffaazh, “Telah berkata Ahmad bin Muhammad bin Mardawaih, ‘Pada zamannya banyak para ulama yang mengembara untuk mendatanginya. Tidak ada seorangpun dari setiap ufuk (di seluruh dunia) yan lebi hafal dan lebih menguasai sanad daripada dirinya. Para Hafizh (penghafal hadits) dunia telah berkumpul di hadapannya. Setiap hari bergiliranlah setiap orang yang beliau inginkan hingga mendekati waktu Zhuhur. Jika beliau beranjak menuju rumahnya, mugkin dibacakanlah kepadanya di jalan sekitar satu juz, dan beliau tidak pernah bosan. Makanan pokok beliau tidak lain adalah mendengarkan hadits dan mengarang buku.”[14]

Dan di antara ulama pada abad ini yang menjaga waktunya, bersungguh-sungguh dalam berjihad menegakkan Sunnah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menghabiskan waktunya dalam menutut ilmu adalah Syaikh al-Muhadditsiin Imamul ‘Ulama asy-Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani Rahimahullah (wafat th. 1420 H).

Beliau Rahimahullah menghabiskan sebagian besar waktunya di Perpustakaan azh-Zhahiriyyah untuk menuntut ilmu. Beliau menutup kiosnya dan tetap berada di dalam perpustakaan selama dua belas jam. Beliau tidak pernah lelah dalam muthala’ah, memberi komentar dan meniliti, kecuali pada waktu-waktu shalat, hingga makan siang beliau tidak makan, melainkan di dalam perpustakaan. Beliu adalah orang yang prtama kali memasuki perpustakaan dan orang yang terakhir keluar darinya.

Sungguh, di dalam pejalanan hdup mereka, para ulama yang mulia, terdapat teladan yang baik dan pelajaran yang agung bagi kita.[15]

 

REFERENSI:

Di Tulis Oleh: Yazid bin Abdul Qadir Jawaz Dari Buku Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, 24 Dzulhijjah 1441 H Penerbit Pustaka At-Taqwa

Diringkas dengan sedikit perubahan oleh: Riki Irawan (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

[1] Shahih: HR. Al-Bukhari (no.6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim(IV/306), dan lainnya, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahuanhum

[2] Disarikan dari kitab Aadaab Thaalibil ‘Ilmi (hlm. 107), oleh DR. Anas bin Ahmad Kurzun

[3] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6416), Ahmad (II/24, 41), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), ‘Abdullah Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (no. 11) al-Baihaqi dalam syu’abul limaan (no. 10059), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (I/386-387, no. 1105), dan al-Baghawi dalam syarhus Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiiha (no. 1157). Kalimat di dalam tanda kurung [ ] tidak terdapat dalam riwayat al-Bukhari.

[4] Syiar A’laamin Nubalaa’ (VI/378)

[5] Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (no. 229-At-Ta’liiqaatul Hisaan), dan selainnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhum

[6] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hlm. 124-125)

[7] Lihat Fawaa-idul Fawaa-id (hlm. 262).

[8] Dinukil dari Ma’aaliim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi (hlm. 143-149) dengan sedikit perubahan

[9] Hasan: HR.Ahmad (I/379 444), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 10519), dan selainnya dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahuanhum. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2435)

[10] Diringkas dari Majmuu Fataawaa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah (XXII/308-309).

[11] Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/348-349)

[12] Mukhtashar Qiyaamil Lail (hlm. 55)

[13]Tadzkiratul Huffazh (IV/84-85)

[14] Tadzkiratul Huffazh (III/196) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/459)

[15] Disarikan dai kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hlm. 75-76) karya ‘Amr bin Mun’im Salim.

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.