Setiap Orang Akan Mendapat Jatah Rezekinya – Dalam kehidupan ini setiap muslim harus meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Ta’ala adalah Al-Ghani (Mahakaya) dan Ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki). Keyakinan ini sangat penting karena ia menjadi pondasi kuat dalam menghadapi berbagai keadaan yang kita alami, baik saat mendapatkan kelapangan maupun saat menghadapi kesempitan dalam hal rezeki. Allah Ta’ala dengan segala kekuasaan-Nya tidak membutuhkan makhluk, sementara makhluk senantiasa membutuhkan Allah Ta’ala dalam segala hal, termasuk rezeki. Allah Ta’ala memberikan rezeki kepada seluruh makhluk-Nya dengan penuh kebijaksanaan, sesuai dengan hal yang terbaik bagi mereka.
Sebagai hamba Allah Ta’ala, kita harus meyakini bahwa rezeki tidak pernah lepas dari ketentuan dan kehendak-Nya. Tidak ada satu pun makhluk yang hidup di dunia ini yang Allah biarkan tanpa rezeki, bahkan seekor semut kecil yang hidup di bawah tanah sekalipun mendapatkan rezekinya dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)”. (QS. Hud: 6)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan maksud dari ayat di atas, “Allah Ta’ala telah memberitahukan bahwa Dia menjamin rezeki bagi semua makhluk yang ada di bumi, baik yang kecil maupun yang besar, yang hidup di laut maupun di darat. Dia juga mengetahui tempat tinggalnya dan tempat penyimpanannya. Dia mengetahui tempat akhirnya di muka bumi dan di tempat kembalinya, misalnya sarang yang merupakan tempat tinggalnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4:364)
Kita memahami dari ayat ini bahwa Allah Ta’ala memberikan kepastian untuk menjamin rezeki setiap makhluk di muka bumi. Allah Ta’ala mengetahui di mana rezeki kita berada dan kapan kita akan mendapatkannya. Selain itu, Allah Ta’ala memberikan rezeki dengan kebijaksanaan-Nya. Allah Ta’ala mengetahui kebutuhan setiap makhluk dan memberikan hal yang terbaik bagi mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُۥ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa pun yang Dia kehendaki). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-‘Ankabut: 62)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan maksud dari ayat ini, “Dan sesungguhnya Dia adalah Sang Pencipta dan Pemberi rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dia yang menetapkan ajal mereka, perbedaan umur mereka, dan perbedaan rezeki mereka. Dia membedakan di antara mereka: ada yang kaya dan ada yang miskin. Dia Maha Mengetahui yang terbaik bagi mereka, serta siapa yang berhak mendapatkan kekayaan dan siapa yang berhak menghadapi kemiskinan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6:264)
Oleh sebab itu, hendaklah kita meyakini bahwa kelapangan dan kesempitan rezeki adalah kehendak Allah Ta’ala, yang pastinya berdasarkan kebijaksanaan-Nya. Allah Ta’ala memberi seseorang rezeki berupa harta yang banyak untuk mengujinya dalam penggunaan harta tersebut. Terkadang Allah menyempitkan rezeki seseorang agar ia lebih mendekat kepada-Nya dan lebih menghargai nikmat yang ia miliki meskipun terlihat kecil di mata manusia.
Di antara hal yang salah dalam pola pikir sebagian kita yaitu membatasi makna rezeki hanya pada harta atau uang saja, padahal rezeki dari Allah Ta’ala mencakup banyak hal lain yang kadang jauh lebih berharga daripada harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita tentang nikmat-nikmat yang seringkali kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya: Barang siapa di antara kalian yang berpagi-pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia telah mendapatkan dunia seisinya. (HR. Tirmidzi no. 2346)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa kesehatan, keamanan, ketersediaan makanan sehari-hari adalah rezeki yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Banyak orang yang memiliki harta melimpah, tetapi tidak memiliki kesehatan atau tidak merasakan keamanan, sehingga mereka tidak bisa menikmati kekayaannya. Sebaliknya, orang yang hidup sederhana, tetapi badannya sehat dan dia berada dalam kondisi yang aman, akan merasa bahagia dan cukup. Selain kesehatan, keimanan yang kuat, ilmu yang bermanfaat, serta keluarga yang saling menyayangi dan teman-teman yang shalih adalah bagian dari rezeki yang sangat berharga. Nikmat ini mungkin tidak selalu terlihat, tetapi pengaruhnya sangat besar bagi kebahagiaan kita di dunia dan akhirat.
Iman yang kuat adalah fondasi utama dalam kehidupan seorang muslim. Iman yang kuat adalah bentuk rezeki yang menjaga seseorang tetap teguh di jalan Allah Ta’ala, terutama saat menghadapi ujian dan cobaan hidup. Ketika iman seseorang kuat, ia akan selalu merasa tenang dan yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah bagian dari ketetapan Allah Ta’ala yang pasti itu adalah yang terbaik untuknya.
Iman yang kuat memberikan ketenangan batin dan keyakinan yang teguh, yang membuat seseorang selalu optimis dan berserah diri kepada Allah Ta’ala. Tanpa iman, seseorang bisa saja kehilangan arah, meskipun ia memiliki segala hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, keimanan menjadi rezeki paling penting yang lebih penting dari apa pun di dunia ini.
Ilmu yang bermanfaat tidak hanya dilihat sebagai pengetahuan semata, tetapi juga sebagai cahaya yang menerangi kehidupan seseorang. Dengan cahaya tersebut, baik itu ilmu agama maupun ilmu duniawi, seseorang akan terbimbing dalam menjalani kehidupan dengan cara yang benar dan diridhai Allah. Selain itu, orang yang berilmu tidak hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga dapat menyebarkan manfaat tersebut kepada orang lain, sehingga keberkahan dari ilmunya terus mengalir. Dengan demikian, memperoleh ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bentuk rezeki yang sangat bernilai.
Keluarga yang dipenuhi kasih sayang adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Dalam keluarga yang harmonis, seseorang akan merasakan kebahagiaan, kenyamanan, dan dukungan yang tak ternilai harganya. Keluarga yang saling menyayangi tidak hanya memberikan kebahagiaan dunia, tetapi juga menjadi sumber pahala dan keberkahan di akhirat. Ketika anggota keluarga saling mendukung dalam kebaikan, mereka akan bersama-sama berusaha mencapai keridhaan Allah Ta’ala. Anak-anak yang berbakti, orang tua yang penuh perhatian, serta hubungan yang dilandasi cinta karena Allah Ta’ala adalah bentuk rezeki yang sangat berharga dan tidak bisa dibandingkan dengan harta benda apa pun di dunia ini.
Teman-teman yang shalih adalah salah satu bentuk rezeki yang sering kali kita lupakan. Dengan memiliki teman yang senantiasa mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kita dari keburukan, kita telah mendapatkan sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala. Teman-teman yang shalih akan mengajak kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, menjaga kita dari perbuatan dosa, serta mendorong kita untuk beramal shalih. Ketika kita dikelilingi oleh teman-teman yang baik, hidup kita akan lebih terarah, dan kita akan merasa lebih mudah untuk terus berada di jalan yang lurus hingga mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ada kalanya Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan kesempitan ekonomi. Jika hal tersebut terjadi, seorang muslim harus meyakini bahwa setiap kesulitan adalah bagian dari takdir Allah Ta’ala yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan dari-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Dalam menghadapi kesulitan, seorang muslim harus bersabar dan bertawakal kepada Allah Ta’ala. Kesempitan ekonomi bukanlah tanda bahwa Allah Ta’ala tidak menyayangi hamba-Nya. Sebaliknya, kesulitan tersebut merupakan ujian agar hamba-Nya mendekat kepada-Nya. Apakah mereka akan bersabar dan tetap berusaha dengan cara yang halal, ataukah mereka akan putus asa dan mengambil jalan yang tidak diridhai Allah Ta’ala? Satu hal penting yang perlu diingat oleh setiap muslim, bahwa banyak di antara orang shalih terdahulu yang juga merasakan kemiskinan, mulai dari para nabi dan rasul ‘alaihimussalam, hingga para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Merekalah teladan bagi setiap muslim dalam menghadapi kemiskinan agar ujian kemiskinan tersebut dapat dilalui dengan selamat.
Bukan hanya kemiskinan, kekayaan pun juga merupakan ujian dari Allah Ta’ala. Jika kemiskinan merupakan ujian kesabaran dan tawakal, maka kekayaan adalah ujian kesyukuran dan kedermawanan. Dalam kelapangan tersebut, apakah mereka akan bersyukur atas nikmat yang diberikan dan mau berbagi dengan orang lain, ataukah mereka akan menjadi sombong dan pelit?
Kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh banyaknya harta, tetapi oleh kayanya hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya: Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan hati. (HR. Bukhari no. 6446)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Orang yang memiliki sifat kaya hati adalah orang yang merasa puas dengan pemberian Allah kepadanya. Dia tidak tamak untuk mendapat tambahan atas pemberian tersebut tanpa adanya kebutuhan. Dia tidak mendesak dalam meminta dan tidak bersikeras dalam memohon. Ia ridha dengan takdir Allah Ta’ala untuknya, sehingga ia selalu merasa seolah-olah memiliki segalanya. Sebaliknya, orang yang miskin hatinya adalah orang yang tidak pernah puas dengan pemberian Allah Ta’ala kepadanya. Ia selalu mencari tambahan dengan berbagai cara. Ketika dia tidak mendapatkan keinginannya, ia merasa sedih dan kecewa, sehingga seolah-olah ia miskin meskipun memiliki harta karena ia tidak merasa cukup dengan rezeki yang diberikan kepadanya dan seolah-olah ia tidak tercukupi.” (Fathul Bari, 11: 272)
Orang yang kaya hatinya adalah orang yang selalu merasa cukup dengan segala karunia dari Allah Ta’ala untuknya, senantiasa bersyukur dalam segala keadaan, dan tidak mudah iri kepada orang lain. Mereka merasakan ketenangan dan kebahagiaan sejati karena mereka memahami bahwa kebahagiaan hakiki bukan terletak pada harta benda, tetapi pada hati yang selalu merasa cukup dan berserah diri kepada Allah Ta’ala.
Referensi:
Majalah HSI Edisi 70 Rabi’ul Akhir 1446 H
Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
Ditulis oleh : Abu Ady
BACA JUGA :

Leave a Reply