Kalau disebutkan sederetan tokoh tersohor dunia, mungkin banyak di antara kita yang tak asing dengan mereka. Bahkan tak jarang, kita tahu seluk beluk kehidupannya, dari yang paling besar, hingga hal-hal kecil dan sepele dari sang tokoh. Tak peduli, entah itu sang tokoh adalah tokoh panutan, ataupun tokoh tak patut jadi tauladan. Atau paling tidak, tahu namanya, dan sedikit info tentang dirinya. Namun sebagai muslim, sudah seharusnya kita mengenal dan mengetahui tentang tokoh-tokoh yang patut dipetik suri tauladan oleh setiap muslim.
Dan tahukah kita, siapa gerangan Julaibib ini? Kalau jawaban yang meluncur dari mulut kita adalah atas pertanyaan di atas adalah : tidak tahu, harusnya kita malu. Padahal banyak dari kita yang tahu dengan detail tentang perjalan hidup orang-orang yang tersohor di pelataran pentas dunia, baik dari kalangan kaum politikus, para pemimpin, tokoh-tokoh sastra, seni dan lainnya. Kita telah banyak menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal yang tiada guna.
Mestinya sudah sepantasnya bila kita mengenal para tokoh terhormat pilihan lagi mulia; di mana dengan mengingat mereka akan bisa memberikan oase kesejukan bagi hati. Dan sudah pasti, masing-masing kita sangat membutuhkan suri tauladan, terutama suri tauladan yang telah dipersaksikan akan kepantasannya oleh Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Siapa Julaibib?
Semua orang mendamba punya kesempurnaan dalam segala hal, baik tabiat dan perangai, termasuk pula dalam hal fisik dan raga. Siapa yang tak menginginkan punya wajah tampan dan cantik? Namun demikian, semua telah Alloh beri anugerah dan pemberian, sesuai dengan porsinya, dan atas dasar kebijaksanaan-Nya. Berapa banyak orang yang berparas elok, namun akhlaknya bobrok. Dan berapa banyak orang yang berjiwa mulia, namun tampangnya biasa-biasa saja, atau bahkan kurang elok rupanya. Demikian pula, tak semua tokoh terhormat lagi pilihan mempunyai perawakan dan wajah yang menawan. Karena barometer kebaikan dan kegagahan bukan diukur dengan wajah yang tampan dan penampilan yang memukau. Namun diukur dengan kegagahan iman dan ketampanan takwanya.
Dan inilah salah seorang sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, yang mungkin jarang kita dengar namanya. Ia adalah Julaibib. Seorang sahabat Nabi yang ditelah ditetapkan Alloh mempunyai perawakan yang tak indah, namun kadar keimanannya begitu menggugah. Disebutkan bahwa ia adalah salah seorang dari Anshor; postur tubuhnya pendek dan mukanya tidaklah indah. Bukan hanya itu saja; iapun seorang yang papa. Tak ada harta, tak ada pangkat, tak punya perangkat dunia. Yang ia punya hanyalah iman yang memenuhi kalbunya. Hanya iman dan takwa yang membuatnya bersinar di muka dunia. Kalaulah kebahagiaan diukur dengan indahnya paras wajah dan perawakan, atau diukur dengan harata dan dunia, maka orang kafir yang punya karunia ini pun akan menjadi orang paling bahagia. Dan Julaibib pun akan menjadi orang yang paling sengsara di dunia! Namun begitu, sungguh adil Alloh Ta’ala. Fisik bukanlah barometernya; namun hati adan amal yang dibalut dalam iman dan takwa; itulah yang akan dipandang oleh Alloh ‘Azza wa jalla.
Imam Muslim meriwayatkan
عَنْ أَبِى بَرْزَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ فِى مَغْزًى لَهُ فَأَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَقَالَ لأَصْحَابِهِ « هَلْ تَفْقِدُونَ مِنْ أَحَدٍ ». قَالُوا نَعَمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا. ثُمَّ قَالَ « هَلْ تَفْقِدُونَ مِنْ أَحَدٍ ». قَالُوا نَعَمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا.
ثُمَّ قَالَ « هَلْ تَفْقِدُونَ مِنْ أَحَدٍ ». قَالُوا لاَ. قَالَ « لَكِنِّى أَفْقِدُ جُلَيْبِيبًا فَاطْلُبُوهُ ». فَطُلِبَ فِى الْقَتْلَى فَوَجَدُوهُ إِلَى جَنْبِ سَبْعَةٍ قَدْ قَتَلَهُمْ ثُمَّ قَتَلُوهُ فَأَتَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَوَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ « قَتَلَ سَبْعَةً ثُمَّ قَتَلُوهُ هَذَا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ هَذَا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ ». قَالَ فَوَضَعَهُ عَلَى سَاعِدَيْهِ لَيْسَ لَهُ إِلاَّ سَاعِدَا النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فَحُفِرَ لَهُ وَوُضِعَ فِى قَبْرِهِ. وَلَمْ يَذْكُرْ غَسْلاً.
Dari Abu Barzah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam suatu ketika berada dalam suatu perjalanan perang. Hingga Alloh memberikan rampasan perang kepada beliau. Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada para sahabat: “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab: “Ya, si fulan, fulan dan fulan.” Nabi kembali bertanya: “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Mereka menjawab: “Ya, si fulan, fulan dan fulan.” Nabi kembali bertanya: “Apakah kalian kehilangan seseorang?”Mereka menjawab: “Tidak.” Nabi n bersabda: “Akan tetapi aku kehilangan Julaibib. Carilah dia!” Maka Julaibib pun dicari di antara para pasukan yang terbunuh, dan mereka mendapatkannya tergolek di samping tujuh orang yang berhasil ia bunuh dan merekapun membunuhnya. Lalu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pun datang dan berdiri kemudian bersabda: “Ia telah membunuh tujuh orang kemudian mereka membunuhnya. Orang ini adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya. Orang ini adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya.[1]” Perawi mengatakan: Lalu Nabi menaruhnya di dua lengan beliau, tak ada yang lain selain dua lengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Perawi melanjutkan: Kemudian digali liang kubur untuknya, dan iapun diletakkan di kuburnya. Dan tidak disebut bahwa ia dimandikan.
Ucapan Nabi terhadap Julaibib yang telah terbujur kaku: Orang ini adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darinya, maknanya adalah memberikan kesan mendalam tentang kesatuan jalan yang ditempuh Nabi dan Julaibib, dan kesamaan keduanya dalam ketaatan kepada Alloh; dikarenakan ia gugur sebagai syahid, tidak dimandikan dan tidak disholatkan. Demikianlah Islam meninggikan kedudukan Julaibib, dan sekaligus merendahkan Abu Jahl dan Abu Lahab.
Dan dalam hadits tersebut terdapat anjuran dan motivasi untuk ‘berkenalan’ dengan orang-orang yang sholih, meskipun mereka adalah orang-orang yang tak dikenal; orang yang mungkin kurang diperhitungkan, atau bahkan cenderung disepelekan. Namun karena kesalihannya, ia begitu diperhitungkan di mata Alloh ‘Azza wa jalla. Sudah sepatutnya bila kita gali keutamaannya, kita ambil suri tauladannya. Apalagi karena ia adalah sosok yang kurang diperhitungkan di mata orang, bisa jadi di situlah letak indikasi keikhlasannya. Tentunya dengan tetap menjadikan Rosul sebagai suri tauladan tertinggi. Karena semua makhluk pilihan dari umat ini, mereka mengambil suri tauladan dari Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Alloh berfirman: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh. (QS. Al-Ahzab: 21)
Kisah nikahnya
Dari Abu Barzah Al-Aslami bahwa Julaibib adalah seseorang dari kalangan Anshor. Adalah para sahabat Nabi n , bila salah seorang di antara mereka ada yang mempunyai janda (ataupun gadis belum menikah), maka ia tidak menikahkannya hingga ia tahu, apakah Nabi n ada mempunyai hajat kepadanya ataukah tidak. Maka pada suatu hari, Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada seorang lelaki dari kalangan Anshor: “Wahai fulan! Nikahkanlah putrimu terhadap diriku!” Ia pun menjawab: “Dengan senang hati.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang aku maksudkan adalah bukan untukku.” Ia bertanya: “Untuk siapa?” Nabi berkata: “Untuk Julaibib.” Ia berkata: “Wahai Rosululloh, nantilah hinggga aku meminta pendapat ibunya.” Maka iapun mendatangi istrinya, dan berkata: “Sesungguhnya Rosululloh meminang putrimu!” Si ibu menjawab: “Dengan senang hati. Nikahkanlah Rosululloh (dengan putri kita).” Iia berkata lagi: “Nabi tidak menginginkannya untuk diri beliau.” Si ibu bertanya: “Lalu untuk siapa?” Ia berkata: “Untuk Julaibib.” Si ibu berkata: “Duhai celaka! Untuk si Julaibib?!” si ibu berkata lagi: “Tidak. Demi Alloh, aku tidak akan menikahkannya adengan si Julaibib.” Maka ketika si bapak bangkit hendak mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, si gadis pun berkata kepada sang ibu dari balik tirainya: “Siapakah yang mengajukan pinangannya kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam.” Si gadis berujar: “Apakah kalian menolak perintah Rosululloh! Serahkanlah diruku kepada Rosululloh, karena sesungguhnya beliau tidak akan menyia-nyiakanku (menelantarkanku).”[2] Maka ayahnya pun pergi kepada Nabi n dan berkata: “Urusannya saya serahkan kepadamu.” Dan Rosululloh pun menikahkannya dengan Julaibib.”
Ishaq Bin Abdillah Bin Abi Tholhah berkata kepada Tsabit: “Tahukah engkau apa doa Nabi untuknya?” Tsabit berkata: “Apa yang Nabi doakan untuknya?” Ishaq berkata: “Ya Alloh, curahkanlah untuknya kebaikan dengan curahan yang melimpah banyak. Dan janganlah Engkau jadikan kehidupannya sengsara.” Tsabit berkata: maka Nabi menikahkan si perempuan tadi dengan Julaibib. Dan tidak ada perempuan yang lebih banyak uang belanjanya daripada dia. Ibnu Sa’d berkata: aku mendengar orang yang menyebutkan bahwa Julaibib adalah seorang lelaki dari bani Tsa’labah, seorang sekutu dalam kalangan Anshor. Sedangkan si perempuan yang Nabi nikahkan dengannya adalah dari Bani Harits bin Khazraj.
Dan mungkin ada yang bertanya mengenai identitasnya; apa warna kulitnya? Siapa nama bapaknya? Berapa usianya? Namun semua ini tak dibeberkan kepada kita, karena memang ini semua tidaklah terlalu penting bagi kita. Sampai-sampai mereka tak sudi kalau anaknya dipersunting olehnya. Kalaulah bukan karena permintaan Rosul, keluarga si gadis tak akan menikahkan putrinya dengan Julaibib. Namun yang jelas, Julaibib tetaplah menjadi salah seorang tokoh di antara tokoh-tokoh kesalihan dan ketakwaan.
Dan perjalan hidupnya bisa menjadi penghalau dan pencegah bagi mereka yang mencari ketenaran palsu yang sama sekali tak ada manfaat kala mencarinya, dan tak ada guna kala mengiringinya.
Kalau bukan karena Islam, tak akan harum nama Julaibib. Demikian pula dengan kita. Kalaulah kita hendak menjadi orang yang dipandang Alloh, tak ada jalan kecuali dengan menghadirkan Islam dalam hati, siapapun kita. Apalagi kalau kita merasa punya banyak kekurangan, baik kurang dalam harta, kurang dalam perawakan tubuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya, maka Islam akan mengangkat tinggi martabat kita. Dan setiap manusia, pasti punya banyak kekurangan. Tinggikanlah dengan menautkan diri dengan agama yang mulia dan luhur ini, niscaya Alloh akan mengangkat kita.
Ayahku adalah Islam, tak ada ayah bagiku selain dia
Bila mereka berbangga-bangga dengan Qais ataupun Tamim
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 06 Tahun 03
[1] Artinya bahwa jalan hidup dan ketaatan yang ditempuh Julaibib dengan Nabi adalah sama. demikian yang diungkapkan Imam Nawawi.
[2] Dalam Usdul Ghobah disebutkan, bahwa sang gadis membacakan ayat: wama kana limumin amrihim. Dan berkata: “Aku ridho dan menerima terhadap apa yang Rosululloh ridho untukku dengannya. Lalu Rosululloh mendoakannya: Ya Alloh, curahkanlah kebaikan kepadanya
Leave a Reply