TABIR KEPALSUAN (Bag. Pertama)
الحمد لله ، وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليماً كثيراً، أ ما بعد
Pada kesempatan ini saya mengajak saudara-saudara saya kaum Muslimin untuk melakukan perenungan terhadap kasus Abdul Aziz itu. Ini sekedar sumbangan sederhana dari saya untuk saudara-saudara saya yang lebih dulu berjasa melawan kebatilan yang menghantam hukum pasti yang telah final di dalam Islam, yang mana kebatilan tadi digelorakan oleh dai tersebut. Saya –penulis وفقه الله- telah mengumpulkan beberapa data tambahan tentang si dari beberapa sumber pemberitaan, yang mana di antaranya adalah:
Data dari Tagar.id
Dosen IAIN Surakarta Abdul Aziz mendadak menghebohkan dunia maya karena disertasinya dalam meraih gelar Doktor di Universitas Islam (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, tentang hubungan seks di luar nikah dalam batasan tertentu tidak melanggar syariat Islam. Siapakah Abdul Aziz? Apa latar belakangnya menulis disertasi yang mengundang kontroversial itu?
Bapak tiga anak ini tercatat sebagai dosen Hukum Keluarga Islam di Fakultas Syariah IAIN Surakarta. Dia merupakan dosen tetap di perguruan tinggi tersebut dengan jabatan fungsional Lektor Kepala. Lulus dalam pendidikan tertinggi S2 di IAIN Walisanga Semarang. Sedangkan studi S1 diraihnya dari IAIN Alauddin Makassar. Saat ini Abdul sedang menyelesaikan studi S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan disertasinya yang menghebohkan jagad maya. Disertasinya ia berikan judul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrul sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”. Milk Al Yamin atau Milkul Yamin, yang dalam bahasa sederhananya adalah hukum budak. Aziz menafsirkan konsep milk al yamin dari pemikiran Muhammad Syahrul. Aziz bukan tanpa alasan membedah pemikiran tokoh asal Suriah yang lama menetap di Rusia itu. Mengapa Aziz tertarik dengan pemikiran Syahrul? Dia mengaku prihatin dengan kondisi seks di luar nikah. Mereka yang melakukannya acap kali mendapat kriminalisasi, yang secara sosilogis sebenarnya bertentangan dengan hak asasi manusia. “Kriminalisasi itu yang membuat saya prihatin,” kata dia. Aziz menyontohkan, fenomena kriminalisasi hubungan seksual non-marital misalnya pada tahun 1999 ada kasus perajaman di Aceh karena berzina. Contoh lain, kata dia, anggota Laskar Jihad di Ambon dihukum mati karena dianggap telah berbuat zina. Aziz mengaku secara intelektual gelisah melihat fenomena kriminalisasi. “Saya merasa ada kegelisahan intelektual. Sekejam itukah hukuman bagi manusia yang melakukan hubungan seksual nonmarital,” ujarnya. Aziz mengatakan, seks di luar nikah di negara lain sangat terbuka. Berbeda dengan Indonesia, atau negara lain yang mayoritas penduduknya Islam. Hukum Islam yang konservatif, tabu, mengangkat seks di luar nikah apalagi mendobraknya. Larangan itu misalnya seks yang hubungan sedarah, pesta seks, seks di depan umum dan homoseksual. “Di negara-negara mayoritas Islam, tidak terbuka, bahkan tabu soal seks di luar nikah. Hanya Iran, yang mulai terbuka misalnya mengakomodir kawin kontrak,” kata Aziz. Kawin kontrak, lanjutnya, masih dianggap tabu oleh negara-negara bermayoritas penduduk Islam. Padahal, dalam Alquran surat An-Nisa menyebut kawin kontrak dibenarkan dalam konteks tertentu.
Aziz menyebutkan, konsep milk al yamin sebagai hubungan seksual nonmartial dengan budak perempuan melalui akad nikah. Bahkan, kata dia, Muhammad Syahrur mengklaim menemukan 15 ayat dalam Alquran tentang konsep milk al yamin masih eksis sampai saat ini. Menurut Aziz, dalam konteks modern, milk al yamin sudah bergeser keabsahan sebagai partner seksual di luar nikah, yang tidak bertujuan membangun keluarga atau memiliki keturunan. “Itu yang sekarang disebut kawin kontrak. Hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan,” ucap Aziz. Apakah itu artinya membenarkan zina atau seks bebas? Aziz menggarisbawahi dalam konsep milk al yamin, Muhammad Syahrur tidak membenarkan seks bebas. Ada larangan tertentu dalam konsep hubungan seks nonmartial. “Larangan itu misalnya seks yang hubungan sedarah, pesta seks, seks di depan umum dan homoseksual,” tuturnya. Namun, Aziz mengakui, konsep milk al yamin Muhammad Syahrul ini sulit diterapkan di Indonesia. Dalam semangat pengarusutamaan gender misalnya, konsep ini berseberangan atau bias gender. “Wanita yang sudah menikah tidak diperbolehkan, sedangkan pria boleh melakukannya,” ucapnya. Berikut abstrasi disertasi Abdul Aziz yang berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrul sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” dikutip dari laman program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Hubungan seksual, baik marital maupun nonmarital merupakan hak asasi manusia yang berkaitan dengan seksualitas yang dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. Namun, dalam tradisi hukum Islam (fiqh), hanya hubungan seksual marital yang dipandang sebagai hubungan yang legal sementara hubungan seksual nonmarital dipandang sebagai hubungan ilegal.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teori baru yang dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap keabsahan hubungan seksual nonmarital. Penulis berasumsi bahwa konsep milk al-yamin Muhammas Syahrur memainkan peran utama dalam mencapai tujuan ini.
(Selesai penukilan yang diinginkan).
Saya –Abu Abdillah Ahmad وفقه الله- menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama:
Abdul Aziz ini adalah dosen tetap bagian Hukum Keluarga Islam di Fakultas Syariah IAIN Surakarta, dengan jabatan fungsional Lektor Kepala. Lulus dalam pendidikan S1 dan S2, dan sedang mengejar gelar Doktor. Ini menunjukkan bahwasanya dia adalah orang yang telah banyak mempelajari sekian banyak dalil-dalil dan ucapan para imam dan ulama Islam, sampai bahkan diangkat sebagai dosen di fakultas syariat. Dia bukan orang jahil.
Kedua:
Abdul Aziz dalam mengejar gelar Doktor, dia membuat disertasi berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrul sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”. Dia setelah mengetahui sekian banyak dalil wahyu dari Al Qur’and an As Sunnah, dan mengetahui sekian banyak tafsir para Salaf dan imam kaum Muslimin, dia lebih memilih pemikiran seorang tokoh pemikir Suriah yang lama menetap di Rusia itu.
Ketiga:
Alasan Abdul Aziz memilih pemikiran Muhammad Syahrul adalah: si Abdul Aziz prihatin akan pandangan negatif masyarakat terhadap perbuatan pelaku seks di luar nikah. Mereka yang melakukannya acap kali mendapat kriminalisasi yang berupa hukum rajam. Ini menunjukkan bahwasanya Abdul Aziz justru memihak pada para pezina, dan justru menentang hukum Allah dan Rasul-Nya terhadap para pezina.
Keempat:
Abdul Aziz menetapkan bahwasanya hukum rajam yang ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya adalah kriminalitas (suatu kejahatan).
Kelima:
Abdul Aziz menetapkan bahwasanya hubungan seksual di luar ikatan pernikahan adalah hak asasi manusia. Ini menguatkan bahwasanya Abdul Aziz menghalalkan perzinaan, hanya saja dia nanti berlindung di balik qiyas perbudakan.
Keenam:
Abdul Aziz merasa prihatin atas kekasaran yang dialami oleh para pelaku perzinaan yang mana mereka dalam terkena hukum rajam yang dia katakan sebagai kriminalitas (kejahatan).
Ketujuh:
Abdul Aziz merasa gelisah akan penegakan hukum rajam bagi pelaku zina dan menganggap hukum Allah dan Rasul-Nya itu sedemikian kejam. Ini menunjukkan bahwasanya Abdul Aziz tidak ridha pada hukum yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan, bahkan dia memvonis bahwasanya hukum Allah dan Rasul-Nya tadi sedemikian kejam. Inilah yang membuat dia gelisah dan menamakan kegelisahannya tadi sebagai “Kegelisahan intelektual”.
Kedelapan:
Aziz menyindir umat Islam dan lebih membesar-besarkan Negara lain. Dia mengatakan: “Seks di luar nikah di negara lain sangat terbuka. Berbeda dengan Indonesia, atau negara lain yang mayoritas penduduknya Islam. Hukum Islam yang konservatif, tabu, mengangkat seks di luar nikah apalagi mendobraknya”. Ini adalah sindiran dan penghinaan yang nyata terhadap umat Islam, dan dia lebih mengutamakan Negara-negara yang menganut ajaran najis seks bebas, yang pada hakikatnya menyamakan antara manusia dengan binatang dan para setan.
Kesembilan:
Abdul Aziz telah menampakkan kecondongannya pada Negara Iran yang berakidah Syi’ah Rafidhah.
Kesepuluh:
Abdul Aziz telah menampakkan pembelaannya kawin mut’ah, padahal kawin mut’ah telah dihapuskan hukum pembolehannya oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya, dan sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya; Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib dan jumhur Shahabat Radhiyallahu Anhum telah membatalkan berlakunya kawin mut’ah, dan menghukumi hal itu sebagai perzinaan.
Kesebelas:
Abdul Aziz membela kawin mut’ah dengan alasan hal itu ada dalam Al Qur’an. Apakah dia tidak tahu –ataukah pura-pura tidak tahu- bahwasanya ada ayat-ayat Al Qur’an yang hukumnya mansukh (terhapus) dalam keadaan lafazhnya masih Allah kekalkan? Dengan ayat yang mansukh; Abdul Aziz berusaha untuk membatalkan sekian banyak hadits shahih yang mengharamkan nikah mut’ah.
Kedua belas:
Abdul Aziz berusaha menyesatkan umat dalam menghalalkan perzinaandengan menggambarkan bahwasanya hubungan seksual macam tadi boleh dikiyaskan kepada konsep milk al yamin (budak perempuan).
Ketiga belas:
Abdul Aziz membuat pengkaburan hakikat dengan membuat hukum Allah dan Rasul-Nya boleh ditundukkan pada selera modern, dengan membawa konsep perbudakan kepada: partner seksual di luar nikah, yang tidak bertujuan membangun keluarga atau memiliki keturunan. Dia menggambarkan bahwasanya sebagaimana perbudakan itu abash (sah dan halal), maka hubungan partner seksual di luar nikah juga abash (sah dan halal).
Keempat belas:
Abdul Aziz berusaha berkelit dari tuduhan menghalalkan perzinaan dengan menaburkan syubuhat (kerancuan) bahwasanya konsep milk al yamin, Muhammad Syahrur tidak membenarkan seks bebas. Ada larangan tertentu dalam konsep hubungan seks nonmartial.
Kelima belas:
Abdul Aziz mendukung pembagian yang dilakukan oleh Muhammad Syahrul antara hubungan seks di luar nikah yang halal dan yang haram. Dia menyebutkan: yang terlarang itu misalnya: seks yang hubungan sedarah, pesta seks, seks di depan umum dan homoseksual. Ini menunjukkan bahwasanya hubungan seksual tanpa akad nikah yang sah yang dilakukan oleh lelaki dengan perempuan yang tidak sedarah dan tidak di tempat terbuka adalah halal menurut mereka berdua. Ini adalah penghalalan perkara yang diharamkan oleh oleh Allah ta’ala dan RasulNya. Padahal ini semua masuk dalam keumuman dalil-dalil yang mengharamkan perzinaan, dan dalilnya adalah umum. Dan itu juga menunjukkan bahwasanya Abdul Aziz dan gurunya itu membuat penghalalan dan pengharaman yang tidak diajarkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya, padahal Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah itu tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan mereka akan mendapatkan adzab yang pedih”. (QS. An-Nahl: 116)
Keenam belas:
Abdul Aziz telah menegaskan bahwasanya hubungan seksual, baik marital maupun nonmarital merupakan hak asasi manusia yang berkaitan dengan seksualitas yang dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. Ini menunjukkan bahwasanya Abdul Aziz lebih mengutamakan ajaran Liberal yang mendengung-dengungkan hak asasi manusia, daripada kewajiban asasi manusia sebagai hamba Allah untuk tunduk patuh pada peraturan Penguasa alam semesta. Ketujuh belas: kalimat Abdul Aziz di atas telah terang-terangan menunjukkan bahwasanya dia berakidah halalnya hubungan seksual non marital, padahal itu telah dihukumi sebagai perzinaan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kedelapan belas: Ucapan Abdul Aziz “Namun dalam tradisi hukum Islam (fiqh), hanya hubungan seksual marital yang dipandang sebagai hubungan yang legal sementara hubungan seksual nonmarital dipandang sebagai hubungan illegal”. Itu menunjukkan bahwasanya Abdul Aziz sendiri tidak meyakini di dalam akidah hatinya bahwasanya hubungan seksual non maritas itu illegal. Tidak perlu banyak bermain kata, jelas-jelas dia berkeyakinan bahwasanya perzinaan itu harusnya dilegalkan. Kesembilan belas: Abdul Aziz menegaskan bahwasanya penelitiannya itu bertujuan untuk menemukan teori baru yang dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap keabsahan hubungan seksual nonmarital. Itu sudah terang bagi orang yang berakal sehat bahwasanya dia menulis buku tadi bukan untuk melarang orang berzina, dan bukan pula untuk menutup pintu perzinaan serapatrapatnya serta menjauhkan orang dari area yang fatal tadi sejauh-jauhnya, tapi untuk mencari celah menghalalkan perzinaan dengan permainan kata, agar suatu saat nanti masyarakat boleh berzina dengan bebas sebagaimana masyarakat liberal bebas berzina sesuka hati mereka bagaikan setan dan hewan tanpa takut terkena hukuman rajam yang dia gambarkan sebagai kriminalitas yang memprihatinkan.
Wahai Muslimin, di manakah kecemburuan kalian terhadap agama Allah dan Rasul-Nya serta kehormatan keluarga kalian!?
Data dari TribunSolo.id
Abdul Aziz mengaku mengerjakan disertasinya sebagai mahasiswa program doktoral Interdisciplinary Islamic Studies di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dia menghabiskan waktu selama tiga tahun selama mengerjakan disertasinya tersebut. Bahkan, sudah melalui berbagai diskusi bersama rekan- rekanya sesama dosen untuk mengerjakan disertasi Konsep Milk Al – Yamin Muhammad Syahrur. “Dari diskusi yang digelar memang ada pro dan kontra dari apa yang saya kerjakan itu,” papar Abdul Aziz, Rabu (4/9/2019). Sementara itu, sebelum mengerjakan disertasinya ini juga diakui Abdul Aziz ada pertentangan dalam dirinya. Namun, pada akhirnya dia tetap mengerjakan disertasinya tersebut dan sampai menjadi viral seperti sekarang ini. “Saya juga tidak menyangka kalau jadi viral seperti sekarang ini, saya lakukan itu untuk kajian akademis saja,” papar Abdul Aziz. Abdul Aziz mengangkat disertasi tersebut sebagai bentuk keprihatinan dengan fenomena kriminalisasi akibat hubungan seks di luar nikah. Dirinya ingin menawarkan solusi lewat penelitian. Abdul Aziz merupakan mahasiswa program doktoral Interdisciplinary Islamic Studies di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Ditemui wartawan di Kampus IAIN Surakarta fakultas Syariah Abdul Aziz meminta masyarakat memahami disertasinya ini sebagai kajian akademis dan bukan fatwa. “Ini hanya kajian akademis dan bukan Fatwa, saya hanya menawarkan solusi dari fenomena yang saya tangkap,” papar Abdul Aziz, Rabu (4/9/2019). -Sampai pada:- Secara khusus dia mengupas juga tentang pemikiran Konsep Milk Al – Yamin Muhammad Syahrur. “Jadi, itu bukan pendapat saya dan hanya mengupas pemikiran itu secara akademis,” papar Abdul Aziz. Dia menuturkan, semua orang bisa membaca dan mengulas pendapat Syahrur sebab hal tersebut terbuka apalagi di lingkungan akademis.
(Selesai penukilan yang diinginkan).
Dari wawancara media masa tanggal 4/9/2019 yang dinukilkan tersebut,
saya –Abu Abdillah وفقه الله- menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama:
Abdul Aziz mengaku mengerjakan disertasinya itu selama tiga tahun. Tiga tahun dihabiskan untuk memperjuangkan tujuan mendasar mencari penghalalan zina dengan meramu sekian banyak syubuhat untuk dilontarkan pada umat yang tengah memerlukan bimbingan ulama rabbaniy dan obat, namun justru diperparah dengan racun penghalalan zina.
Kedua:
Abdul Aziz mengakui dalam masa tiga tahun itu dia sudah melalui berbagai diskusi bersama rekan- rekanya sesama dosen, dan memang ada pro dan kontra terhdap amalan tadi. Itu menunjukkan sudah ada orang-orang berilmu yang mengingatkan dan menasihati dia dan itu adalah penegakan hujjah. Dalam perkara yang telah diketahui secara amat mendasar dan amat pasti dari agama Islam tadi, penegakan hujjah tidak harus menunggu ulama mujtahidin. Al Imam Yahya Bin Syaraf An Nawawiy Asy Syafi’iy رحمه الله berkata: “Amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah khusus menjadi wewenang para pemilik kekuasaan dan jabatan. Bahkan hal itu adalah wewenang pasti untuk setiap orang dari kaum Muslimin, dan wajib untuk mereka pikul. Imamul Haramain berkata: ‘Dan dalil tentang masalah itu adalah ijma’ kaum Muslimin, karena orang-orang yang selain waliyyul amr pada masa generasi pertama mereka sering memerintahkan (yang ma’ruf) pada para waliyyul amr, dan melarang mereka (dari yang mungkar), disertai dengan pengakuan kaum Muslimin untuk mereka tadi menjalankan amalan-amalan itu, dan kaum Muslimin tidak menghardik orang-orang tadi menyibukkan diri menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa memiliki kekuasaan. Dan hal itu ditunjukkan oleh sabda Nabi dalam “Shahih Muslim”:
“Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, maka jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya, maka jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” [HR. Muslim/186 dari Abi Sa’id Al Khudry رضي الله عنه].
Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah –pen) berkata: ‘Yang memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar hanyalah orang orang yang alim (sangat berilmu) terhadap apa yang dia perintahkan dan apa yang dia larang. Dan yang demikian itu berbeda-beda sesuai dengan kadar urusan-urusan yang ada. Jika urusannya tadi termasuk dari kewajiban yang sangat jelas dan keharaman yang telah terkenal, seperti: shalat, puasa, zina, khamr dan yang semacamnya; maka seluruh Muslimin adalah ulama dalam masalah tadi. Namun jika urusannya itu termasuk ke dalam ucapan dan perbuatan yang mendetail, dan yang terkait dengan ijtihad, orang-orang awam tidak berhak untuk memulai mengingkarinya, bahkan hal itu adalah hak para ulama, dan yang disusulkan kepada para ulama adalah orang yang telah diajari oleh para ulama bahwasanya permasalahan tadi termasuk masalah yang telah disepakati’.”. (Selesai dari “Raudhatuth Thalibin Wa Umdatul Muftin”/4/hal. 4).
Perhatikanlah ucapan para ulama tadi: “Jika urusannya tadi termasuk dari kewajiban yang sangat jelas dan keharaman yang telah terkenal, seperti: shalat, puasa, zina, khamr dan yang semacamnya; maka seluruh Muslimin adalah ulama dalam masalah tadi”. Jadi: telah ada yang menegakkan hujjah pada Abdul Aziz tentang haramnya zina. Bahkan masalah haramnya zina dengan dalil-dalil yang umum dan amat banyak dan terkenal, dan itu semua telah diketahui oleh seluruh umat Islam yang telah lama masuk Islam dan tinggal di wilayah kaum Muslimin. Apalagi Abdul Aziz adalah dosen syariah. Maka sudah sejak lama hujjah tentang haramnya zina itu tegak pada dirinya. Dan masalahnya sekarang: saat kemungkaran yang berupa perzinaan semakin dahsyat di masyarakat; bukannya dia berusaha menjalankan perintah Nabi Muhammad untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkaran sesuai kemampuan, padahal dia mengaku cinta Nabi. Tapi justru dia memakai segenap kemampuan intelektual dan waktu dia bertahun-tahun untuk merubah wajah kemungkaran menjadi ma’ruf. Sebagian zina hendak dia perjuangkan agar penampilannya berubah dan menjadi halal!
ketiga:
Abdul Aziz berkata: “Saya juga tidak menyangka kalau jadi viral seperti sekarang ini, saya lakukan itu untuk kajian akademis saja”. Apakah di dalam hatimu ada kegembiraan dengan itu? Jika iya, maka selamat bergembira dengan firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyukai kekejian tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka akan mendapatkan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kalian tidak mengetahui”. (QS. An-Nur: 19)
Dan selamat bersiap-siap mendapatkan amal jariyah yang mungkin terus mengalir sekian lama.
Dari Jarir رضي الله عنه : dari Rasulullah yang bersabda:
“Barangsiapa mengadakan suatu jalan keagamaan yang baik di dalam Islam, lalu jalan keagamaan tadi diamalkan sepeninggalnya; akan dicatat untuknya pahala semisal dengan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengadakan suatu jalan keagamaan yang buruk di dalam Islam, lalu jalan keagamaan tadi diamalkan sepeninggalnya; akan dicatat terhadapnya dosa semisal dengan dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim (1017)). Dari Abu Hurairah رضي الله عنه : dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang bersabda:
“Barangsiapa mengajak kepada suatu petunjuk; dia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa mengajak kepada suatu kesesatan; dia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim (2674)).
Keempat:
Abdul Aziz mengangkat disertasi tersebut sebagai bentuk keprihatinan dengan fenomena kriminalisasi akibat hubungan seks di luar nikah. Ini jelas sekali menunjukkan bukannya si Abdul Aziz prihatin akan semakin maraknya perzinaan dan semakin pudarnya ketinggian derajat manusia karena semakin mirip dengan binatang, namun yang dia prihatinkan adalah ditegakkannya hukum Allah di bumi Allah –bukan di bumi ciptaan si Abdul Aziz ataupun manusia-. Ini adalah gambaran nyata rusaknya keimanan dia. Sudah cukup buruk seseorang itu tidak mendukung –walaupun dalam hati- ditegakkan hukum Pencipta dan Pemberi rezeki dia. Ternyata si Abdul Aziz bahkan sedih dan kecewa jika hukum Allah tadi ditegakkan pada para penjahat.
Kelima:
Si Abdul Aziz menamakan hukum rajam sebagai kriminalitas. Ini adalah cercaan yang amat keji terhadap hukum Allah, dan cukuplah itu sebagai pembatal keislaman, padahal si Abdul Aziz tadi bukan orang awam.
Keenam:
si Abdul Aziz menawarkan solusi penelitian demi menyelamatkan para pezina agar tidak terkena hukum rajam. Ini petunjuk yang amat terang bahwasanya dia memang setia pada para pezina di saat bersamaan dia membenci pelaksaan hukum Allah terhadap para penjahat tadi. Dan ternyata penyelamatan yang dia rancang selama tiga tahun itu adalah: membuka pintu dihalalkannya perzinaan, agar tidak ada alasan bagi para penegak hukum Allah (yang dia namakan sebagai kriminalitas) untuk menyakiti para pezina (yang dia namakan dengan bahasa manis dan keren “Hubungan Seksual Non-Marital”. Seorang pelaku perzinaan itu tidaklah dikafirkan dengan semata-perzinaannya, seperti yang dilakukan oleh jamaah takfir. Tapi si Abdul Aziz ini benar-benar berjuang untuk memerangi hukum Allah dan menamainya dengan nama yang keji: “Kriminalisasi”, dan melindungi para pezina dengan mendakwahkan agar perzinaan tadi dihalalkan. Padahal perkara haramnya zina itu termasuk perkara yang telah amat jelas secara pasti di dalam hukum Islam, yang mana para ulama menghukumi kafirnya orang yang menentang itu, kecuali orang yang baru masuk Islam atau tumbuh di pedalaman yang jauh dari ilmu agama. Sementara si Abdul Aziz ini dia biasa berkecimpung dalam ilmu syariat sampai diangkat sebagai dosen tetap di Institut Agama Islam Indonesia di Surakarta.
Ketujuh:
Abdul Aziz meminta masyarakat memahami disertasinya ini sebagai kajian akademis dan bukan fatwa. “Ini hanya kajian akademis dan bukan Fatwa, saya hanya menawarkan solusi dari fenomena yang saya tangkap”. Itu semua hanyalah pengkaburan agar tidak dikritik dan ditentang. Walaupun dia mengatakan itu bukan fatwa; tetap itu adalah dakwah yang dia dengung-dengungkan secara lisan dan tulisan. Apalagi masyarakat Indonesia memandang penceramah di masjid-masjid itu ucapannya layak diperhatikan, apalagi dosen IAIN, apalagi seorang Doktor agama, boleh jadi mayoritas masyarakat lebih menaatinya jika ucapannya sesuai dengan syahwat mereka, melebihi petuah ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengajak untuk setia pada syariat Allah ta’ala dan Nabi Muhammad.
Kedelapan:
Si Abdul Aziz bilang bahwa itu adalah pemikiran Konsep Milk Al – Yamin Muhammad Syahrur. “Jadi, itu bukan pendapat saya dan hanya mengupas pemikiran itu secara akademis”. Demikianlah usaha dia untuk berkelit dari celaan. Padahal jelas sekali dari awal sampai akhir dia mati-matian mendakwahkan pemikiran tadi dan berjuang menyebarkannya ke masyarakat demi dihalalkannya perzinaan, dan demi selamatnya para pezina dari hukum Allah yang dia namakan sebagai kriminalisasi. Maka dia berdusta jika berkata: “Itu bukan pendapat saya”. Apakah dia berani bersumpah atas nama Allah bahwasanya dia secara tertulis dan disebarkan di media masa memang menentang pemikiran si Muhammad Syahrur tadi, dan dia bertobat dari pendakwahan pemikiran itu, dan dia bertobat dari usaha menghalalkan apa yang ia namakan sebagai “Hubungan Seksual Non-Marital”? Dan apakah dia berani mengumumkan tobat dari menamakan hukum rajam sebagai kriminalisasi?
Kesembilan:
Penyiaran wawancara dengan wartawan itu tertulis: Rabu (4/9/2019). Dan tidak ada penentangan dari dirinya terhadap penyebaran wawancara itu. Berarti sampai tanggal penyiaran itu dia belum bertobat dari menentang perkara yang hukumnya telah diketahui secara sangat pasti di dalam agama Islam.
Baca Juga Artikel:
Manhaj Salaf Sebagai Hujjah Yang Wajib Diikuti Oleh Kaum Muslimin
Bersambung……
Referensi:
Raudhatuth Thalibin Wa Umdatul Muftin, Karya:
Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim , Karya Imam Nawawi
Penyusun:
Ustadz Ahmad Tri Aminuddin Abu Abdillah
Leave a Reply