Untukmu Wahai Pemuda – Segala puji bagi Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya, Mahasuci Allah, Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang di langit, dan dijadikan padanya penerang dan bulan yang bercahaya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, mengajak pada kebenaran dengan izin-Nya, dan cahaya penerang bagi umatnya.
Ya Allah, curahkan shalawat dan salam baginya dan keluarganya, para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin dan siapa saja yang berjalan sesuai dengan sunnah beliau hingga hari kiamat. Amin..
Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Baik buruknya sebuah generasi dilihat karena pemudanya, jika pemuda sebuah kaum baik maka akan baik sebuah kaum tersebut dan apabila sebuah kaum buruk para pemudanya maka akan buruk kaum tersebut. Pemuda memiliki peranan penting dalam islam sehingga disebutkan secara khusus keutamaan para pemuda didalam banyak dalil. Wahai para pemuda langkah apa yang akan anda ambil? Langkah baik ataukah langkah buruk? Langkah baik yang menjadikan anda utama ataukah langkah buruk yang menyebabkan engkau sengsara dan binasa?
Yuk ikuti langkah mana yang ingin anda tempuh? Simak pembahasan berikut:
Sikap Berlebihan dan Pertengahan
Kita tahu bahwa Allah menyebut agama ini sebagai agama yang mudah, murah hati dan rahmat bagi seluruh alam, dan menyebut umat ini sebagai umat pertengahan atau umat yang terbaik. Agama Islam ini adalah kebenaran di antara dua kesesatan, dan cahaya di antara dua kegelapan.
Islam mengingatkan umatnya untuk tidak mengikuti dua umat; yaitu Yahudi dan Nasrani, karena Nasrani sesat sementara Yahudi di murkai, karena Yahudi tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, sehingga mereka mendapat murka, sementara Nasrani menyembah Allah atas dasar kebodohan dan kesesatan, yang akhirnya mereka pun tersesat.
Seperti yang sudah disampaikan, Islam menyandang sifat sebagai agama yang mudah, umatnya menyandang sifat sebagai pertengahan, adil dan terbaik. Sikap berlebihan dalam agama jauh dari kemudahan dan sifat terbaik, karena sikap ini berseberangan dengan prinsip kemudahan dan sifat terbaik, karena segala urusan tidak terlepas dari tiga hal; dua ujung dan satu pertengahan.
Salah satu di antara dua ujung yang satunya lagi adalah sikap menggangap sepele. Sikap pertengahan yang bukan merupakan sikap berlebihan atau pun sikap menggangap sepele adalah asas agama ini, sikap pertengahan dalam semua urusan. Itulah mengapa Allah dengan keras mengingatkan hamba-hamba-Nya dari sikap berlebihan dan memaksakan diri.
Allah menyebutkan Nabi Muhammad bukan termasuk orang-orang yang memaksakan diri. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
قُلْ مَآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآ أَنَا مِنَ الْـمُتَكَلِّفِيـنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta imbalan sedikit pun kepada kalian atasnya (dakwahku); dan aku bukanlah termasuk orang yang mengada-ada.” [1]
Allah juga menyebut beliau sebagai teladan dan contoh bagi umatnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّـمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَومَ الْأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيـرًا
Artinya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [2]
Nabi bersikap adil dalam segala urusan; baik dalam ibadah, hubungan beliau dengan Rabb-nya, hubungan beliau dengan keluarga dan juga sesama manusia. Seperti yang disebutkan oleh Allah, beliau adalah sosok penuh kasih dan menyayangi umat. Beliau bukan sosok yang keras dan kasar. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَلَوْ كُنتُ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَولِكَ
Artinya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [3]
Sikap keras dan kasar mungkin disebabkan oleh kebodohan, sikap berlebihan dan memaksakan diri dalam agama Allah.
wahai pemuda, Islam mengingatkan umatnya dari sikap berlebihan, karena islam memandang adanya dampak-dampak buruk yang ditimbulkan oleh sifat seperti ini bagi individu, kelompok, maupun umat islam secara keseluruhan. Selain itu, Islam juga memandang sikap menganggap enteng dan tidak peduli akan menimbulkan dampak-dampak serupa. Karena itulah asas Islam adalah sikap pertengahan dan adil, jauh dari sikap berlebihan dan memaksakan diri.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُـخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [4]
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّـنَ لَهُ الْـهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْـرَ سَبِيلِ الْـمُؤْمِنِيـنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيـرًا
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [5]
Sikap berlebihan jelas menjauhi jalan orang-orang mukmin di mana di atas jalan itulah Nabi mendidik para Shabahat, mengingatkan mereka untuk tidak menyalahi jalan itu dengan menempuh jalan berlebihan dan memaksakan diri.
Suatu ketika tiga orang datang, mereka menayakan amalan nabi seakan mereka menanyakan amalan nabi seakan mereka menganggap bahwa amalan nabi tidak seberapa dan hanya sedikit. Seseorang diantara mereka berkata: “aku tidak akan makan daging.” Yang berikutnya berkata, “Aku tidak akan menikahi wanita.” Yang lainnya berkata, ”Aku akan terus berpuasa dan tidak akan pernah berbuka.” Yang terakhir berkata, “Aku selalu sholat malam dan tidak akan pernah tidur.” Rasulullah mendengar ucapan ini, lalu beliau naik keatas mimbar dan menyampaikan:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا، لَكِنِّـي أُصَلِّـي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِـيْ فَلَيسَ مِنِّـي
Artinya: “Ada apa dengan kaum yang mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku sholat malam dan aku juga tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku.” [6]
Nabi menjelaskan bahwa agama ini kokoh, tidak ada seorangpun mampu melakukan segala yang ada didalam agama ini.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِيْـنٌ فَأَوْغِلُوا فِيهِ بِرِفْقٍ، فَإِنَّ الْـمُنْبَتَّ لَا أَرْضًا قَطَعَ وَلَا ظَهْرًا أَبْقَى
Artinya: “Sesunguhnya agama ini kokoh, maka masuklah, kedalamnya dengan lemah lembut, karena tunggangan yang sudah letih tidak bisa menempuh perjalanan dan tidak bisa ditunggangi lagi.” [7]
Prinsip sikap berlebihan ini berlaku dalam masala-masalah aqidah, ibadah dan juga dalam masalah prilaku.
Wahai pemuda, Dalam hal ibadah, kita lihat seseorang berdiri di hadapan Nabi lalu berkata: “Berlaku adillah wahai Muhammad!” maksudnya dalam pembagian harta rampasan perang. Lalu Nabi Muhammad menjawab, “Siapa lagi yang akan berlaku adil jika aku tidak adil?!” Setelah itu beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
يَـخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَومٌ تَـحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِـهِمْ، وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ، وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ، وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُـجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَـمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَـمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
Artinya: “Akan muncul suatu kaum dari keturun orang ini, kalian menganggap shalat kalian tidak ada apa-apanya (jika dibanding dengan) shalat mereka, kalian menganggap puasa kalian tidak ada apa-apanya (jika dibanding dengan) puasa mereka, mereka membaca al Qur’an tidak sampai melewati tenggorokan, mereka terlepas dari agama seperti anak panah terlepas dari busurnya.” [8]
Riwayat lain menyebutkan, “Rahib di malam hari dan pahlawan di siang hari.”
Terjadilah apa yang diberitakan Nabi ini, karena muncul kelompok yang menyimpang dari ‘aqidah, memaksakan diri, dan mengkafirkan kaum muslimin yang berbuat maksiat dan yang melakukan kesalahan.
Saat ini ada orang-orang yang mirip dengan mereka ini dan miniti jejak mereka; mereka menganggap kesalahan dan dosa-dosa besar yang dilakukan oleh kaum muslimin telah mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Berdasarkan keyakinan ini mereka menghalalkan darah kaum muslimin dan membunuh kaum muslimin dengan kejam dan kasar.
Kebalikan dari kelompok ini, ada kelompok lain yang berkeyakinan bahwa kemaksiatan tidak membahayakan keimanan. Mereka menyatakan bahwa selama ia seorang mukmin maka kemaksiatan tidak berbahaya baginya. Keyakinan ini pun keliru.
Sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal ini mereka bersikap pertengahan, mereka tidak mengkafirkan pelaku kemaksiatan, dan tidak menganggap keimanan mereka seperti keimanan Abu Bakr, ‘Umar dan para wali shalih di antara umat ini. Yang mereka nyatakan bahwa siapa yang melakukan kemaksiatan, kami tidak memvonisnya kafir, tetapi ia durhaka, ia mukmin karena imannya dan fasik karena dosa besarnya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga tidak menyatakan seperti apa yang mereka nyatakan bahwa kemaksiatan seperti apa pun bentuknya tidak membahayakan keimanan. Ahlus Sunnah mengingkari keyakinan ini dan juga pandangan sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa pelaku kemaksiatan adalah orang mukmin karena keimanannya, dan fasik karena dosa besar yang ia lakukan.
Dalam hal ibadah, kita juga mendapati orang yang memaksakan diri dan menyimpang, membebankan sesuatu pada diri sendiri yang tidak mampu ia lakukan. Demikian pula dalam urusan perilaku, seperti sikap berlebihan kaum Sufi dan selainnya yang melakukan amalan-amalan tertentu. Semua initerjadi disebabkan karena menerapkan suatu dalil dan meninggalkan dalil lainnya. Berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka mengamalkan seluruh dalil, menerapkan semua nash dan menyatukan antara nash-nash yang ada, sehingga mereka bersikap adil dan pertengahan. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Bersambung . . .
SUMBER:
Risalah Muhimmah Lisy Syabab, Karya Dr. Shalih bin Ghanim as Sadlan
Asy Syabab Wal Faraagh, Karya Syaikh al ‘Allamah ‘Abdulah bin ‘Abdirrahman al Jibrin
Ilasy Syabab, Karya Abu ‘Abdirahman ‘Ali bin ‘Abdil ‘Aziz Musa
Diringkas oleh : Fadwa Ummu Ashfa Fadiyah (Staf Pengajar di Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
[1] Q.S Shaad: 86
[2] Q.S Al Ahzab: 21
[3] Q.S Ali Imran: 159
[4] Q.S An-Nuur: 163
[5] Q.S An Nisa: 115
[6] Hadits riwayat Bukhari No. 5063, 2601, 6101, Muslim No. 1401, An Nasa’i No. 2371 Musnad Imam Ahmad (II/285)
[7] Lihat shahih al Jami’ 2242
[8] Hadits riwayat Bukhari No. 4299, Ahmad No. 10585
BACA JUGA :
Leave a Reply