Segera Beramal Sebelum Datang Lima Penghalang – Kehidupan manusia di dunia ini sangatlah singkat. Usia yang sangat singkat tersebut merupakan modal utama untuk menjalankan tugas hidup beribadah dan taat kepada Allah. Beribadah kepada Allah adalah dengan cara melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya yang diterangkan oleh para Nabi dan Rasul-Nya. Umur manusia sangat terbatas. Sementara kewajiban yang harus dia lakukan sangat banyak. Hal ini menuntut setiap orang untuk pandai-pandai memanfaatkan detik-detik usianya dalam rangka menjalankan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan di pundaknya.
Setiap orang harus waspada, jangan sampai umurnya banyak terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak bernilai pahala. Kesuksesan seorang hamba dalam meraih rahmat, ridha, dan ampunan Allah sangat tergantung kepada kepandaiannya dalam mengefektifkan mengoptimalkan usianya. Semakin pandai dan rajin dia menggunakan usianya dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan-larangan Allah, semakin besar pula harapannya untuk meraih rahmat, ridha, dan Allah. Sebaliknya, semakin banyak waktunya terbuang untuk hal-hal mubah yang melalaikan, terlebih bila dimanfaatkan untuk hal-hal yang dimakruhkan dan diharamkan, maka semakin nampak pula bahwa dia termasuk golongan yang terhalang dari mendapatkan rahmat, ridha, dan ampunan Allah.
Kesempatan, waktu luang, kekayaan, masa muda dan kesehatan adalah modal pokok untuk beramal. Bila pada saat lapang seperti itu seorang hamba tidak giat melaksanakan ketaatan, maka pada saat menghadapi kesempitan, kesibukan, kemiskinan, usia tua dan masa sakit, kecil kemungkinannya dia akan bisa memanfaatkannya untuk amal-amal ketaatan. Oleh karenanya, Rasulullah mengingatkan umatnya untuk memaksimalkan kesempatan untuk beramal ini, sebelum datang halangan-halangan yang membuatnya sulit dan berat untuk beramal. Dalam hadits yang shahih dijelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ مَغْبُونُ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Ada dua kenikmatan yang seringkali mayoritas manusia tertipu dan merugi di dalamnya, yaitu kesehatan dan kesempatan luang).[1]
Imam Ibnu Al Jauzi Rahimahullah berkata: “Terkadang seorang menusia dalam keadaan sehat, namun tidak mempunyai waktu luang (untuk beramal shalih), karena kesibukannya dalam mencari mata pencaharian. Sebaliknya, terkadang dia mempunyai harta yang cukup, namun tidak berada dalam keadaan sehat. Jika kedua kenikmatan ini terkumpul pada dirinya, namun rasa malas menguasai dirinya sehingga dia tidak berbuat ketaatan, maka jelaslah bahwa dia adalah orang yang tertipu. Sesungguhnya dunia adalah ladang tempat bercocok tanam untuk akhirat. Di dunia ada perdagangan yang labanya akan nampak kelak di akhirat. Barangsiapa mempergunakan kesehatan dan waktu luangnya dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang beruntung dan layak untuk kita iri hati kepadanya. Sebaliknya, siapa yang mempergunakan kedua nikmat ini untuk bermaksiat, maka dia adalah orang yang tertipu dan merugi. Karena setelah waktu luang berlalu, akan segera datang waktu sibuk. Setelah waktu sehat berlalu, akan segera disusul oleh waktu sakit. Kalaupun waktu sibuk dan waktu sakit tidak datang, dia pasti akan mengalami masa tua.”
Imam Husain bin Muhammad Ath-Thibi (wafat tahun 743 H) menjelaskan bahwa dalam hadits ini Nabi membuat permisalan seorang mukalaf sebagai seorang yang berdagang. Seorang pedagang pasti mempunyai modal. Dia harus mempergunakan modalnya dengan hati-hati dan cermat agar bisa meraih laba dan terhindar dari kebangkrutan. Dia tidak akan berjual beli secara ceroboh dengan sembarang orang. Demikian pula halnya dengan seorang mukalaf. Dia mempunyai modal, yaitu kesehatan dan waktu luang. Dia harus berhati-hati dalam berdagang, agar labanya tetap utuh dan lebih dari itu meraih laba. Dia harus berjualan dengan Allah, dengan menjual keimanan dan amal-amal ketaatan. Dia tidak boleh berjual beli dengan setan dan hawa nafsu, karena keduanya adalah penipu ulung. Bila hal ini dia laksanakan dengan cermat dan waspada, niscaya dia akan bisa meraih laba di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini ditegaskan ‘mayoritas manusia tertipu dan merugi di dalamnya’, yang berarti manusia yang gagal memanfaatkan masa sehat dan waktu luangnya dalam rangka ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jauh lebih banyak dari manusia yang berhasil memanfaatkannya secara benar.
Lafazh ini semakna dengan firman Allah,
… وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Artinya: Amat sedikitlah hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur...[2]
Dalam hadits-hadits yang lain disebutkan beberapa kesempatan yang harus dimaksimalkan agar tidak menjadi manusia yang merugi. Kesempatan tersebut adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: اِغْتَنِمُ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ
شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قبل فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوتِكَ.
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda saat menasihati seorang sahabat, “Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima halangan; waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan waktu hidupmu sebelum datang waktu matimu.”[3]
Salah satu faktor yang membuat sahabat dan tabi’in mampu mencapai keutamaan dan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat adalah kesungguhan mereka dalam memanfaatkan setiap detik usia mereka dalam rangka ibadah kepada Allah. Mereka tidak membiarkan waktu mereka berlalu begitu saja tanpa ada ketaatan yang dilaksanakan, atau kemaksiatan yang dijauhi. Tentang hal ini, sahabat Ghunaim bin Qais menuturkan: “Pada masa awal Islam (masa hidup Rasulullah), seringkali kami satu sama lain saling mengingatkan untuk menetapi empat perkara; rajin beramal di masa muda untuk menghadapi masa tua, rajin beramal di masa senggang untuk menghadapi masa sibuk, rajin beramal di masa sehat untuk menghadapi masa sakit, dan rajin beramal di masa hidup untuk menghadapi masa setelah mati.” Imam Hasan Al-Bashri mengisahkan besarnya perhatian generasi sahabat terhadap pemanfaatan waktu dan sisa-sisa usia secara maksimal untuk beribadah, dengan mengatakan: “Saya telah bertemu dengan beberapa kaum (generasi sahabat), yang salah seorang di antara mereka lebih kikir kepada usianya daripada kekikirannya kepada dirham dan dinar”
Seorang penyair mengatakan:
Kita berjalan menuju ajal, dalam setiap kesempatan
Hari-hari kita dilipat, itulah fase perjalanan
Tak pernah kulihat hal seperti kematian, ia benar adanya
Bila angan-angan telah menguasai, kematian seolah tiada
Alangkah buruknya kelalaian di waktu muda
Bagaimana, sedang kini uban memenuhi kepala
Tinggalkan dunia dengan bekal takwa
Usiamu hanyalah hari-hari yang tak seberapa
Kesimpulannya, seorang hamba mempunyai lima bekal yang harus dipergunakan sebaik mungkin dalam rangka mencari bekal yang terbaik untuk menghadap Allah kelak. Kelima bekal tersebut adalah masa sehat, usia muda, kaya, waktu luang, dan masa hidup. Kelima bekal ini harus dimaksimalkan dalam rangka menumbuhkan, menyuburkan, dan meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan amal shalih sebagai bekal untuk memasuki alam akhirat.
Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Artinya:“Persiapkanlah bekal, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.[4]
Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ واتَّقُوا الله إنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.[5]
Rasulullah juga menekankan pentingnya beramal di setiap waktu dan keadaan secara kontinu dan berkesinambungan Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
Artinya: “…Oleh karenanya hendaklah kalian berusaha untuk senantiasa tepat (benar dalam beramal). Apabila tidak bisa, berusahalah untuk mendekati ketepatan. Berusahalah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu malam. Bersikaplah pertengahan (tidak terlalu berlebihan dan tidak terlalu meremehkan)! Bersikaplah pertengahan, niscaya kalian akan sampai kepada tujuan.”[6]
Semua orang pasti meyakini bahwa setiap jiwa yang bernafas pasti akan mengalami kematian. Namun kesibukan sehari-hari seringkali membuat terlena dan lupa bahwa besok atau lusa akan dipanggil oleh Allah. Sampai tiba suatu saat dimana malaikat maut datang menjemput, maka pupuslah semua kelezatan dunia beralih menuju kehidupan abadi di sisi-Nya. Orang beriman seharusnya tidak takut menghadapi kematian, karena ia merupakan sebuah keniscayaan. Yang harus ditakuti adalah cukupkah amal kita menghantarkan kepada kebahagiaan di akhirat? Abu Bakar pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Berapa kali Anda mengingat kematian dalam sehari?” Dia menjawab, “Saya selalu mengingat mati selama mata saya terjaga.”
Hidup di dunia ini hanya sementara dan nikmat yang diberikan Allah masih sedikit. Dari seratus rahmat-Nya, hanya satu rahmat saja yang diberikan di dunia, itupun untuk dinikmati seluruh penghuninya. Orang yang cerdas adalah mereka yang mengarahkan hawa nafsu dan beramal untuk mempersiapkan kematian. Sementara orang yang bodoh, mereka yang diperbudak oleh hawa nafsu namun berangan-angan mendapatkan pahala. Dia mati-matian mengejar dunia siang dan malam dengan melupakan kehidupan akhirat. Nabi pernah ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling cerdas?” Beliau menjawab, “Mereka yang sering mengingat mati dan (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat.” Salah seorang ulama mengatakan, “Barangsiapa masuk liang kubur tanpa membawa amal, maka seolah-olah dia mengarungi lautan tanpa perahu. Dia pasti akan tenggelam meski tidak ada badai.”. Mengingat kematian harus menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kehidupan yang dijalani. Tidak sekedar mengingat, namun diikuti dengan amalan yang terus menerus dan sungguh-sungguh. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang Allah beri taufiq untuk senantiasa beruntung dalam hal kebaikan dunia dan akhirat.
Referensi:
Abu Fatiah Al Adnanaii. 2016. Misteri Alam Barzakh. Surakarta: Granada
Diringkas oleh:
Shofwah Ummu Zubair (Pengajar Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)
[1] HR. Bukhari no. 5933 dan At-Tirmidzi no. 2226
[2] As- Saba’ [34]: 13
[3] HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At- wa At-Tarhib no. 3355 dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1077.
[4] Al-Baqarah [2]: 197
[5] Al-Hasyr [59]: 18
[6] HR. Bukhari no. 5982
BACA JUGA :
Leave a Reply