Pintu-pintu dosa dan maksiat, kebanyakan maksiat masuk kedalam diri seorang hamba melalui empat pintu, sebagaimana telah disebutkan.
Bahasan berikut ini akan memberikan uraian yang cukup tentang pintu-pintu dosa dan maksiat tersebut.
Pertama: Pandangan
Pandangan merupakan pemandu dan utusan syahwat. Menjaga pandangan merupakan tindakan utama dalam menjaga kemaluan. Barangsiapa mengumbar pandangannya, maka dia telah menggiring dirinya kepada kebinasaan.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا تُتْبِعِ النظرةَ النظرةَ، فإن لك الأولى، وليست لك الآخرة
“Janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan berikutnya. Sebab, hanya pandangan pertama saja yang dibolehkan bagimu tidak untuk pandangan setelahnya.” (HR. Abu Dawud)
Pandangan merupakan pangkal dari segala bencana yang menimpa manusia. Sebab, pandangan akan melahirkan getaran hati, diikuti dengan angan-angan yang membangkitkan syahwat dan keinginan yang semakin menguat dan akhirnya menjadi kebulatan tekad, hingga terjadilah perbuatan itu secara pasti, selama tidak ada penghalang yang menghalanginya. Dalam hal ini ada yang berkata:” kesabaran dalam menundukan pandangan masih lebih ringan dari pada kesabaran dalam menanggung beban akibatnya”
Diantara bencana yang ditimbulkan pandangan adalah penyesalan, malapetaka dan sakit hati. Tatakala seorang hamba melihat sesuatu yang ia tidak mampu meraihnya, juga tidak mampu bersabar atas perkara atasnya, sesungguhnya hal ini merupakan salah satu bentuk siksaan yang paling pedih. Yaitu, penderitaan yang menerpa manakala kamu melihat perkara yang kamu tidak mampu bersabar atas perkara tersebut, tidak juga atas sebagiannya, bahkan kamu tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk meraihnya.
Berapa banyak orang yang mengumbar pandangannya dan tidak menghentiakn perbuatan ini terbunuh oleh pandangannya sendiri.
Bisikkan Jiwa Merupakan Salah Satu Pintu Kemaksiatan
Kedua: Bisikan jiwa
Adapun bisikan jiwa, permasalahannya lebih rumit karena ia merupakan pintu(pembuka) kebaikan dan keburukan. Bisiakn jiwa akan melahirkan keinginan dan tekad. Oleh sebab itu, siapa yang menjaga bisikan jiwanya niscaya mampu mgendalika diri dan mengekang hawa nafsunya. Sebaliknya, siapa yang dikalahkan oleh bisikan jiwanya pasti akan tunduk kepada jiwa dan hawa nafsunya.
Bahkan, barangsiapa yang meremehkan bisikan jiwanya maka bisikan tersebut akan menggiringnya secara paksa menuju kebinasaan. Sungguh, bisikan akan senantiasa mendatangi hati sehingga menjadi angan-angan semu.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
…. كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“… seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu di datangi tidak ada apapun. Dan di dapatinya (ketetapan Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan 9amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya”(QS. An-Nur:39)
Manusia yang paling rendah tekad dan jiwanya adalah orang yang lebih meridhai angan-angan semu dibandingkan kenyataan. Ia mengambil angan-nagan semu tersebut dan menjadikannya hiasan. Padahal, demi Allah, itu adalah modal orang-orang yang bangkrut, dan pengangguran, dan santapan bagi jiwa yang kosong; yaitu mereka yang merasa cukup dengan khayalan belaka dari pada kenyataan.
Angan-angan semu adala perkara yang paling membahayakan. Ia terlahir dari kelemahan dan kemalasan, lalu melahirkan penyesalan. Ketika orang yang berangan-angan tidak dapat menerima kenyataan yang dihadapinya, dia pun memindahkan gambarannya kedalam hati, dan memegangnya erat-erat. Ia merasa puas dengan gambaran kosong hasil khayalan yang diciptakan bisikan jiwanya.
Sikap seperti itu sama sekali tidak berguna untuknya. Ia seperti orang lapar dan haus yang membayangkan adanya makanan dan minuman , padahal dia sendiri tidak makan dan tidak minum.
Perbuatan tersebut menunjukkan kerendahan dan kelemahanjiwa. Sesungguhnya kemuliaan, kesucian, kebersihan, dan ketinggian jiwa didapat dengan menghilangkan setiap bisikan jiwa yang tidak ada hakikatnya. Dan melarang bisikan itu melintas dalam pikirannya, sekaligus membencinya.
Selanjutnya, bisikan jiwa selalu berkisar antara empat pokok:
- Mendapatkan kemaslahatan dunia.
- Menolak bahaya di dunia.
- Mendapatkan kemaslahatan akhirat.
- Menolok bahaya di akhirat.
Hendaklah seorang hamba mengarahkan bisikan, pikiran dan keinginannya hanya untuk empat perkara diatas. Mana saja yang bisa dicapai di pegang, jangan sampaiterabaikan. Jika terdapat benturan antara satu dengan yang lainnya, yang disebabkan perbedaan keutamaan, maka didahulukan perkara yang paling penting, yang di khawatirkan hilang, serta menunda selainnya.
Sekarang, tinggal dua bagian terakhir yang belum disebutkan:
- Perkara yang penting, tetapi tidak dikhawatirkan hilang.
- Perkara yang tidak penting, tetapi dikhawatirkan hilang.
Kedua perkara tadi mengandung hal-hal yang perlu diutamakan, namun dalam hal ini terjadi keraguan dan kebimbangan. Jika seseorang menahulukan perkara yang penting, maka dikhawatirkan ia akan kehilangan perkara yang tidak terlalu penting. Sebaliknya, jika dia mendahulukan oerkara yang tidak terlalu penting, maka dia terlewatkan dari melakukan perkara yang penting. Hali ini disebabkan dua perkara tersebut tidak mungkin di gabungkan. Tidak mungkin seoang mendapatkan
Dalam keadaan seperti ini dibutuhkan pemikiran, pemahaman, dan pengetahuan. Atas dasar itu pula, diketahui orang-orang yang mendapatkan ketinggian, keberhasilan, dan kegagalan. Namun, sayangnya masih banyak orang yang memiliki akal dan pengetahuan yang baik masih mendahulukan perkara yang tidak penting dan tidak di khawatirkan hilang di bandingkan perkara penting yang dikhawatirkan hilang. Tidak akan kamu dapati seorang pun yang selamat dari kekeliruan ini. Hanya saja, ada yang sering melakukannya dan ada pula yang jarang.
Bisikan dan pikiran orang yang berakal tidak akan keluar dari semua ini. Oleh karena itu, datanglah syariat yang membantunya. Sungguh, tidaklah maslahat dunia dan akhirat itu tegak, melainkan di atas perkara tadi.
Pikiran yang paling mulia dan paling bermanfaat adalah yang ditunjukkan untuk Allah dan negeri akhirat. Pikiran yang ditunjukan untuk Allah terdiri dari berbagai macam:
Pertama: Merenungi ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan-Nya, serta memahami maksud-Nya, dan mengamalkannya yang karenanya Allah menurunkan ayat-ayat tersebut, tidak sekedar membacanya, sebab membacanya hanya sebagai sarana. Sebagian salaf berkata:” Allah menurunkan al-Qur’an untuk di amalkan , tetapi orang-orang malah menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai bentuk pengamalan.
Kedua: Memikirkan ayat-ayat kauniyyah berupa alam semesta, mengambil pelajaran darinya, serta menjadikannya sebagai hujjah untuk nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, hikmah-Nya, kebaikkan-Nya, kedermawanan-Nya. Allah telah menganjurkan para hamba-Nya untuk memikirkan, merenungkan, dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, serta mencela orang-orang yang lalai dari hal tersebut.
Ketiga: Memikirkan karunia-Nya, kebaikkan-Nya, nikmat-Nya, berbagai macam kepada para mahluk-Nya, keluasan rahmat-Nya, ampunan-Nya, serta kesabaran-Nya.
Ketiga bentuk ini melahirkan pengetahuan, cinta, rasa takut, dan harap kepada Allah. Senantiasa memikirkannya dengan diiringi dzikir akan memenuhi hati dengan cinta dan pengetahuan.
Keempat: Memikirkan aib dan kerusakan yang terdapat pada diri sendiri serta pada perbuatan. Manfaat intropeksi diri sangat besar, sekaligus merupakan pintu setiap kebaikan. Dampaknya: Menghancurkan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Jika jiwa tersebut hancur, maka ia akan dikuasai an-nafs al mutmainnah (jiwa yang tenteram). Dengan dimikian, hiduplah hati dan titahnya pun terlaksana di kerajaannya. Hatipun berkuasa mengutus pasukan dan bawahannya untuk mewujudkan kemaslahatan.
Kelima: Memikirkan pentingnya waktu dan penggunaanya, yaitu mencatat seluruh kegiatan dan menyelesaikan waktunya. Orang yang bijaksana adalah yang bisa memanfaatkan waktu. Jika ia menyia-nyiakan waktu, niscaya hilangnya seluruh kemaslahatannya. Sebab, seluruh kemaslahatan terlahir dari waktu, yang tidak akan pernah dijumpai lagi jika telah disia-siakan.
Setan membuat mereka menyangka bahwa kesempurnaan mereka terletak pada kekosongan dan pengasingan. Sungguh, pendapat ini jauh sekali dari kebenaran. Kesempurnaan yang sebenarnya adalah penuhnya hati dengan ajakan dan keinginan untuk mendapatkan keridhaan Allah, dengan berbuat baik kepada umat manusia, berikut memikirkan sarana-sarana untuk merealisasikannya. Manusia yang paling sempurna adalah yang paling banyak pikiran dan kehendaknya dalam perkara ini. Sebagaimana manusia yang paling kurang adalah yang paling banyak pikiran dan kehendaknya dalam merealisasikan kepentingan pribadi serta hawa nafsunya, dimanapun dia berada. Wallahul Musta’an.
Inilah Umar bin Al-Khattab Radiallahu ‘anhu seorang sahabat besar yang keinginan-keinginan untuk mendapat keridaan Allah ta’ala saling bertumpang tindih, sehingga kadang terbawa dalam sholatnya. Beliau pernah menyiapkan pasukan perang dalam kondisi sholat. Beliau menggabungkan antara jihad dan shalat. Ini termasuk bab masuknya berbagai macam ibadah ke adalam satu ibadah.
Bab tersebut adalah bab yang mulia. Tidak ada yang mampu memahaminya, melainkan orang berhati pandai, berilmu luas, serta bercita-cita tinggi. Ketika hamba Allah masuk ke dalam satu ibadah, dia juga sekaligus melaksankan berbagai macam ibadah lainnya. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang di kehendaki-Nya.
REFERENSI:
Dari kitab Ad-Da’ wad-Dawa’ Karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah,
Penerjemah: Adni Kurniawan, Lc.
Penerbit: Pustaka Imam Syafii.
Diringkas oleh Nurul Latifah
Baca juga artikel berikut
Leave a Reply