Pengaruh Iman Dalam Kehidupan Pribadi Dan Jamaah – Manusia adalah jasad dan ruh. Di dalamnya terdapat berbagai gharizah (insting) alami berupa kebutuhan-kebutuhan jasmani. Ia juga memiliki berbagai keinginan (raghbah) dan naluri berupa kebutuhan-kebutuhan ruhani. Seandainya berbagai keinginannya itu dibiarkan tanpa kendali, niscaya akan mengakibatkan kekacauan dan keributan serta membantu tersebarnya kerusakan di muka bumi, sebagai akibat dari perbenturan antar berbagai keinginan, serta adanya persaingan umat manusia dalam merealisasikannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan manusia dari seluruh jenis hewan dengan akal, dan menyinarinya dengan fitrah, serta menyempurnakannya dengan kenabian. Manusia secara naluriah adalah makhluk berbudaya. Karena itu setiap individu, pandangan dan perasaannya terhadap masyarakatnya haruslah konstruktif, sebagaimana ia mengambil maka ia harus memberi. Seperti halnya orang lain membantu kebutuhannya, maka ia pun harus ikut andil dalam memenuhi hajat orang lain. Akan tetapi sikap egois atau perbedaan pemahaman dan potensi beramal sering membuat sebagian manusia menjauhi kebenaran; entah itu karena malas, salah tindakan atau karena unsur penipuan, dan dia menempuh berbagai cara guna memenuhi keinginan dan gharizahnya.
Berbagai kejahatan dirancang secara terselubung dan disiap kan dalam kegelapan, jauh dari jangkauan mata-mata yang dapat mengawasi, dan jauh dari keadilan seandainya hal itu direalisasi kan di tengah-tengah manusia. Dan tidak mungkin bisa mengendalikan segi-segi ini karena biasanya tidak nampak bagi masyarakat, dan tidak mungkin bisa mengendalikan serta mengaturnya- kecuali kekuatan dari dalam diri dan pengawasan yang melekat. Dan hal itu tidak lain adalah agama dan cahaya iman yang menjadikan setiap individu merasa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahatahu senantiasa mengawasi gerak-geriknya. Ia merasa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tampak bagi-Nya seluruh apa yang ada di langit dan di bumi- akan membalas semua orang atas amal-amalnya. Maka datanglah ajaran samawi untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dengan sangat memperhatikan ruh dan jasad secara seimbang. Ia menggariskan suatu jalan yang harus dilalui untuk mewujudkan keinginan dan gharizahnya.
Maka Islam mengharamkan selibat (tidak menikah selamanya) dan kerahiban (kependetaan). la memerintahkan untuk menikmati rizki halal lagi baik, serta mengharamkan khabaits (yang kotor dan menjijikkan). Ia memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dengan memurnikan keikhlasan untuk-Nya dan melarang kekufuran, kefasikan serta kemaksiatan dalam banyak ayat al-Qur’an.
Nabi Muhammad berlepas diri dari orang-orang yang ingin menambah-nambah dalam beribadah, melebihi apa yang dibawa oleh baginda Rasul, tanpa mengindahkan hak-hak tubuh mereka. Anas bin malik menceritakan bahwa ada tiga orang laki-laki datang ke rumah para istri Nabi untuk menanyakan ibadah Rasulillah. Maka takkal mereka diberitahu tentang ibadah beliau, mereka menganggapnya sedikit (tidak seberapa/biasa-biasa saja) dan mengatakan.
“Apalah kita kalau dibandingkan dengan Nabi beliau telah di ampuni dosanya yang telah lalu dan yang kemudian?!” Salah seorang dari mereka berkata, “Kalau saya, maka akan shalat malam selamanya.” Yang lain mengatakan, “Saya akan puasa dahr (sepanjang tahun) selamanya, tidak berbuka. Yang lain lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita, tidak akan menikah selamanya.” Kemudian Rasulullah datang dan bersabda, “Kalian yang mengatakan begini dan begitu?! Ingatlah, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku ini orang yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala diantara kalian dan yang paling takwa, tetapi (sekalipun demikian) aku puasa dan juga berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku mengawini wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunnahku (syariatku), dia bukan termasuk golonganku.” (HR. al-Bukhari 7/2 bab Nikah, lihat Muslim 2/1020).
Dan hadits-hadits senada banyak sekali.
Jadi Islam itu bagaikan bangunan yang permanen, kokoh, kuat dan sempurna. Di dalamnya terdapat segala macam sebab kehidupan ideal, dan segala sarana kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan di dunia dan berujung dengan kebahagiaan di akhirat yang lebih sempurna dan lebih tinggi, yang mana kebahagiaan tersebut bukan balasan sepadan seperti harga dari barang, karena yang terbatas dan dangkal tidaklah menjadi harga bagi sesuatu yang langgeng dan yang tak terbatas. Akan tetapi ia adalah karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rahmat-Nya bagi siapa saja yang benar imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, para rasul-Nya, Hari Kiamat, Hari Akhir, dan takdir-Nya, yang baik maupun yang buruk.
Mengerjakan setiap rukun dari rukun-rukun ini memberikan buah dan hasil yang banyak. Pertama bagi pribadi sang pelaku dan kedua bagi jamaah, dengan syarat mengaitkan setiap rukun dengan yang lain. Karena mendustakan salah satunya berarti mendustakan seluruhnya. Iman yang parsial (sepotong-potong) ini tidak akan memberi kemanfaatan sedikit pun, sebelum mengimani kepada semua rukun.
Manusia diciptakan untuk diuji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاحِ تَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melengkapinya dengan bekal yang memang diperlukan untuk ujian ini. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya berakal, mendengar, melihat, bisa bergerak, juga meletakkan padanya keinginan, kemauan, dan semangat jasmani maupun rohani. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul untuknya guna menjelaskan jalan yang lurus yang harus ia lalui agar dapat mencapai hidup bahagia di dunia dan dapat menghantarkan kepada kenikmatan abadi di akhirat. Para rasul tersebut juga memperingatkan dari jalan-jalan yang menghantarkan kepada siksa neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan hal tersebut,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِزْقِ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz- Dzariyat: 56-58)
Jadi keluar dari ibadah adalah keluar dari jalur dan jalan yang lurus. Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang memenuhi isyarat ikhlas dan ittiba’ (mengikuti Nabi dan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tiba dengan konten uti ajaran-ajaran samawi berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِيَبْلُوَكُمْ أَنَّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Artinya: “Agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Hud: 7)
Ujian adalah percobaan untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya dengan mengikuti perintah setepat-tepatnya dan dengan menjauhi larangan sejauh-jauhnya. Berdasarkan uraian ini maka beriman kepada semua rukun adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagiannya terkait dengan sebagian yang lain. Pengaruh masing-masing rukun iman adalah berarti pengaruh rukun iman yang lain. Karena itu, dalam realisasinya, satu rukun dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Begitu pula pengaruhnya kepada pribadi dan jamaah, tidak dapat dipisahkan. Sebab individu adalah batu pertama bagi terbentuknya bangunan masyarakat. Ajaran-ajaran samawi ditujukan untuk perorangan, karena kebaikan mereka adalah kebaikan jamaah. Adapun buah iman, diantaranya adalah:
- Sesungguhnya iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu adalah kehidupan hati, memasok kekuatan kepadanya untuk menaiki tangga kesempurnaan. Ia adalah pendorong bagi jiwa agar menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, jauh dari kehidupan dan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidup. kan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 122)
- Sesungguhnya iman itu adalah sumber ketenangan dan kedamaian bagi setiap orang, karena ia sejalan dengan fitrah dan seiring dengan tabiatnya. Ia adalah sumber kenyamanan dan kebahagiaan bagi masyarakat, karena ia mengukuhkan ikatan- ikatan masyarakat, mengencangkan tali kekeluargaan dan membersihkan perasaan-perasaan, dan dengan itu semua masyarakat meningkat menggapai kemuliaan (fadhilah). Dan fadhilah itu adalah nikmat kerelaan (ridha) dalam segala hal, dalam kondisi lapang atau sempit, mudah atau sulit serta manis atau pahit, karena beriman kepada qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hikmah-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi-mu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Imam Muslim (4/2295) dengan sanadnya dari Shuhaib meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صبر فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.
Artinya: “Sungguh mengherankan urusan orang Mukmin itu. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu berlaku bagi seorang kecuali bagi seorang Mukmin. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik untuknya.” (HR. Ahmad 4/332-333, 6/15-16).
Maka orang Mukmin yang menjiwai dan merasakan seperti ini akan tenang hatinya, enak badan dan jiwanya. Kehidupan nya penuh dengan kebahagiaan, dinaungi oleh perasaan ridha dan damai, serta merasa tenang atas rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keadilan-Nya, karena Dia adalah tumpuan harapannya, benteng per- lindungannya, permata hatinya dan kenyamanan imannya.
- Sucinya hati dan kejernihan jiwa. Artinya iman itu menyucikan jiwa dari persangkaan-persangkaan, khurafat dan takhayul. Dengan begitu ia akan jernih dan bersih sesuai fitrahnya, keadaannya akan meningkat dengan karamah yang ada padanya. Maka setiap rasa tunduk dan khusyu’ di dalamnya untuk menyatukan arah kepada Penciptanya, Yang memiliki karunia atas dirinya dan atas seluruh makhluk, serta menjamin kepentingan mereka semua. Bilamana ia merasakan pada dirinya keutuhan penciptaan dan terjaminnya rizki, maka sirnalah ikatan-ikatan takhayul, takut dan harapannya dari makhluk lain, baik para pembesar manusia maupun bayangan menakutkan yang diciptakan oleh daya khayal yang disangka ada pada benda-benda langit (planet dan binatang), pepohonan, bebatuan dan sejenisnya, atau kuburan dan ahli kubur yang dikeramatkan. Maka dengan iman itu ia akan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Haq, dan akan berpaling dari yang lainnya. Maka bersatulah manusia dalam ketergantungan (ta’alluq) dan tujuan (hadaf), serta hilanglah dorongan-dorongan untuk bersaing dan berselisih.
Wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.
REFERENSI:
Ditulis oleh : Tim Ahli Ilmu Tauhid
Diringkas oleh : Abdul Hadi Martapian (Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Diambil dari : Kitab Tauhid 2
BACA JUGA :
Leave a Reply