Shalat adalah tiang agama dan merupakan pangkal dari ketaatan. Banyak riwayat masyhur yang menyebutkan tentang keutamaan shalat ini. Sedangkan adab-adab shalat yang di utamakan adalah khusyu’. Diceritakan dari Utsman bin Affan, dari Rasulullah beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Tiaklah tiba waktu shalat fardu kepada seseorang, kemudian dia mengemas wudhunya, kekhusyu’annya, dan ruku’nya, melainkan shalatnya akan menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lalu, selama dia tidak melakukan dosa besar yang demikian it uterus berkelanjutan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa shalat dua rakaat dan dia tidak berbicara kepada dirinya sendiri (khusyu’), maka dia diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Abdullah bin Zubair, jika dia mendirikan shalat , maka dia seperti sebuah pohon yang tegak karna kekhusyu’annya. Ketika dia sujud, burung-burung hinggap di punggungnya, dan dia tidak merasa terganggu dengan hal itu. Dia baru terusik jika ada dinding yang roboh menimpanya. Pada suatu ketika dia shalat di dekat al-Hijr, kemudian selang waktu berlalu, hudzaifah datang memampirinya dan mengambil selendang miliknya. Namun, Abdullah bin Zubair tidak menghiraukannya, dikarenakan kekhusyu’annya dalam shalat.
Berkata Maimun bin Mahran, “Tidak pernah sekalipun aku melihat seorang Muslim bin Yasar menengok ketika dia mendirikan shalat. Suatu ketika ada bangunan masjid yang roboh di dekat pasar, hingga khalayak yang sedang berada di pasar dibuat kaget karenanya. Sementara Muslim bin Yassar tetap berada dalam masjid dan dia tetap tegak dalam shalatnya tanpa menoleh. Biasanya ketika dia datang ke rumah, keluarganya mengacuhkannya. Namun, dia saat akan shalat, keluarganya bercanda dan bersenda gurau.”
Ali bin al-Hasan ketika berwudhu, wajahnya berubah menguning. Ada orang yang bertanya: “Mengapa ini selalu terjadi padamu, wahai Ali,, ketika engkau berwudhu? Ali bin al-Hasan menjawab, “Tahukah kamu, kalau aku hendak mendirikan shalat?”
Yang perlu diketahui adalah bahwa shalat itu mempunyai rukun, baik itu wajib maupun sunnah. Sedangkan intinya meliputi niat, ikhlas, khusyu’, dan menyertakan hati di dalamnya. Shalat adalah rangkaian dzikir, doa, dan amal. Jika hati tidak disertakan , maka tidak ada pengaruh yang dihasilkan dari dzikir dan doa tersebut. Karena ucapan dalam shalat yang tidak dipahami dan dimengerti oleh hati, maka kedudukannya seperti orang yang sedang mabuk. Amal shalat itu pun sia-sia, tidak berbekas pada pelakunya . Sebab jika tujuan berdiri dalam shalat itu adalah untuk mengabdi, sedang tujuan dari ruku’ dan sujud untuk ketaatan dan pengagungan , sementara itu amalan shalat ini tidak menyertakan hati di dalamnya . Maka tujuan itu pun tidak akan dapat dicapai. Karena apabila amalan itu tidak mengenai sasarannya, maka ia ibarat gambar yang tidak mempunyai arti apa-apa.
Dan Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
لن ينال الله لحومها ولا دماءها ولكن يناله التقوى منكم كذلك سخرها لكم ولتكبروا الله على ما هداكم وبشر المحسنين
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kalianlah yang dapat mencapai-Nya. Demikianlah Ia memudahkan binatang-binatang itu bagimu supaya kamu membesarkan nama Allah (bertakbir), karena mendapat nikmat petunjuk-Nya dan berilah kabar gembira (dengan balasan yang sebaik-baiknya) kepada orang yang berbuat kebaikan ”. (QS. Al-Hajj: 37).
Maksud ayat di atas, bahwa yang sampai kepada Allah adalah penguasaan hati bias memudahkan untuk mengikuti perintah yang wajib. Maka dari itu, hati harus disertakan dalam shalat, meskipun ketika lalai, Allah memberikan kelonggaran. Karena awal penyertaan hati dalam shalat akan mempengaruhi kepada waktu-waktu selanjutnya.
Faktor-faktor yang menjadi pendukung shalat itu banyak sekali, di antaranya:
Pertama: Kesertaan hati dalam shalat
Artinya adalah mengosongkan hati dari segala kepentingan yang bias mengganggunya. Faktor pendukungnya adalah kemauan. Apabila muncul kemauan yang hendak mengganggu hati, maka bersegeralah mengembalikan kemauan itu pada hakikat awalnya yaitu shalat. Mengalihkan kemauan ini bias mudah dan bias sulit, tergantung pada kekuatan iman kepada akhirat dan meremehkan dunia.
Kedua: Mengerti arti dari setiap apa yang dibaca dalam shalat
Hal ini merupakan faktor pendukung keikutsertaan hati dalam shalat. Hati bisa ikut serta dalam setiap apa yang dibaca , namun tanpa arti. Untuk mengerti akan arti dari setiap bacaan maka pikiran perlu konsentrasi, yaitu dengan menghilangkan gangguan-gangguan yang terlintas dalam pikiran.
Gangguan dalam hal ini bisa zhahir, bisa juga batin. Untuk gangguan zhahir bisa mempengaruhi indra pendengaran dan indra penglihatan. Sedangkan gangguan batin lebih berat lagi, di mana pikiran disibukkan dengan segala kepentingan dunia sehingga hasratnya mengembara kemana-mana . Pikiran tidak bisa berkonsentrasi pada satu masalah saja, sehingga tidak bisa gangguan itu dihilangkan hanya dengan menundukkan pandangan mata ketika melihat hal-hal yang indah. Segala yang terlintas dalam hati akan selalu mengganggunya.
Pemecahnya adalah, jika masalah itu berupa masalah zhahir, maka dengan memotong segala yang mempengaruhi indra pendengarannya dan indra penglihatannya, yakni berdiri tegak dengan mantap menghadap ke arah kiblat, melihat ke tempat arah sujud, jangan shalat di tempat di mana di tempat itu banyak terpasang gambar-gambar, yang akibatnya bisa mengganggu panca indranya. Nabi pernah shalat di suatu tempat, diaman di situ terdapat gambar bendera, lalu beliau mencabutnya, sambil bersabda: “Itulah yang membuatku lalai dalam shalat” (Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Muslim).
Apabila masalahnya adalah masalah batin, maka pemecahannya adalah dengan memaksa hati dan jiwa untuk mengikuti apa-apa yang sedang di baca dalam shalat serta mengesampingkan masalah-masalah yang lainnya.
Cara seperti ini bisa dilakukan sejak awal memulai shalat, dengan cara menyelesaikan pekerjaan, berusaha mengosongkan hati, memperbaiki jiwa dalam mengingat Hari Kiamat keutamaan berdiri menghadap Allah.
Apabila suatu penyakit sudah kronis (parah), maka tidak ada obat baginya, kecuali obat dengan dosis yang sangat tinggi. Penyakit gangguan shalat akan menarik orang yang sedang salat, sehingga orang tersebut seperti berada dalam medan tarik-menarik, karena kuatnya gangguan itu.
Perumpamaannya seorang yang pergi ke daerah pedalaman, di mana di sana ada pohon besar lagi rindang dan orang tersebut ingin duduk dan beristirahat di bawah pohon tersebut, sebab ingin menenangkan pikirannya. Burung-burung yang berkicau di atas pohon tersebut menjadikan pikirannya tidak tenang, sehingga dia melempar sepotong dahan ke ara burung itu supaya burung itu pergi menjauh darinya. Namun, pikirannya belum kunjung tenang, tiba-tiba burung itu datang kembali, dan mengganggu ketenangannya. Begitulah seterusnya.
Kemudian datang seseorang kepadanya, sambil mengatakan, “Ini adalah hal yang berkelanjutan, karena tidak ada habisnya, jika engkau ingin menyudahinya, maka tebanglah pohon ini!”
Begitu juga dengan pohon-pohon hawa nafsu. Pohon-pohon ini selagi tumbuh tinggi dan banyak cabangnya, maka ia akan menarik pikiran, sebagaimana burung yang hinggap di atas pohon dan lalat yang hinggap di tempat sampah.
REFERENSI:
PENUKILAN DARI KITAB “MINHAJU QASHIDIN MENGGAPAI KEBAHAGIAAN DUNIA DAN AKHIRAT”
OLEH: MUHAMMAD IQBAL (PEGAWAI PONPES DARUL QURAN WAL HADITS)
BACA JUGA:
Leave a Reply