KETIKA HATI KU BERSEDIH

hati

 

KETIKA HATI KU BERSEDIH-Seorang muslim mengimani dengan sepenuh hati bahwa musibah apapun yang menimpanya dalam kehidupan ini, tidak lain karena sudah ada ketentuannya dari Allah Rahimahullah. Maka apapun yang di takdirkan yang menimpanya tidak mungkin meleset darinya, dan apapun yang tidak di takdirkan atasnya tidak mungkin akan mengenainya. Hal ini di karenakan Allah Ta’ala telah mencatat semua yang telah dia takdirkan di alam semesta ini, sebagaimana dia berfirman,

 

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبلِ أَن نَّبرَأَهَا ٓۚإِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِير

 

Artinya:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (LauhulMahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-hadid: 22).

 

Selain itu, diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata, “ Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

ان الله كتب مقادير كل شيء قبل ان يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة

“Sesungguhnya Allah telah mencatat takdir segala sesuatu lima puluh ribu tahun sebelum dia menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

 

Sekalipun orang muslim telah beriman dengan yakin tentang adanya takdir yang baik maupun yang buruk, tetapi dia juga beriman tentang disyari’atkannya melakukan usaha dan ikhtiar, dan bahwa hal tersebut tidak berlawanan dengan tawakal. Karena, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan manusia untuk berusaha mencari rezeki, sebagaimana Dia berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلأَرضِ وَٱبتَغُواْ مِن فَضلِ ٱللَّهِ

Artinya:

“Apabila telah di tunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah.” (QS> Al-jumu’ah: 10)

 

Pada ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman,

 

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلأَرضَ ذَلُولا فَٱمشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيهِ ٱلنُّشُورُ

 

Artinya:

”Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-mulk; 15)

 

Dari sinilah, maka seorang muslim disyari’atkan untuk melakukan upaya-upaya yang dapat membantunya menghindari kesedihan. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya bagaimana mungkin menghindari kesedihan, padahal kesedihan merupakan hal yang sudah menjadi fitrah manusia?

Hal tersebut bisa di jawab:

Memang, kita memaklumi bahwa kehidupan manusia tidak mungkin terlepas dari kesedihan. Karena, kesedihan adalah perkara naluriah, sebagai akibat dari kesulitan hidup yang di hadapi manusia. Jadi, kesedihan tidak akan berhenti, kecuali bila orang-orang beriman telah tinggal dalam surga, yang kemudian mereka mengatakan, “segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya tuhan kami benar-benar maha pengampun lagi maha mensyukuri, yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya, di dalam nya kami telah merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.” (QS. Fathir: 34-35)

 

Akan tetapi, yang di maksud di sini dalam pasal ini kami sekadar menyebutkan upaya-upaya yang dapat membantu seseorang untuk menghindari sumber-sumber kesedihan.

Oleh karena itu, manusia sebenarnya mampu menghindari sumber-sumber kesedihan, maka Allah Ta’ala melarang Nabi Nya menyerah begitu saja kepada kesedihan sebagaimana tercantum di beberapa ayat dalam al-qur’an, di antaranya,

 

 

وَلَا يَحزُنكَ ٱلَّذِينَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلكُفرِ

 

Artinya:

‘’Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir.” (QS. Ali imran: 176)

 

Demikianlah, di samping Allah Ta’ala juga melarang kaum mukminin bersedih hati, karena mereka sebenarnya adalah orang-orang yang derajatnya paling tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلأَعلَونَ إِن كُنتُم مُّؤمِنِينَ

Artinya:

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali imran;136)

 

Demikianlah, karena hati terus-menerus bersedih hati itu akan mendatangkan berbagai macam bahaya, maka bersedih itu dilarang. Selain itu, dengan di larangnya bersedih hati, menandakan bahwa perkara menghidarikesedihan adalah hal yang mampu di lakukan manusia. Andaikan bersedih itu diperbolehkan, tentu Allah Ta’ala tidak akan melarangnya. Karena tidak mungkin ada hal-hal yang mustahil yang dihindari. Jadi, orang muslim harus melawan hal-hal yang tidak di inginkan dan hal-hal yang membahayakan selagi itu bisa dilawan, harus mengurangi bahayanya selagi itu bisa di kurangi, dan harus bersabar terhadap hal-hal yang tidak mungkin dihindari.

 

Sekali lagi bahwa yang dimaksud di sini hanyalah sekadar menyebutkan upaya-upaya yang dapat membantu seseoarang untuk menghindari kesedihan, agar dia berusaha menunaikannya. Sedangkan berhasil atau tidaknya uapaya tersebut, hal tersebut tetap ada di tangan Allah Ta’ala. Manusia hanyalah sebagaimana dikatakan orang dokter bagi dirinya sendiri.

Adapun upaya-upaya lain, diantaranya:

 

  • Memperteguh Hati Ketika di Timpa Kesedihan

            Adalah salah satu rahmat Allah Ta’ala, bahwa masing-masing mahluk Dia beri sarana kemampuan yang dapat membantunya memikul beban, permasalahan, dan hal-hal tidak diinginkan yang menyebabkannya sedih, bila sewaktu-waktu hal tersebut terjadi. Sarana-sarana tersebut antara lain adalah:

 

  1. Mengingat bahwa Hidup ini Diciptakan dengan Tabi’at Duka dan Nestapa.

Duka dan nestapa memang sudah menjadi tabiat dan kezaliman hidup di dunia, siapa pun tidak dapat mengelak dari kenyataannya ini. Dalam hal ini, Allah Ta’ala menyatakan,

 

لَقَد خَلَقنَا ٱلإِنسَٰانَ فِي كَبَدٍ

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-balad: 4)

 

Berdasarkan ayat ini, manusia hidup dalam keadaan selalu mengalami susah payah sesuai takdir yang di tentukan untuknyam sampai dia menghadap Rabbnya. Oleh karena itu, manusia harus memperteguh dirinya dalam menghadapi segala sesuatu. Karena langgengnya sesuatu dalam satu keadaan adalah kemustahilan. Salah seoarang ulama salaf berkata, “Saya melihat kebanyakan manusia berkeluh kesah secara berlebihan ketika di timpa bencana, seolah-olah mereka tidak mengetahui bahwa dunia ini di ciptakan dengan tabiat demikian. Bukan kah tidak ada yang di tunggu orang yang sehat selain sakit, bukan kah tidak ada yang di tunggu orang yang telah dewasa selain masa tua, dan bukan kah tidak ada yang di tunggu oleh apa pun yang ada selain kebinasaan?. Ada pula orang yang lain mengatakan, “Terang seterang matahari, bahwa manusia di dunia ini menjadi sasaran segala musibah dan bulan-bulanan segala peristiwa. Kalaupun jiwanya selamat, dia terkena musibah pada anggota tubuhnya selamat, dia mendapat cobaan dengan hilangnya orang-orang yang di cintainya. Selain itu, kalaupun dia ditakdirkan selamat dari semua itu, tetapi masa tua tetap menunggunya.”

 

Abu faras berkata dalam bait sya’irnya[1],

 

Manusia selalu ada di antara musibah-musibah,

Tiada habis-habisnya, sampai jasadnya di timbun tanah

Dalam kuburnya.

Ada yang tertunda, tetapi tetap bersua binasa pada

Keluarganya. Ada pula yang segera mengalami kebinasaan

Pada dirinya

 

  1. Mengingat bahwa Semua manusia Mengalami Kesedihan.

Ya, hendaklah kita semua mengingat diri kita masing-masing bahwa seluruh Bani Adam yang ada di muka bumi, meskipun berbeda tempat dan derajatnya masing-masing, semuanya di timpa kesedihan dan hal-hal yang diinginkan, sama seperti halnya yang dialami orang lain. Oleh karena itu hendaklah orang yang sedang bersedih hati menghibur dirinya bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang sedang di timpa kesedihan. Itulah kenapa Allah menghibur Nabi-nya dan para sahabatnya ketika mendapat musibah besar yang terjadi pada perang Uhud.

Pada waktu itu, Allah Ta’ala berfirman:

إِن تَكُونُواْ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ يَأۡلَمُونَ كَمَا تَأۡلَمُونَ

Artinya:

“ Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya.” (QS. An-nisa : 104)

 

Sebagian ulama salaf berkata, “Di antara hal-hal yang paling efektif bagi orang yang terkena musibah ialah, hendaklah ia memadamkan api musibahnya dengan embun keteladanan yang di contohkan oleh orang lain yang juga terkena musibah. Selain itu, hendaklah dia menyadari bahwa di setiap desa, kota, di setiap rumah, bahkan dimana saja selalu ada orang yang terkena musibah.”[2]

 

  1. Mengingat bahwa Musibah adalah Takdir

Maksudnya, hiburlah diri Anda bahwa segala sesuatu yang menimpa adalah bagian dari ketetapan dan takdir Allah Ta’ala, yang sedikit pun tidak bisa di tolak, karena telah menjadi ketetapan baginya sebelum dia lahir ke dunia.

Sesungguhnya musibah-musibah yang menimpa manusia semuanya telah tertulis dalam catatan (Lauhulmahfudz) di sisi Allah ta’ala sebelum dia menciptakan langit dan bumi. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

 

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي ٱلأَرضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰب مِّن قَبلِ أَن نَّبرَأَهَا ٓۚإِنَّ ذَٰلِكَ

عَلَى ٱللَّهِ يَسِير

 

Artinya:

”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (LauhulMahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(QS. Al-hadid : 22)

 

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahuanhuma, bahwa dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda”, “Sesungguhnya Allah telah mencatat takdir-takdir para makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum Dia  menciptakan langit dan bumi.”[3]

Oleh karena itu, setiap orang seharusnya ridha menerima takdirnya. Selain itu, hendaklah dia menyadari bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah. Dialah yang mengendalikan segala sesuatu dalam kerajaan-Nya sesuai kehendak-Nya. Tidak ada yang sanggup menghalangi ketetapan-Nya sesuai kehendak-Nya dan tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya.

 

  1. Yakin bahwa Allah Menghendaki kebaikan bagi Hamba-Nya

Maksudnya, Allah tidak akan mentakdirkan sesuatu, melainkan ada hikmah yang di kehendaki-Nya. Hal ini di karenakan Dia Maha bijaksana lagi Maha mengetahui. Oleh karena itu, Allah tidak mungkin melakukan kesia-siaan. Jadi, tidak ada ketentuan Allah tanpa suatu hikmat yang dikehendaki-Nya. Selain itu, Allah juga lebih mengasihi hamba-hamba-Nya dari pada mereka terhadap diri mereka sendiri.

Betapa sering terjadi, ada kebaikan yang akan melimpah ruah tersembunyi di balik peristiwa menyedihkan yang tidak disukai, tanpa disadari oleh umat manusia, sebagaimana di firmankan Allah Ta’ala, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

 

                Sufyan Ats-Tsuari Rahimullah berkata, “Bukanlah seorang faqih adalah orang yang tidak ada yang menganggap cobaan itu nikmat dan kesenangan itu musibah.”[4] Adapun ibnulQayimRahimahullah mengatakan, “Adalah termasuk rahmat dari Yang Maha pengasih di antara semua yang pengasih, bahwa Dia menguji seseorang dengan bermacam-macam cobaan. Karena, Allah Ta’ala lebih mengetahui kemaslahatan bagi orang  tersebut.

 

Oleh karena itu, Maha benarlah Allah yang Maha agung dalam firman-Nya, Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ :19)

 

REFERENSI:

               

Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-Utsaim. 2015. Darus sunnah.

Di ringkas kembali oleh: Diana Rosella (Pengajar ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits Oku Timur)

[1] Adab Ad-Dunia wa Ad-Din, hlm. 463

[2]Tasliyat Ahl Al-masha’ib, hlm.20

[3] HR. Muslim 4/2044 nomor 2653

[4] Hilyat Al-Auliya’ 7/55

Baca juga artikel:

130 Cara Mendidik Anak

Mari Meningkatkan Keimanan

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.