HAK-HAK SUAMI DALAM BERKELUARGA
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Segala puja dan puji hanya milik Allah. Shalawat dana salam semoga senantiasa tercurah untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta pengikutnya hingga hari Kiamat.
Pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan tentang hak-hak seorang suami.
Sementara al-Muhallab memahami larangan tersebut sebagai larangan makruh tanzih. Menurutnya, ini termasuk pergaulan yang baik. Namun istri berhak melakukan amalan bukan fardu tanpa seizinnya selama tidak merugikan suaminya dan tidak menghalangi kewajibannya. Suami tidak berhak membatalkan sedikit pun dari ketaatan kepada Allah, ketika ia telah masuk di dalamnya dengan tanpa seizinnya. Ini menyelisihi zhahir hadits. Dalam hadits disebutkan bahwa hak suami itu lebih ditekankan pada istri ketimbang melakukan amalan Sunnah karena haknya itu wajib. Dan melaksanakan itu lebih didahulukan daripada melaksanakan amalan Sunnah.[1]
- Demikian pula hak suami atas istri ialah istri tidak mengeluarkan nafkah dari rumahnya kecuali dengan seizinnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تنفق امراة شيئا من بيت زوجها الا باذن زوجها قيل يا رسول الله ولاالطعام قال ذاك افضل اموالنا
“Tidak boleh seorang wanita menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan seizinnya.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, tidak pula makanan?” Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Makanan adalah sebaik-baik harta kalian.” (HR. Baghawi, dll)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa istri tidak boleh mengeluarkan (harta) sedikit pun dari rumah suaminya kecuali dengan seizinnya. Jika ia melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan bukan pahala.”
Jika suaminya menyetujui, maka ia dan suaminya mendapatkan pahala. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اذا تصدقت المراة من بيت زوجها كان لها اجر وللزوج مثل ذلك و للخازن مثل ذلك ولا ينقص واحد منهم من اجر صاحبه شيا له بما كسب ولها انفقت
Artinya: “Jika seseorang wanita bersedekah dari rumah suaminya maka ia mendapatkan pahala karenanya, suami juga mendapatkan yang seperti itu, dan penyimpan juga mendapatkan yang seperti itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahala masing-masing dari mereka. Suami mendapatkan pahala karena usahanya, dan istri mendapatkan pahala dari apa yang diinfakkannya.”[2]
Ini dilakukan berdasarkan pengetahuan istri bahwa suaminya suka berinfak dan bersedekah. Ini adalah izin bersifat umum darinya untuk berinfak. Atau istri memiliki harta pribadi berupa warisan dan sebagai- nya, atau ia memiliki harta khusus dari suaminya yang memang dikhususkan untuknya.
- Tidak meminta cerai
Ini adalah kebiasaan yang sering meluncur dari mulut banyak istri kaum muslimin. Anda dapati salah seorang dari mereka jika meminta sesuatu dari suaminya dan suaminya tidak bisa memenuhi permintaannya, maka serta merta ia meminta suaminya menceraikan dirinya tanpa ada suatu kesalahan atau sikap kasar darinya. Kemudian, ketika suami mengabulkan permohonan istrinya lalu menceraikannya, maka ia pun duduk menyesali nasib dan keadaannya yang buruk. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ايما امراة سالت زوجها طلاقا من غير باس فحرام عليها رائحة الجنة
Artinya: “Siapa saja wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa ada suatu kesalahan, maka diharamkan atasnya bau surga.”[3]
- Bersabar terhadap kefakiran suami. Nabi memiliki teladan yang baik pada istri-istrinya. Dari Aisyah, ia berkata kepada Urwah: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang bulan sabit, lalu bulan sabit berikutnya, tiga bulan sabit dalam di bulan, dalam keadaan tiada api yang dinyalakan di rumah-rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku (Urwah) bertanya, “Wahai bibi, lalu apa yang kalian makan?” Ia menjawab, “Aswadani (dua yang hitam), yakni kurma dan air. Hanya saja Rasulullah memiliki tetangga dari kaum Anshar yang memiliki sejumlah kambing, dan mereka mengizinkan Rasulullah mengambil air susunya lalu meminumkannya pada kami.”[4]
Anas Radhiyallahu Anhu mengatakan:
فما اعلم النبي راى رغيفا مرققا حتى لحق بالله ولا راى شاة سميطا بعينه قط
Artinya: “Aku tidak pernah mengetahui Nabi merasakan roti yang lembut hingga berjumpa dengan Allah (wafat), atau melihat kambing samith secara langsung sama sekali.”[5]
(Kambing samith atau masmuthah, ialah kambing yang sudah dibersihkan bulunya dengan air panas).
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu mengatakan;
ما عاب النبي طعاما قط ان اشتهاه اكله وان كرهه تركه
Artinya: “Nabi tidak pernah sama sekali mencela makanan. Jika berselera, beliau memakannya dan jika tidak suka, beliau meninggalkannya.”[6]
- Tidak menyakiti suaminya, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Ia tidak boleh menganggap dungu pikiran suaminya dan tidak boleh memandang rendah perbuatannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تؤذى امراة زوجها في الدنيا الا قالت ظوجته من الحور العين لا تؤذيه قاتلك الله فانما هو عندك دخيل يوشك ان بفارقك الينا
Artinya: “Tidak seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari mengatakan, ‘Jangan menyakitinya, semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya ia hanyalah bersama-sama sementara waktu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kepada kami.”[7]
- Tidak meninggalkan ranjangnya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اذا دعا الرجل امرأته إلى فرشه غابت فئات غضبان عليها أعنتها الملاحة حتى تصبح
Artinya: ”Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya tapi ia menolaknya sehingga bermalam dalam keadaan marah, maka ia mendapatkan laknat dari malaikat hingga pagi.”[8]
Sabdanya: (jika seseorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya) secara zhahirnya, menurut Ibnu Abi Jamrah, bahwa “ranjang” adalah kinayah (kiasan) tentang hubungan seksual. Hal itu dikuatkan oleh sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
الولد للفراش
Artinya: “Anak itu untuk ranjang.”[9]
Yakni untuk orang yang bersetubuh di ranjang. Kinayah tentang hal-hal yang membuat malu bila disebut secara vulgar banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Zhahir hadits menunjukkan bahwa laknat itu dikhususkan bila itu terjadi darinya pada malam hari, berdasarkan sabdanya, “hingga pagi”. Seakan-akan rahasia menegaskan perkara itu terjadi pada malam hari dan kuatnya dorongan untuk melakukannya. Tapi, ini bukan berarti bahwa wanita boleh menolak permintaan suaminya pada siang hari. Beliau hanyalah menyebutkan malam secara khusus karena itulah kebiasaan waktu terjadinya.
Disebutkan dalam riwayat Yazid bin Kisan, dari Abu Hazim pada riwayat Muslim dengan lafadz:
والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امرأته إلى فراشها فتابى عليه إلا كان الذي في السماء ساخطا عليها حتى يرضى عنها
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak ada seorang laki-laki pun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu ia menolaknya, melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga suaminya ridha kepadanya.”[10]
Kemutlakan ini mencakup malam dan siang.[11]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
والذى نفس محمد بيده لا تؤدي المرأة حق ربها حتى تؤدي حق زوجها ولو سألها نفسها وهي على قتل لم تمنعه
Artinya: “Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, wanita tidak menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya saat ia berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya.” [12]
Renungkanlah apa yang dilakukan Ummu Thalhah saat anaknya[13] meninggal. Anas mengatakan: Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal, maka ia mengatakan kepada keluarganya, “Jangan katakan kepada Abi thalhah tentang kematian anaknya hingga aku sendiri yang mengatakan kepadanya.” Ketika Abi Thalhah datang, ia menghidangkan malam untuknya, lalu ia makan dan minum.
Anas melanjutkan, kemudian ia berdandan untuknya lebih cantik dari yang ia lakukan sebelumnya, lalu Abu Thalhah menggaulinya. Ketika ia melihat bahwa Abu Thalhah sudah kenyang dan telah menggaulinya, maka ia mengatakan, “Wahai Abu thalhah, apa pendapatmu sekiranya suatu kaum meminjamkan sesuai kepada sebuah keluarga l, lalu mereka meminta apa yang mereka pinjamkan, apakah keluarga tersebut berhak menghalangi mereka?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ia mengatakan, “Carilah pahala dengan kematian anakmu.” Abu Thalhah pun marah seraya mengatakan, “membiarkanku hingga aku kotor, engkau baru memberitahu kepada kepadaku tentang kematian anakku.”
Abu Thalhah pun pergi pada Rasulullah, lalu ia menyampaikan apa yang telah terjadi kepada beliau. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “ Semoga Allah memberkahi untuk kalian kedua apa yang telah kalian lakukan tadi malam.” Lalu ia hamil. Suatu kali Rasulullah dalam perjalanan, dan Ummu Sulaim bersamanya. Ketika Rasulullah tiba di Madinah dari suatu perjalanan, beliau tidak langsung menuju ke rumah. Ketika mereka sudah dekat Madinah, Ummu Sulaim ingin melahirkan sehingga Abu Thalhah tertahan karenanya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun berangkat. Anas melanjutkan: Abu Thalhah berucap, “Sesungguhnya Engkau tahu, wahai Rabb, sesungguhnya aku paling suka mereka pergi bersama Nabi ketika beliau pergi, dan masuk bersama beliau ketika beliau masuk. Sementara aku tertahan karena apa yang Engkau lihat.” Ummu Sulaim mengatakan, “Wahai Abu Thalhah, aku tidak mendapati apa yang aku dapati. Pergilah!” Kami pun pergi. Ia hendak melahirkan ketika keduanya tiba, lalu ia melahirkan bayi. Setelah itu, ibuku mengatakan kepadaku, “Wahai Anas, jangan ada seorang pun yang menyusuinya hingga kamu membawanya kepada Nabi.”
Pada pagi harinya, aku menggendongnya dan membawanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berpapasan dengan beliau yang saat itu membawa misan (besi untuk memberi cap). Ketikan melihatku, beliau mengatakan, “Mungkin Ummu Sulaim sudah melahirkan?” Aku jawab, “Ya” Beliau pun meletakkan misamnya.
Aku pun membawa bagi itu dan meletakkan bayi itu dan meletakkannya di pangkuan beliau, kemudian beliau meminta kurma Ajwah Madinah, lantai beliau mengunyahnya di mulutnya hingga lumat, Lalu menaruhnya di mulut bayi sehingga bayi itu mengenyutnya. Selanjutnya Nabi berkata, “Lihatlah kesukaan kaum Anshar pada kurma.” Lalu beliau mengusap wajahnya dan menamakannya dengan Abdullah.[14]
Alhamdulillah telah selesai artikel tentang hak-hak seorang suami, semoga bermanfaat dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi:
Mahkota Pengantin, Pustaka at-Tazkia, Cetakan keempat puluh : Sya’ban 1444 H/ Maret 2023 M, Majdi bin Manshur bin Sayyid asy-Syuri.
Diringkas oleh: Suci Wahyuni (Pengajar Pondok Tahfiz Miftahul Khoir Ulak Pandan dan Santriwati Khidmah)
[1] Fath al-Bahri (9/295)
[2] Shahih, diriwayatkan at-Tirmidzi.
[3] Shahih diriwayatkan at-Tirmidzi.
[4] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[5] HR. Bukhari.
[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[7] Shahih, diriwayatkan Ahmad dan at-Tirmidzi.
[8] HR. Al-Bukhari (5/1993) dan Muslim.
[9] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[10] HR. Muslim.
[11] Fath al-Bari (9/194).
[12] Shahih, diriwayatkan al-Bazzar dan selainnya.
[13] Anaknya meninggal! Bukan marah karena pakaian atau makanan, lalu meninggalkan ranjangnya dan berpaling darinya. Setelah itu, kehidupan suami berubah menjadi adzab yang berkelanjutan hingga adzab tersebut lepas dan kesadarannya kembali lagi.
[14] HR. Muslim dan selainnya.
Leave a Reply