CURANG DALAM TIMBANGAN, RUSAK DAN CELAKA DI DUNIA DAN AKHIRAT

CURANG DALAM TIMBANGAN

Berbuat curang dalam timbangan termasuk perbuatan tercela, bahkan Allah Subhanahu Wata’ala menerangkan secara khusus tentang larangan akan hal ini, sebagaimana dalam surat Al-Muthaffifin ayat 1-6, berikut ayatnya:

إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ (1) وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ (2) وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ (3) وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ (4) عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ (5) يَاأَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6)

Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain,mereka minta dipenuhi.dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibankitkan pada suatu hari yang besar.(yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap rabb semesta alam”. (QS. Al-Muthaffifin/83: 1-6)

Penjelasan Ayat 1-3:

  1. Makna Muthaffifin

Kata wail artinya adzab yang dahsyat diakherat.ibnu abbas radhiyallahu‘anhu berkata,”itu adalah satu jurang di jahannam,tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”

Sementara kata (al-thafif) bermakna pengurangan.kata ini berasal dari kata thafiif yang artinya adalah suatu yang sedikit.(pelakunya disebut muthaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.

Menurut ulama lughah (bahasa Arab),al-Muthaffif adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannnya.

Allah subhanahu wata’ala langsung menafsirkan hakikat muthaffifin (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya,dengan berfirman yang artinya,”yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain merek minta dipenuhi.dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.’(QS.Al-Muthaffifin/83: 1-6).

Praktek kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allah subhanawata’ala,jika orang lain menimbang atau menakar bagi mereka sendiri,maka mereka menuntut takaran dan timbangan yang penuh sekaligus meminta tambahan.mereka meminta hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baikanya, bahkan minta dilebihkan, namun apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,mereka mengurangi kadarnya sedikit,baik dengan cara menggunakan alat takar dan timbangan yang sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan timbangan,atau dengan cara-cara curang lainnya.

Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).

Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang dahsyat atau neraka jahannam.

Bahaya Mengurangi timbangan dan takaran

Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah(pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.dengan demikian,bila mengambil milik orang lain memalui takaran dan timbangan yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan.dan tentu ancaman lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak.

Syeikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: ”jika demikian ancaman bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang lain,maka orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini dari pada mutaffifin.

Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Attiyah Salim rahimahullah mengatakan,”Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa bahayanya perilaku buruk itu, Dan memang betul hal itu merupakan perbuatan berbahaya.karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda perekonomian dunia dan asas dalam transaksi.jika ada kecurangan didalamnuya maka akan menimbulkan khalal dalam perekonomian,dan pada gilirannya akan mengakibatkan ikhtilal (kegoncangan) hubungan transaksi. ini salah satu bentuk kerusakan yang besar,”

Perintah Menyempurnakan Takaran dan Timbangan

Islam dengan kesempurnaan,kemuliaan,dan keluhuran ajarannya,memerintahkan umatnya agar dapat menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan.diantaranya dengan menyempurnakannya timbangan dan takaran.

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Artinya: Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”. (QS. Ar-Rahman/55:9).

Dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Artinya: Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.kami tidak memikulkan beban pada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (QS. Al-An’am/6: 152).

Syeikh asy-Syiqithi rahimahullah mengatakan ”memalui ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan penyempurnaan(isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang dengan tanpa sengaja terjadi kecurangan dalam takaran atau timbangan nya, tidak mengapa karena tidak sengaja.”

Dalam ayat ini allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbanagan lebih utama dan lebih baik manfaat allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan menimbanglah dengan neraca yang benar. itulah yang lebih baik dan lebih utama akibatnya. (QS. Al-Isra’/17:35).

Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada allah subhanahu wata’ala sebab pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat tanpa ada pengurangan.

Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan.dan sampai sekarang, praktek ini masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual beli baik pedagang maupun pembeli. Dengan mendesak pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi dan ditambahi.sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya, melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup keuntungan lebih dari kecurangannya ini.

Sejarah telah menyebutkan bahwa allah subhana wata’ala mengutus nabi Syu’aib ‘alaihis salam kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. nabi syu’aib ‘alaihis salam sudah menyuruh kaumnya, suku madyan (penduduk aikah), agar menjauhi kebiasaan buruk itu.

Allah subhanawata’ala berfirman:

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ (84) وَيَاقَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (85) بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ

Artinya: Dan kepada (penduduk) madyan, (kami utus saudara mereka), syu’aib, ia berkata,”hai kaumku sembahlah allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan mampu dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mu akan azab hari membinasakan (kiamat)”.dan syu’aib berkata,”hai kaumku cukuplah takaran dan timbangan dengan adil,dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi ini dengan membuat kerusakan. sisa keuntungan dari allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman.dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu (QS. Hud/11: 84-86).

Namun kaum nabi syu’aib menolak dan mengingkari dakwah nabi. Allah subhanahu wata’ala mengisahkan mereka berkata,”hai syu’aib, apakah agamumu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami”. (QS. Hud/11: 87).

Demikianlah apa yang saya sampaikan pada artikel ini, ringkasan dari Majalah As-Sunnah no. 01/THN.XVI, Jumadil Akhir 1433 H, Mei 2012 M

 

REFERENSI:

Dinukil dari: Majalah As-Sunnah no, 01/THN.XVI, Jumadil Akhir 1433 H, Mei 2012 M

Ditulis oleh Ustadz Abu Minhal, L.c Hafizullah ta’ala

Diringkas oleh : Ari Nuansah (Pengabdian Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA:

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.