Berbaik Sangka Kepada Kaum Muslimin – Begitu juga, ini adalah akhlak yang mulia. Orang yang bersifat seperti ini adalah orang yang memiliki hati yang selalu mengingat Allah dan ridha dengan-Nya, jauh dari sifat qila wa qala (asal ngomong), tidak mencampuri urusan orang lain atau berusaha untuk mengungkap kesalahannya dan mencari-cari kekurangannya.
Orang yang memiliki sifat ini jiwanya tenang, hatinya tenteram. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki sifat ini, ia telah melelahkan jiwanya, menguras pikirannya, ia sama sekali tidak mendapat apa-apa dari semua itu kecuali ketegangan syaraf.
Karena agungnya kedudukan sifat ini, Allah menganjurkan kepada kita untuk berakhlak dengannya sebagaimana yang tertera dalam kisah tuduhan zina yang diarahkan kepada Aisyah, Allah berfirman :
لَّوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إنك مُّبِينٌ
Artinya: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang Mukminin dan Mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nur: 12).
Dalam kesempatan ini perlu disebutkan sebuah sikap agung yang dimiliki oleh seorang shahabiyah yang mulia, Zainab binti seorang penyeru kepada kebaikan. Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab asy-Syahadat bab Ta’ dil an-Nisa’ ba’dhihinna ba dha kan diriwayatkan oleh yang lainnya dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang permasalahanku, ia menjawab:
أَحْمِي سَمْعِي وَبَصَرِي، مَا عَلِمْتُ إِلَّا خَيْرًا
Artinya: “Aku menjaga pendengaranku dan penglihatanku, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari)
As-Suyuthi dalam kitabnya, ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim, “Yang dimaksud dengan ‘Aku menjaga pendengaranku dan penglihatanku’ adalah aku menjaga keduanya untuk tidak mengatakan, ‘Aku mendengar sedangkan aku tidak mendengarnya, aku melihat namun aku tidak melihatnya.”
Aku katakan, “Apa yang dikatakan oleh Zainab merupakan tanda kesucian imannya dan merupakan keutamaan yang agung di mana sedikit sekali seorang wanita bersifat seperti ini. Beliau telah melakukan husnuzan (berprasangka baik) terhadap saudaranya yang Muslim, walaupun beliau termasuk wanita yang menyaingi Aisyah di sisi Nabi, seperti yang telah disebutkan dalam riwayat Aisyah yang telah lalu, di mana ia berkata:
وَهِيَ الَّتِي كَانَتْ تُسَامِينِي مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ فَعَصَمَهَا اللَّهُ بِالْوَرَعِ
Artinya: “Sedangkan dia salah seorang dari istri Nabi yang menyaingiku, akan tetapi Allah menjaganya dengan sifat wara (menahar diri dari hal-hal yang mubah dan Halal)”
Maksudnya, ia mencari kedudukan tinggi dan mulia di sisi Nabi sebagaimana aku mencarinya, atau dengan kata lain seperti yang disebutkan oleh as-Suyuthi, “Maksudnya ialah, dia menyaingiku dengan kecantikannya dan kedudukannya di sisi Nabi.”
Ini adalah pelajaran untuk manusia secara keseluruhan, agar mereka berbaik sangka kepada sesama saudara mereka seiman, khususnya terhadap orang yang dikenal dengan keshalihan dan keistiqamahannya. Karena orang-orang munafik dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah orang-orang yang menyebarkan tuduhan palsu, mereka berusaha mengalamatkan tuduhan itu kepada orang-orang yang beragama, sehingga tidak ada dikalangan kaum Muslimin orang yang dapat diambil ilmu agamanya oleh kaum Muslimin.
Yang sangat disayangkan adalah, sebagian orang tetap melahap berita palsu yang bersumber dari para pembuat kerusakan itu, dan mereka bersukaria dengannya, bahkan mereka sangat bergembira ria. Orang seperti ini tidak paham al-Qur’an dan tidak mengetahui apa yang dijelaskan oleh ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah tuduhan zina yang ada di awal surat an-Nur. Paling tidak, orang yang seperti bisa disebut tidak bijaksana dan tidak wara’, karena sifat bijaksana dan wara’ menjadikan seseorang berhati-hati dan tidak tergesa-gesa sebelum memutuskan perkara terhadap orang lain atau menerima nya ditimpakan pada mereka.
Sebaiknya, orang yang menghadapi persoalan seperti ini merujuk kepada para ulama’ yang Rabbani, agar mereka mengambil berbagai pelajaran berbobot yang mengandung kaidah mulia yang telah diucapkan oleh Ummul Mukminin Zaina binti Jahsy, “Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku, ak tidak mengetahui kecuali kebaikan.
Ini adalah di antara yang tinggi dan tabiat yang terpuji. karena ia menggambarkan kebersihan hati dari kedengkian kebencian serta keinginan untuk berbuat jahat terhadap kaum muslimin. Orang yang melakukannya bahagia di dalam hidupnya dan setelah matinya. Karena, Allah telah berfirman:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
Artinya: “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Asy-Syu’ara’: 88-89)
Akhlak yang mulia ini dimiliki oleh para shahabiyat. al-Hakim telah meriwayatkan dari Auf bin al-Harits, ia berkata, “Saya mendengar Aisyah berkata, ‘Ummu Habibah memanggilku yang dimaksud adalah (Ummu Habibah) binti Abi Sufyan, istri Nabi dan ia berkata, ‘Di antara kita telah terjadi hal-hal yang terjadi sesama para istri yang dimadu. Semoga Allah mengampuni ku dan mengampunimu atas apa yang telah terjadi. Aku (Aisyah) mengatakan, ‘Semoga Allah mengampunimu atas semua yang terjadi dan memaafkanmu dari apa yang telah terjadi.’ la mengatakan, ‘Engkau telah membahagiakanku, semoga Allah membahagiakanmu. Kemudian ia memanggil Ummu Salamah dan mengatakan seperti itu juga.”
Sungguh, kita sangat membutuhkan adanya akhlak seperti ini di antara kita saat ini, pada zaman materialis dan zaman yang penuh kepentingan duniawi. Di mana banyak terdapat kedengkian dan kebencian yang disebabkan oleh bergelutnya (manusia) dengan dunia dan keindahannya. Sehingga menimbulkan permusuhan yang merusak masyarakat dan meruntuhkan sendi-sendinya.
Berakhlak dengan akhlak yang mulia ini akan menjauhkan umat dari keburukan dan berbagai musibah tersebut. Orang yang melakukannya akan memiliki kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat, sebab dia adalah pembuat kebaikan, termasuk orang yang mengupayakan kebaikan. Sedangkan orang yang berbuat baik itu dimuliakan di sisi Allah. Allah Subhanahu Wata’ala ber firman:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيُّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّنَهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّتَهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35).
Sungguh indah perkataan seorang penyair,
Berbuat baiklah kepada semua manusia
Engkau akan menjadi berarti di antara mereka
Ketahuilah sesungguhnya engkau suatu saat
Akan disikapi sebagaimana engkau bersikap
Ketika seorang hamba benar-benar jujur bersama Allah dan mendekat kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh untuk tidak lalai melaksanakan ibadah dan munajat kepada-Nya, imannya akan menjadi kuat dan jiwanya akan tenang, keteduhan dan kedamaian akan meliputinya. la hidup dalam suasana yang penuh dengan mengingat kepada Allah dan menggunakan seluruh waktunya di hadapan-Nya.
Hal ini akan menumbuhkan di dalam hati seorang hamba karakter tawadhu’ (merendah diri) kepada Allah, karena setiap ia mendekatkan diri kepada Allah ia akan semakin merendahkan diri kepada Allah dan semakin mengagungkan-Nya.
Inilah sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman kepada Allah 4 dari para hamba-Nya terutama para Nabi yang mulia.
Para shahabiyat yang mulia telah memberikan contoh yang terbaik dalam hal ini. Sikap Aisyah pada saat munculnya tuduhan zina yang dialamatkan kepadanya, merupakan contoh yang paling indah akan hal ini. Disebutkan dalam kitab asy-Syahadat dari Shahih al-Bukhari, bahwa Aisyah berkata,
وأنا جنيد أَعْلَمُ إلى بريقة وَأَنَّ اللَّهَ يُيَرلُنِي وَلَكِنِّي وَاللَّهِ مَا كُنتُ أَظُنُّ أن الله يُنزِلُ فِي شَابِي وَحْيَا يُتْلَى وَلَشَأْنِي فِي نَفْسِي كَانَ أَحْقَرَ مِنْ أَن يَتَكَلَّمَ اللَّهُ فِي بِأَمْرِ يُتْلَى وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ((إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بالافك عصبة مِنْكُمْ الْعَشْرَ الآيَات كُلَّهَا
Artinya: “Aku yakin bahwa aku terbebas dari tuduhan ini, dan aku yakin bahwa Allah pasti akan menyatakan kebebasanku dari tuduhan ini. Akan tetapi aku tidak menyangka sebelumnya Allah akan menurunkan sebuah wahyu yang dibaca tentang permasalahanku ini. Karena permasalahanku ini, aku merasa diriku terlalu hina untuk difirmankan Allah dalam sebuah wahyu yang dibaca. Lalu Allah menurunkan, Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…’ Sepuluh ayat semuanya.” (HR, Bukhari)
Sudahkah Anda memperhatikan perkataannya, “Karena permasalahanku ini, aku merasa diriku terlalu hina untuk difirmankan Allah dalam sebuah wahyu yang dibaca.” Beliau, walaupun sebagai seorang Ummul Mukminin, dan seorang istri yang paling dicintai Rasulullah, namun, karena beliau dalam posisi berhubungan dengan Rabbnya beliau mempersenjatai diri dengan senjata tawadhu’ yang mengetuk jiwanya. Karena beliau mengetahui bahwa hal inilah yang dapat menjauhkan dari makar setan yang tidak ada yang menghinakannya kecuali kesombongan dan kecongkakan.
Wallahu ta’ala a’lam.
REFERENSI:
DiTulis Oleh : Dr.Abd.Hamid bin Abd. Rahman as-Suhaibani
Diringkas Oleh : Nyai Anita Sari
DiAmbil Dari : Buku Meneladani Wanita Generasi Sahabat
BACA JUGA :
Leave a Reply