Antara Beramah Tamah dan Mencari Muka-Banyak orang yang hamper tidak bisa membedakan antara mudaaraat (beramah tamah) dan mudaahanah (mencari muka). Mudaaraat adalah salah satu bentuk mu’amalah yang menunjukan sikap bijaksana yang menyampaikan kita kepada tujuan, dengan tetap menjaga kehormatan dan mertabat. Adapun mudaahanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan kebohongan dan memungkiri janji.
Ibnu Baththal berkata: “Mudaaraat adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain, melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudaaraat merupakan sebab paling kuaat terciptanya persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudaaraat sama dengan mudaahanah, hal itu sangat keliru! Karena mudaarrat adalah sifat yang dianjurkan sementara mudaahanah adalah menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi menyembunyikan batinnya. Lain di lidah lain pula di hati! Para ulama mengidentikkannya sebagai pergaulan dengan orang fasik, menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya sedikitpun.
Mudaaraat adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam menyampaikan ilmu dan pelajaran kepadanya dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia tidak menampakkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan perlakuan yang lembut. Terlebih lagi bila kita ingin mengambil hatinya.
Sulaiman bin Mihran berkata:
ما أغضبت رجلا قط فسمع منك
Tidaklah engkau membuat marah sesorang lalu ia mau mendengarkan kata-katamu. (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Dan kebanyakan mudaaraat dilakukan untuk menghindari keburukan dan perkara yang dibenci. Dalam hikmah Luqmanul Hakim disebutkan: “Hai anakku, sungguh bohong orang yang mengatakan bahwa keburukan hanya bisa dihilangkan dengan keburukan . jika katanya itu benar, silahkan ia memadamkan api dengan api. Coba lihat apakah api itu saling memadamkan satu sama lain? Sesungguhnya kebaikanlah yang bisa memadamkan keburukan, sebagaimana air bisa memadamkan api. Salah satu kata-kata bijak adalah perkataan Abu Yusuf rahimahullah tentang orang-orang yang perlu disikapi dengan mudaaraat: “Qadhi yang salah takwil, orang sakit, wanita, orang alim untuk mengambil ilmunya.
Demikianlah, dalam pergaulan kita perlu beramah tamah dan berbasa-basi untuk merebut hati sahabat kita. Kelenturan dalam bersikap ini harus kita miliki bila ingin persahabatan berjalan mulus. Tetapi, janganlah menjadi orang yang suka mencari muka, karena itu adalah akhlak yang tercela.
Jujur
Kejujuran adalah sifat yang sangat ditekankan dalam membina persahabatan. Baik jujur dalam niat, perkataan maupun perbuatan. Jujur adalah sifat orang mukmin. Sedangkan dusta adalah sifat orang munafik, seperti yang telah dijelaskan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
Maka jangan pernah mengabaikan sifat mulia ini, niscaya kita akan beruntung, dan menjadi sahabat yang dihormati lagi dicintai. Ingatlah, kejujuran akan membawa kita kepada kebajikan dan surga Allah. Sebaliknya kebohongan akan menggiring kepada kejahatan dan neraka. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن الصدق بر وإن البر يهدي إلى الجنة وإن العبد ليتحرى الصدق حتى يكتب عند الله
صديقا وإن الكذب فجور وإن الفجور يهدي إلى النار وإن العبد ليتحرى
الكذب حتى يكتب
كذابا
Artinya:
Sesungguhnya kejujuran akan membawa kepada kebajikan dan kebajikan itu akan menuntun jalan menuju surga. Apabila seorang hamba bersikap jujur dan selalu memerhatikan kejujuran(dirinya), niscaya di sisi Allah عزوجل , ia dianggap sebagai orang jujur. Kebohongan akan menggiring (pelakunya) pada kejahatan dan kejahatan itulah yang akan menjerumuskannya ke neraka. Apabila seorang hamba berbohong dan memiliki kebiasaan berbohong, di sisi Allah عزوجل,ia akan dicap sebagai pembohong. (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, hendaklah engkau selalu jujur dan tidak berdusta kepada saudaramu selamanya, baik dalam perkataan, nasihat dan segala bentuk mu’amalah lainnya. Sesungguhnya semua itu merupakan perkara yang diharamkan dan akan menjadi racun yang merusak persaudaraan.
Selalu mengedepankan husnuzhan (baik sangka), menerima udzur yang disampaikannya dan tidak menuduhnya berdusta tanpa alasan
Ini termasuk adab yang agung dalam pergaulan. Hendaklah kita mengedepankan husnuzhan (baik sangka), menerima udzur yang ia sampaikan dan tidak menuduhnya berdusta tanpa alasan yang cukup.
Seorang muslim tidak boleh menuduh saudaranya berdusta selama belum terbukti ia benar-benar berdusta. Sebab, hal itu akan membangkitkan kemarahan dalam dada dan dapat memicu permusuhan. Oleh karena itu Islam melarang sikap ini, sebagaimana yang telah diriwayatkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits di atas.
Umar bin al-Khaththab رضي الله عنه pernah berkata:
لا تظنن بكلمة خرجت من في امرئ مسلم سوءا وأنت تجد لها في الخير محملا
“Janganlah kamu bersangka buruk terhadap kalimat yang diucapkan oleh seorang muslim, sementara engkau dapat membawakannya kepada makna yang lebih baik lagi”. (Al-Amali (no. 460), imam Al-Muhamili)
Demikian pula, jika ia menyampaikan udzur kepadamu, maka terimalah udzurnya.
Ja’far bin Muhammad berkata, “Jika sampai kepadamu sesuatu yang engkau ingkari tentang saudaramu maka carilah satu udzur baginya, sampai tujuh puluh udzur. Jika kamu memilikinya, jika tidak maka katakanlah, “Barangkali ia punya udzur yang tidak aku ketahui.
Abdullah bin Muhammad bin Munaazil berkata, “ Seorang mukmin senantiasa mencari-cari udzur untuk saudaranya, sementara seoraang munafik senantiasa mencari-cari kesalahan saudaranya.
Kecuali terdapat indikasi-indikasi kuat yang mengundang kecurigaan. Seperti si pembawa berita adalah seorang yang jelas kefasikannya atau dikenal suku berbohong. Maka, kita harus memeriksa kebenaran berita yang ia bawa. Dalam hal ini Allah عزوجل telah berfirman:
يأيها الذين ءامنواْ إن جآءكم فاسق بنبإ فتبينواْ أن تصيبواْ قوما بجهلة فتصبحواْ على ما
فعلتم ندمين
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujuraat: 6)
Berkenan dengan ayat ini, Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan sebagai berikut: “ Allah عزوجل memerintahkan agar benar-benar meneliti berita yang di bawa oleh orang-orang fasik demi kehati-hatian, sehingga tidak ada seorangpun yang mengambil keputusan berdasarkan perkataan orang itu yang sebenarnya dusta atau keliru. Mengikuti dan melatahi saja. Padahal Allah عزوجل telah melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Jangan suka mencari-cari kesalahan saudara kita lalu menyebarkannya!
Janganlah suka mencari-cari kesalahan dan kekeliruan saudara kita. Sebab, pasti tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Kalau dicari-cari pasti ada saja kesalahan di sana sini! Rasa-rasanya tidak ada orang yang suka diperlakukan seperti itu. Kita berlindung kepada Allah dari teman yang buruk semacam ini.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata dalam doanya:
اللهم إني أعوذبك من جار السوء و من زوج تشيبني قبل المشيب و من ولد يكون علي
ربا و من مال يكون علي عذابا و من خليل ماكر عينه تراني وقلبه يرعاني إن رأى حسنة
دفنها وإن رأى سيئة أذاعها
Artinya:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang jahat, istri yang membuatku beruban sebelum waktunya (membuatku cepat tua), anak yang menjadi majikan atas diriku, harta yang menjadi adzab bagiku, teman yang penuh makar, pandangan matanya tertuju kepadaku akan tetapi hatinya senantiasa mematai-mataiku, jika ia melihat kebaikan (padaku), ia menyembunyikannya dan jika melihat keburukan (pada diriku) ia menyebarkannya. (HR. Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a (hal. 399), sebagian ulama’ menilai hasan (As-Shahihah: 7/377))
Sungguh, itu merupakan tabiat yang sangat hina dan tercela. Ibnu Qayyim berkata, “Di antara manusia ada yang memiliki tabiat seperti tabiat babi. Ia lewat di hadapan makanan yang baik-baik tetapi ia melewatkannya saja, tidak mengacuhkannya.
Ya, begitulah babi, makanan yang baik dan bersih ditinggalkannya, namun begitu nampak makanan yang kotor dan buruk, justru dilahapnya! Begitu pula manusia yang tabiatnya seperti babi! Kebaikan saudarnya dilupakannya, akan tetapi kesalahan dan kesilapannya selalu diingat bahkaan disebarkannya!
Jangan bermuka dua!
Tak jarang kita jumpai, beberapa orang yang senantiasa menunjukkan persetujuan dan kecintaan kepada temannya. Ketika berjumpa ia selalu menunjukkan wajah yang riang dan gembira.
Namun apabila ia telah berpaling dari saudaranya, maka diapun mencaci-makinya dengan ucapan yang keras dan menghinanya dengan sumpah serapah yang keji.
Hendaknya kita menjauhi sifat seperti. Sebab, ini merupakan sifat yang sangat rendah lagi buruk. Dan pelakunya tergolong manusia yang paling buruk dan paling hina. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
تجد من شر الناس يوم القيامة عند الله ذا الوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه وهؤلاء بوجه
Artinya:
Kalian akan menjumpai seburuk-buruk manusia yaitu orang yang bermuka dua. Ia menjumpai satu kaum dengan suatu wajah dan menjumpai kaum lainnya dengan wajah yang berbeda. (HR. Bukhari dan Muslim)
Amanah (dapat dipercaya) dan jangan menjadi pengkhianat
Saudaraku seiman….
Sifat amanah itu adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam pergaulan. Seorang mukmin adalah sosok yang dapat dipercaya. Sebaliknya, sifat khianat adalah sifat orang-orang munafik. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda:
آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان
Artinya:
Ciri-ciri orang munafik ada tiga, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila dipercaya (diserahi amanah) dia berkhianat. Jagalah amanah, baik amanah itu berupa harta maupun rahasia saudara kita. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan Allah عزوجل juga mensifatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:
والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Al-Mukminun:8)
Artinya:
Maka jagalah sifat yang mulia ini terlepas dari diri kita. Sebab jika kepercayaan tak lagi ada, niscaya persaudaraan dan persahabatan akan hancur dan hati pun akan saling menjauh. (QS. Al-Mu’minun: 8)
Dan janganlah menjadi pengkhianat! Menggunting dalam lipatan, menjegal teman seiring! Sungguh, tiada yang lebih sakit selain dikhianati.
Menepati janji
Memenuhi janji adalah salah satu bentuk akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap mukmin. Sebab, apabila seseorang telah menanggalkan sifat ini, berarti ia telah meletakan sifat kemunafikan dalam dirinya. Sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان
Artinya:
Ciri-ciri orang munafik ada tiga: Bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia tidak menepati, dan di beri amanah ia berkhianat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Menepati janji adalah budi luhur yang mutlak dibutuhkan dalam pergaulan. Dengan sifat ini akan terbina tali kepercayaan satu sama lainnya dan dapat mengukuhkan semangat saling tolong menolong.
Menepati janji merupakan refleksi dari sifat jujur dan adil. Sedangkan khianat adalah refleksi dari sifat dusta dan zhalim. Sebab, menepati janji merupakan kombinasi dari kejujuran dalam perkataan dan kejujuran dalam tindakan.
Sedangkan khianat merupakan kombinasi dari kedustaan dalam ucapan dan kedustaan dalam perbuatan. Sifat menepati janji adalah salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat manusia. Jadi barangsiapa yang berani menghilangkan sifat ini dari jiwanya, sama saja ia telah melepaskan sifat perikemanusiaan dari dalam dirinya. Di samping itu, memenuhi janji merupakan bagian dari keimanan, ia juga merupakan salah satu penopang yang akan memperkuat tali persaudaraan.
Sebab manusia adalah makhluk sosial yang pasti saling membutuhkan dan tolong menolong. Dan semua itu tidak akan tercapai jika tidak ada keinginan untuk saling menepati janji. Jika tidak ada keinginan untuk saling memenuhi janji, niscaya manusia akan saling menjauh satu dengan lainnya.
Oleh karena itu, seorang muslim harus memenuhi setiap janji yang telah dibuatnya untuk orang lain sesuai dengan akad yang telah disepakati sebelumnya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
المسلمون على شروطهم
Artinya:
Orang muslim harus memenuhi persyaratan yang telah ia sepakati. (Shahih, HR. Abu Dawud dalam sunannya)
Di antara bentuk paling urgen dalam hal ini adalah menjalankan perjanjian ataupun kesepakatan dengan orang lain, baik dalam jual beli, utang piutang, nadzar, maupun janji-janji lain yang kerap kali disepakati dalam mu’amalah keseharian.
Mudah memaafkan
Manusia adalah tempat salah dan lupa.
Karenanya, jika tidak akan pernah menjumpai seorangpun sahabat atau saudara yang bebas dari kesalahan. Kesalahan yang kadang membuat hati kita terluka. Tapi bukanlah kita juga manusia biasa yang pasti pernah berbuat salah.
Jadi, mengapa kita merasa berat untuk memaafkan kesalahan orang lain? Padahal tidak ada balasan orang yang memaafkan saudaranya kecuali kemuliaan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا
Artinya:
Dan tidaklah Allah عزوجل menambahkan bagi seorang hamba yang memiliki sifat memaafkan kecuali kemuliaan. (HR. Muslim dalam shahihnya)
Maka dari itu, utamakanlah memberi maaf kepada orang lain dan mencari alasan untuk memberi maaf walau kadang sukar untuk diterima.
Allah عزوجل berfirman:
وليعفواْ وليصفحواْ ألا تحبون أن يغفر الله لكم والله غفور رحيم
Artinya:
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur:22)
Ja’far bin Muhammad berkata, “Apabila sampai kepadamu sesuatu yang engkau ingkari tentang saudaramu maka carilah satu alasan baginya untuk diberi maaf sampai tujuh puluh alasan. Jika engkau mendapatkan alasan tersebut, jika tidak maka katakanlah, “Barangkali ia punya alasan yang tidak aku ketahui.
Satu tradisi yang keliru di tengah masyarakat kita adalah mengkhususkan bermaaf-maafan pada hari ‘Idul fitri, sehingga mereka menunda-nunda permohonan maaf tersebut hingga tiba Idul fitri. Jika kita punya kesalahan terhadap sahabat kita cepat-cepatlah minta maaf kepadanya! Mengapa harus menundanya sampai Idul fitri? Sebab ajal manusia tidak ada yang tahu selain Allah عزوجل!
SUMBER:
Pustaka Imam adz-Dzahabi, Muharram 1433 H/ Desember 2011 M
Ditulis oleh : Abu Ihsan al-Atsary & Ummu Ihsan
Diringkas oleh : Asandri Abu Uwais (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
Baca juga artikel:
Leave a Reply