Adab-adab Bersafar dan Berkendara (bagian 2)

adab-adab dalam safar dan berkendaraan 2

Adab-adab Bersafar dan Berkendara (bagian 2) – Berikut ini adalah pembahasan terakhir tengtang adab-adab bersafar dan berkendara.

  1. Segera menemui keluarganya ketika pulang dari safar.

Jika seseorang selesai dari safarnya dan pulang menuju rumahnya, hendaknya dia segera bertemu dengan istrinya. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

Artinya: “Safar adalah potongan dari kesulitan. Safar dapat menghalangi seseorang dari makanan, minuman dan tidurnya. Jika dia telah selesai dari urusannya, maka hendaknya dia bersegera menuju keluarganya/ istrinya.”[1]

Safar merupakan salah satu keadaan yang menyulitkan, sehingga seseorang terhalangi dari makanan yang biasa dia makan, minuman yang biasa dia minum dan tidur nyenyak yang biasa dia nikmati. Selezat apa pun bekal yang dihidangkan di dalam safar, menikmati makanan yang biasa disantap di rumah lebih nikmat dari pada makanan di dalam safar. Senyaman apa pun fasilitas yang digunakan untuk tidur selama dalam safar, tidur di rumah lebih nyaman dari pada tidur dalam keadaan safar.

Tidak semua orang bisa beradaptasi dengan lingkungan baru yang berada di sekitarnya, sehingga dia merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitarnya. Karena tidak semua orang terbiasa makan, minum dan tidur di luar rumahnya, membuatnya tidak terbiasa dengan hal-hal yang ada di luar rumahnya.

  1. Safar pada hari kamis.

Sebagaimana di dalam hadis yang diriwayatkan Ka’b bin Malik berkata,

لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ، إِذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إِلَّا يَوْمَ الخميس

Artinya: “Sungguh sedikit sekali Rasulullah ketika hendak keluar (untuk safar) kecuali pada hari kamis.”[2]

Rasulullah sering melakukan safar pada hari kamis pagi hari. Bagi siapa saja yang hendak melakukan safar pada hari kamis, maka hendaknya dia melakukannya, karena ini termasuk sunah Nabi Muhammad. Jika dia tidak mampu melakukannya, maka tidak menjadi masalah. Karena ada sebagian orang yang harus melakukan safar setiap hari, sehingga dia terhalangi dari memilih hari untuk bersafar. Namun, jika seseorang bisa memilih waktu untuk bersafar, maka hendaknya dia memilih hari kamis, karena Nabi Muhammad sering bersafar di pagi hari pada hari kamis.

  1. Hendaknya seorang wanita safar disertai mahramnya.

Di antara adab bagi wanita ketika safar adalah tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

Artinya: “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar selama sehari semalam, sedangkan dia tidak bersama mahramnya.”[3]

Ini adalah hukum asal bahwa seorang wanita yang melakukan perjalanan dalam sehari semalam harus disertai dengan mahramnya. Adapun di dalam kondisi darurat atau keperluan yang sangat mendesak, seperti sebagian wanita yang harus berhijrah sendirian dari Makkah menuju Madinah atau suaminya berada di luar negeri, tidak ada saudara yang mampu untuk menemaninya, sedangkan dia dituntut untuk menemani orang tuanya yang sedang sakit, maka hal ini dibolehkan.

Namun, bagaimanapun keadaannya tidak seharusnya bagi setiap orang menyepelekan hal ini. Apalagi jika safarnya bukan menjadi keperluan yang sangat mendesak, maka tidak diperbolehkan seorang wanita melakukan safar seorang diri tanpa mahram.

Sebagai seorang suami juga hendaknya menyadari, jika seandainya seorang istri dituntut untuk melakukan safar, sedangkan dia sendiri tidak mampu menemaninya, maka hendaknya dia berbuat baik terhadapnya. Dia bisa menghubungi kerabat istrinya untuk menemaninya bersafar dengan menanggung semua perbekalan safar. Sehingga dengan perbuatannya tersebut, dia telah menjalankan syariat Allah, dia mengeluarkan hartanya pada tempatnya dan seorang istri mampu melakukan safar dengan nyaman, karena ada yang menemaninya.

  1. Selalu bersama rombongan selama safar.

Di antara petunjuk salaf di dalam safar adalah selalu dalam rombongan dan kebersamaan bersama kawan-kawan musafir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ketika ditanya,

أَيُّهُمَا أَحَبُّ إِلَيْكَ يَعْتَزِلُ الرَّجُلُ فِي الطَّعَامِ أَوْ يُرَافِقُ قَالَ يُرَافِقُ هَذَا أَرْفَقُ يَتَعَاوَنُونَ إِذَا كُنْتَ وَحْدَكَ لَمْ يُمْكِنكَ الطَّبْحُ وَلَا غَيْرُهُ

Artinya: “Manakah yang lebih baik antara seseorang makan seorang diri atau makan secara dengan temannya?’. Imam Ahmad berkata, ‘Lebih baik makan dengan temannya. Perbuatan ini lebih membuat mereka untuk saling tolong menolong. Jika engkau seorang diri, maka tidak mungkin bagimu untuk memasak seorang diri.”[4]

Bisa saja sekelompok orang bersepakat mengumpulkan uang mereka untuk membeli makan hingga disantap bersama-sama, maka perbuatan ini sangat dianjurkan, karena banyak manfaat yang didapatkan bagi mereka. Mereka bisa saling merasakan kebahagiaan dan kesusahan.

  1. Mengerjakan ibadah sunah ketika sedang safar.

Di antara adab bersafar adalah ketika sedang bersafar seseorang dibolehkan untuk salat sunah di atas kendaraan ke mana pun arah kendaraan berjalan. Ketika seseorang naik pesawat, lalu pada malam hari dia ingin mengerjakan salat malam, maka dia bisa mengerjakannya ke mana pun arah pesawat tersebut melaju.

Pada zaman dahulu seseorang berkendara di atas untanya, jika dia hendak mengerjakan salat sunah, maka dia bisa mengerjakan salatnya di atas untanya. Karena ketika unta telah berjalan, sejatinya ia telah mengetahui ke mana arah tujuannya tanpa diarahkan oleh penunggangnya. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Banyak orang yang menyangka bahwa jika dia melakukan safar, maka ibadah yang biasa dilakukannya tidak dikerjakannya. Sebagaimana banyak para wanita yang berpikir ketika tiba masa haid, maka mereka tidak mengerjakan segala ibadah yang biasa mereka kerjakan. Yang sebenarnya harus dilakukan adalah meskipun seseorang dalam safar atau seorang wanita dalam kondisi haid, dia bisa mengerjakan ibadah-ibadah yang masih mampu untuk dikerjakan. Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf dalam meniru perbuatan Nabi Muhammad, di mana dalam keadaan safar tidak menghalangi mereka untuk melakukan ibadah sunah di atas kendaraan mereka.

Berdasarkan riwayat Abdullah bin Umarma berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُؤْمِنُ إِيمَاءً صَلَاةَ اللَّيْلِ، إِلَّا الفَرَائِضَ

Artinya: “Nabi pernah salat dalam keadaan safar di atas kendaraannya menghadap ke mana pun arah kendaraannya dan mengerjakan salat malam dengan berisyarat, kecuali dalam salat-salat fardu.”[5]

  1. Memperbanyak doa selama safar.

Di antara adab dalam safar adalah banyak berdoa ketika di dalam safar. Berdasarkan riwayat Abu Hurairah, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ، لَا شَكٍّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

Artinya: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan oleh Allah dan tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang terzalimi, doa orang yang sedang safar dan doa orang tua kepada anaknya.”[6]

Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang sedang bersafar banyak rahmat Allah yang turun kepadanya, di antaranya adalah ketika dia sedang bersafar dalam keadaan berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Allah memberikan banyak kemudahan bagi musafir. Jika dia hendak salat, Allah memberikan kemudahan baginya untuk mengqasar atau menjamak salat. Dia tidak perlu mengerjakan salat qabliyah maupun bakdiyah. Jika dia berdoa, maka Allah akan mengabulkan doanya.

Maka, hendaknya seseorang ketika mendapatkan kesempatan dalam keadaan bersafar, apalagi di saat waktu jumat sore, sehingga tergabung kepadanya waktu-waktu yang sangat baik untuk dikabulkan doa, maka hendaknya dia banyak berdoa dengan meminta banyak kebaikan dari Allah. Jadi, Allah telah memberikan keistimewaan, sudah seharusnya seorang muslim tidak melewatkan keistimewaan tersebut.[7]

  1. Tidak pulang dari safar menuju rumahnya pada waktu malam secara tiba-tiba.

Di antara adab ketika pulang dari safar adalah Nabi Muhammad melarang seseorang pulang pada waktu malam tanpa diketahui oleh istrinya. Sebagian orang ketika pulang dari safar hendak memberikan kejutan kepada keluarganya atau istrinya pada malam hari dengan tanpa memberi kabar kepulangan. Sejatinya hal ini dilarang oleh Nabi Muhammad.

Berdasarkan hadis Jabir berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلًا يَتَخَوَّتُهُ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

Artinya: “Rasulullah melarang bagi seseorang mengetuk pintu rumahnya pada malam hari (dari safar) untuk mencari-cari kesalahan atau keburukan keluarganya.”[8]

  1. Ketika pulang dari safar mengerjakan salat dua rakaat sebelum masuk rumah.

Di antara adab dalam safar adalah ketika pulang di siang hari atau waktu duha sebelum masuk ke rumahnya dia mengerjakan salat dua rakaat di masjid terdekat. Adab ini menjadi sunah yang sangat langka dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman sekarang. Ini merupakan kebiasaan Nabi Muhammad. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ka’b berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، ضُحًى دَخَلَ المَسْجِدَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

Artinya: “Sesungguhnya Nabi jika datang dari safar pada waktu duha, maka beliau masuk ke dalam masjid, lalu salat dua rakaat sebelum duduk.”[9]

Inilah anjuran yang diajarkan Rasulullah kepada umatnya, yaitu ketika pulang dari safar pada pagi hari menyempatkan diri untuk mengerjakan salat dua rakaat di dalam masjid. Jika seseorang mampu meluangkan waktunya untuk melakukan amalan ini dalam rangka bersyukur kepada Allah ﷻ, tentu hal ini adalah yang terbaik baginya.[10]

  1. Selalu berhati-hati dalam berkendara.

Di antara adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim adalah selalu berhati-hati dalam berkendara. Betapa banyak kecelakaan terjadi di dalam perjalanan, sehingga banyak memberikan mudarat kepada orang lain. Hendaknya seseorang menjaga adabnya ketika berkendara. Janganlah seseorang mendahului kendaraan orang lain secara tiba-tiba, sehingga membuat orang lain terkejut. Janganlah dia menakut-nakuti orang lain selama dalam kendaraan.

Ketika dia hendak beristirahat di tengah perjalanan, maka hendaknya dia memberhentikan kendaraan di tempat yang semestinya, sehingga tidak melanggar, mengganggu dan memberikan kerugian atau mudarat terhadap orang lain. Karena hal itu menjadi sebab kecelakaan bagi kita dan juga kepada orang lain. Hendaknya sebelum bepergian seseorang memeriksa kendaraannya dari hal-hal yang dapat memberikan mudarat selama perjalanannya. Hendaknya mengatur kecepatan di dalam berkendara sehingga dia terhindar dari kecelakaan.

Sudah seharusnya bagi setiap muslim selalu bertakwa kepada Allah selama dalam perjalanan atau safar, sehingga dia tidak menzalimi orang lain. Inilah di antara adab-adab dalam bersafar yang hendaknya diperhatikan oleh setiap muslim.

REFERENSI:

Dari”KITABUL JAMI’”, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak jilid 2(Adab-adab bersafar dan berpergian part 2). Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Ustadz Firanda Andirja Office.

Diringkas oleh: Nurul Latifah

[1] HR. Bukhari No. 1804

[2] HR. Bukhari No. 2949.

[3]  HR. Bukhari No. 1088.

[4] Al-adab asy-Syar’iyah, (93/193)

[5]  HR. Bukhari No. 1000.

[6]  HR. Bukhari No. 32 di dalam al-Adab al-Mufrod.

[7]  Lihat:Jami’ al-Ulum wal-Hikam Karya Ibnu Rajab (1/269)

[8]  HR. Bukhari No. 715.

[9]  HR. Bukhari No. 3088

[10]  Lihat: Fath al-Bari Karya Ibnu Rajab (3/267-269)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.