Ilmu syar’i adalah ni’mat yang paling agung yang Alloh karuniakan kepada makhluk-Nya. Ilmu syar’i merupakan alat untuk mengetahui perkara yang benar atau tidak, ilmu yang dapat mengangkat derajat seorang hamba. Karena itu orang yang berusaha ingin meraihnya diberi ganjaran yang besar oleh Alloh, di antaranya dengan memudahkan baginya masuk surga, sebagaimana sabda Rosululloh:
“… Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Alloh akan memudahkan untuknya jalan menuju Surga…”[1]
Dan untuk bisa meraihnya, Anda bisa menempuh dengan dua jalan berikut ini:
- Mengkaji kitab-kitab terpercaya susunan para ulama yang keilmuan, amanah, dan keselamatan aqidahnya dari bid’ah dan khurafat sudah dikenal. Mengambil ilmu langsung dari berbagai kitab pasti mengantarkan seseorang kepada tujuan tertentu, tetapi akan timbul dua akibat: lamanya waktu dan orang tersebut pada umumnya ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah dan landasan yang kokoh.
- Mengkaji ilmu dari seoarang guru yang terpercaya dalam ilmu dan agamanya. Cara ini lebih cepat dan lebih sempurna dalam menuntut ilmu, karena terkadang cara pertama dapat membuat penuntut ilmu sesat tanpa disadari, baik karena salah memahaminya maupun karena keterbatasan ilmunya atau kerena sebab lainnya. Adapun cara kedua, di dalamnya terdapat diskusi, memberi dan menerima dengan pengajar sehingga terbukalah berbagai pintu bagi penuntut ilmu untuk memahami, menyelidiki, serta mengetahui cara membela pendapat yang benar dan membantah pendapat yang lemah. Jika penuntut ilmu menggabungkan kedua cara tersebut, maka itu lebih baik dan lebih sempurna, maka bagi penuntut ilmu mulailah dari yang paling terpenting.[2]
Di antara kiat-kiat untuk mendapatkan ilmu syar’i adalah[3]:
- Ikhlas karena Alloh
Dalam menuntut ilmu kita harus ikhlas hanya karena Alloh l , dan seseorang tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas karena Alloh. Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’la berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Dan keikhlasan akan membawa seseorang untuk bersikap tawadhu’, yang akan membuahkan buah yang manis. Abu Yusuf berkata: “Wahai manusia! jadikanlah amal kalian hanya untuk Alloh. Sungguh, tak pernah sama sekali aku duduk di satu majlis, di mana aku meniatkan untuk bersikap tawadhu’, melainkan ketika bangkit dari majlis akupun mengungguli orang-orang. Dan tidak pernah aku duduk di satu majlis, di mana aku berniat untuk mengungguli orang-orang, melainkan ketika bangkit dari majlis perihal diriku pun (buruknya niat) menjadi tersingkap.”
Menuntut ilmu bukan karena Alloh Ta’ala termasuk dosa besar, sebab akan tercegah dari aroma surga, seperti yang diungkapkan dalam hadits.
- Memohon ilmu yang bermanfaat kepada Alloh Ta’ala.
Hendaknya setiap penuntut ilmu senantiasa memohon ilmu yang bermanfaat kepada Alloh l dan memohon pertolongan dari-Nya dalam mencari ilmu serta selalu merasa butuh kepada-Nya. Alloh l berfirman yang artinya:
“Dan katakanlah, ‘wahai Robb-ku tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Thoha: 114).
Rosululloh menganjurkan kita untuk selalu memohon ilmu yang bermanfaat kepada Alloh dan berlindung kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat. Rosululloh bersabda:
“Mintalah ilmu yang bermanfaat kepada Alloh, dan berlindunglah kepada Alloh dari ilmu yang tidak bermanfaat.”[4]
Namun realita menunjukkan, sebagian kaum muslimin justru mempelajari ilmu yang tidak bermanfaat; ilmu yang justru membuat umat bingung dan menjadi goyah aqidahnya. Maka perlu kita memohon kepada Alloh agar mendapat bimbinngan dalam mencari ilmu. Di antaranya dengan berdoa dengan do’a yang Rosululloh ucapkan:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“ Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rejeki yang halal, dan amal yang diterima.”[5]
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي، وَزِدْنِي عِلْمًا
“Ya Alloh, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku,dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”[6]
-اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah puas, dan do’a yang tidak dikabulkan.”[7]
- Mempersiapkan segala kebutuhan untuk menuntut ilmu
Ibarat seorang pemburu, pasti dia harus mempersiapkan alat untuk berburu. Begitu juga bagi seorang yang hendak mencari ilmu harus lebih mempersiapkan segala kebutuhannya untuk mendapatkan ilmu. Di antaranya adanya kesiapan rohani dengan menghadirkan hati untuk siap menerima ilmu dan adanya kesiapan materi seperti alat tulis menulis, mempersiapkan pelajaran yang akan disampaikan guru, dll.
Berkata Imam Syafi’i rahimahullah dalam sya’irnya:
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, malainkan dengan enam perkara.Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas.
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktu yang lama.”[8]
- Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan taqwa
Alloh Ta’ala berfirman:
“… Dan bertakwalah kepada Alloh, Alloh memberikan pengajaran kepadamu, dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282).
- Memulai dengan belajar sesuatu yang terpenting
Dengan tidak menyibukkan dengan pembahasan yang panjang sebelum menguasai pokoknya dan mempelajarinya dengan bertahap. Barangsiapa yang belum menguasai pokok maka tidak akan sampai (pada tujuannya)[9]. Barangsiapa yang menginginkan ilmu sekaligus (banyak) maka akan hilang darinya ilmu tersebut semuanya[10].
Oleh karena itu, Alloh menurunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, memulai dengan masalah yang terpenting yaitu masalah aqidah dan seterusnya dari masalah agama yang lainnya, supaya menjadi pondasi mereka dan memudah mereka untuk mempelajarinya serta mengokohkan hati kaum muslimin.
- Tidak boleh sombong dan malu dalam menuntut ilmu.
Rosululloh bersabda:
“…Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”[11]
‘Aisyah pernah berkata tentang sifat para wanita Anshar:
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.”[12]
Mujahid berkata: “Tidak bisa menuntut ilmu orang yang malu-malu dan tidak pula orang yang sombong.”
- Berusaha memahami ilmu, mengikatnya serta mengulang-ulangnya.
Dalam memahami pelajaran, manusia berbeda-beda keadaannya, ada yang langsung tanggap dan memahami pelajaran yang disampaikan, ada pula yang lambat. Namun, kita harus senantiasa berusaha memahami dan memohon kepada Alloh agar diberikan pemahaman. Sebagaimana Rosululloh bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Alloh, maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.”[13]
Kiat Memahami Pelajaran yang Disampaikan.[14]
Di antaranya adalah dengan mencari tempat duduk yang tepat di hadapan guru, memperhatikan penjelasan guru dan bacaan murid yang berpengalaman, bersungguh-sungguh untuk mengikat (mencatat) faidah-faidah pelajaran, tidak banyak bertanya saat pelajaran disampaikan, tidak membaca satu kitab kepada banyak guru pada waktu yang sama, mengulang-ulang pelajaran setelah kajian selesai, dan bersungguh-sungguh mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Rosululloh bersabda:
“Semoga Alloh memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku,kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya… .”[15]
Juga perlu untuk mengikat ilmu dengan menulisnya. Rosululloh bersabda: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.”[16] Maka di sini perlu ditegaskan perlunya pemahaman, menghafal, dan mengulang-ulangi pelajaran. Karena itu semuanya harus saling mendukung. Kalau tidak diikuti dengan mengulang pelajaran, ilmu akan cepat terlupakan. Karena itu sebagian ulama mengatakan: “Mengingat-ingat ilmu pada satu malam, lebih aku sukai daripada menghidupkan malamnya.”
- Memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan tidak menunda-nunda dalam belajar
Waktu adalah modal yang sangat berharga bagi penuntut ilmu. Manfaatkanlah waktu dengan sebaik mungkin. Bahkan dalam waktu sibuk, ada saja celah yang bisa dipakai. Abdur Rahman Bin Hatim Ar-Rozi bercerita tentang ayahnya, Abu Hatim Muhammad Bin Idris Ar-Rozi: “Kadang beliau makan, lalu aku membacakan padanya, beliau berjalan, dan aku membacakan padanya, beliau masuk ke kamar kecil dan aku membacakan padanya, dan beliau masuk rumah untuk mencari sesuatu dan aku membacakan padanya.”
- Mengamalkan ilmu syar’i yang telah dipelajari dan mendakwahkannya.
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan sekedar dihafal atau wawasan saja.
Rosululloh bersabda:
“Perumpamaan orang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti pelita yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri.”[17]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Amal pada hakikatnya adalah buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu, ia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barangsiapa mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya, ia telah menyerupai orang Yahudi.”[18]
Dan ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya. Alloh berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Robb-Mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125).
Dakwah ini harus dengan mengetahui syariat Alloh sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashiroh, berdasarkan firman Alloh:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan yakin, Mahasuci Alloh, dan aku tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Berdakwah mengajak manusia kepada Islam yang benar harus memenuhi tiga syarat: aqidahnya benar,manhajnya benar,beramal dengan benar.
Semoga uraian yang sedikit ini bisa memberi jalan terang bagi kita untuk mulai meniti ilmu di atas jalan yang sesuai sunnah. Amin.
Referensi: “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Panduan Menuntut Ilmu”,karya Ust Yazid bin Abdul Qadir Jawas, pustaka at-Taqwa, th. 2007, dengan tambahan dari sumber lain seperti buku “Kitâbul ‘Ilmi”,karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan Hilyatu Thôlibil ‘Ilmi,karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dll.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 05 Tahun 02
[1] HR. Muslim (no. 2699)dll, dari Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu.
[2] Dinukil dengan sedikit ringkasan dari buku “Kitabul ‘Ilmi”, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
[3] Dinukil dengan sedikit ringkasan dari buku “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Panduan Menuntut Ilmu”,karya Ust Yazid bin Abdul Qadir Jawas. (hal 65-106), dengan tambahan dari sumber lain seperti “Kitâbul ‘Ilmi”,karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, “Hilyatu Thôlibil ‘Ilmi”,karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan lainnya.
[4] HR. Ibnu Majah (no. 3845)dll, dari Jabir radiyallaahu ‘anhu. Lihat sisilah Ash-Shohîhah (no. 1511).
[5] HR. Humaidi (I/143,no. 299),ibnu Majah (no. 925) dll. Dari Ummu Salamah radhiyallohu ‘anha. Lihat Shohîh Ibni Majah (I/152,no. 753).
[6] HR. Tirmidzi (no. 3599) dan Ibnu Majah (no. 251, 3833), dari Abu Hurairah Radhiyallohu ‘anhu. Lihat Shohîh Sunan At-Tirmidzi (no. 2845) dan Shohîh Sunan Ibni Majah (no. 203).
[7] HR. Muslim (no. 2722) dll.dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallohu ‘anhuma.
[8] Diwan Imam Asy-Syafi’i (hal. 378) Cet. Darul Fikr, th. 1415 H.
[9] Tadzkiratus Saami wal Mutakallim (hal. 144)
[10] Fadhlul ‘Ilmi, (hal. 144)
[11] HR Muslim
[12] HR Bukhori
[13] HR. Bukhori (no. 71, 3116, 7312),Muslim (no.1037) dll, dari Mu’awiyah bin Sufyan radhiyallohu ‘anhuma.
[14] Dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 28-30).
[15] HR. Tirmidzi (no. 2658), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu ‘anhu.
[16] HR. Ibnu ‘Abdil Bar dalam al-Jaami’ (I/306, no. 395), dai Anas bin Malik. Lihat dalam kitab Silsilah ash-Shahiihah (no. 2026).
[17] HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 1681) dll, dari Jundub radhiyallohu’anhu. Lihat Shohîh al-Jâmi’ish Shoghîr (no.5837)
[18] Syarah Tsalatsatil Ushûl (hal. 22)
Leave a Reply