Hubungan dan Dasar Pengajaran dan Pendidikan
Pengajaran atau ta’lim yang merupakan proses tashfiyah sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan tarbiyah. keduanya sebenarnya tidak dapat disisihkan dengan tarbiyah. Keduanya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Tidak akan ada Pendidikan (tarbiyah) tanpa pengajaran (ta’lim). Dan Ta’lim tanpa tarbiyah tidak akan membuahkan apa-apa.[1]
Itu merupakan salah satu tugas penting Rasulullah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Artinya: ‘… Dan (Rasul yang) membersihkan jiwa mereka (dari kotoran syirik), dan mengajarkan kepada al-Kitab dan al-Hikmah.” (QS. Ali Imran (3): 164)
Jadi proses pembersihan jiwa (Tazkiyatun nufus) yang dilakukan oleh Rasulullah, dibarengi dengan proses pengajaran yang berkesinambungan.
Tugas ini bahkan merupakan anugerah kepada Nabi kita yang telah dipersiapkan Allah Subhanahu Wata’ala jauh hari sebelum beliau lahir. Yakni semenjak Nabi Ibrahim, kakek moyang beliau, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar kelak dikemudian hari Allah mengutus seorang Rasul yang mengajarkan Kitab Allah dan membersihkan jiwa mereka.[2]
Sungguh Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mengisahkan doa Nabi Ibrahim tersebut:
رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
Artinya: “Ya Rabb kami, utuslah di tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan mensucikan jiwa mereka. sungguh engkaulah yang maha perkasa maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqoroh (2): 129)
Kemudian datanglah perkenan dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang ini tertuang dalam banyak ayat, sebagai anugerah. [3] di antara perkenan atau pengabulan doa sang kekasih Ibrahin tersebut terlihat pada firman Allah Ta’ala berikut:
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang rasul (Muhammad) dari kalangan kamu, yang membacakan ayat-ayat kami, menyucikan jiwa kamu, dan mengajarkan Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah (as-sunnah) serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui,” (QS. Al-baqoroh (2): 151)
Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:
لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَالٍ مُبِين
Artinya: “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman Ketika Allah mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qurab) dan Hikmah (as-Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ali Imran (3): 164)
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta Huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan Hikmah. Sungguh mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. “ (Qs Al-Jumuah (62):2)
Untuk itu, nabi bersabda “Aku adalah hasil dari doa bapakku yaitu Ibrahim.” (HR. Ibnu Ishaq dan Al-Hakim)[4]
Dengan demikian ilmu serta tazkiyatun nufus (pembersihan jiwa) adalah dua tugas yang merupakan doa Nabi Ibrahim, dan ternyata Allah Subhanahu Wata’ala memperkenankan doa beliau, tetapi dalam perkenan-Nya, Allah mendahulukan penyebutan tugas pembersihan jiwa dari pada tugas ilmu. Sebab seseorang akan dapat menguasai ilmu dengan benar, jika jiwanya bersih. Artinya, ilmu akan memberikan buahnya dan hasilnya setelah pemilik ilmu itu membersihkan jiwanya. Dan itu tidak akan terwujud dengan baik kecuali jika dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah yang benar[5]
Kemudian dasar pendidikan dan pengajaran islam adalah Al-Quran dan as-sunnah. Maka pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, begitu juga tentang penyajian isi materi, harus dikembalikan kepada Al-Quran dan as-sunnah.
Persoalannya apakah cukup sekadar klaim berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah? untuk menjawab permasalahan ini, perlu dikaji tentang fakta kehidupan kaum muslimin yang terpuruk dalam perpecahan. Ternyata, seluruh kaum muslimin dengan kelompok masing-masing mengklaim rujukan mereka, termasuk dalam berselisih, adalah Al-Quran dan as-Sunnah.
Jadi sebenarnya, dimana letak persoalannya? mengapa kaum muslimin tetap terpecah belah padahal dasar pijakannya sama, yaitu Al-Quran dan as Sunnah?
Disini, disamping perlu peningkatan pembinaan mental, sehingga menjadi Ikhlas beragama, yaitu merasa sama sama menjadi hamba Allah dan pengikut Rasulullah. Maka perlu juga pedoman lain untuk mengukuhkan dasar Al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman Pendidikan pengajaran, bahkan pedoman hidup.
Pada kenyataanya, kaum muslimin masih belum dapat bersatu paham meskipun semua sudah mengaku berpijak pada landasan Al-Quan dan as Sunnah Nabi. Dengan demikian, sebenarnya belum cukup hanya berslogan Kembali kepada Al-Quran dan as-Sunnah. Sebab faktanya, persepsi dan interpretasi orang terhadap keduanya tidak sama. mereka memahami Al-Quran dan as Sunnah menurut pendapatnya sendiri-sendiri. Sehingga akibat ketidaksamaan persepsi, maka perpecahan di kalangan kaum muslimin, tak dapat terelakan, terpecahlah kaum muslim, sebagaimana telah diberitakan oleh Nabi, menjadi golongan yang saling berseteru dan saling tidak percaya.
Untuk itu diperlukan satu sikap untuk menyeragamkan persepsi umat tentang intrpretasinya terhadap Al-Quran dan as-Sunnah. Satu sikap pemersatu bagi persepsi itu adalah sikap kembali pada pemhaman para salafush shalih, yaitu para sahabat Nabi dalam memahami islam, terkhusus saat merujuk Al-Quran dan As sunnah.
Jadi disamping merujuk kepada Al-Quran dan as-Sunah, perlu ditambahkan lagi satu prinsip lain, yaitu mengikuti pemahaman kedua nash inti tersebut (Al-Quran dan as-Sunnah). Yang menegaskan persoalan ini antara lain Firman Allah Ta’ala:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk (kebenaran) baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat Kembali.” (QS. An nisa (4): 115)
Ayat diatas menjelaskan, siapa saja yang tidak mau mengikuti jalan kaum mukminin pasti tersesat. jadi, ayat ini merupakan bukti tegas tentang wajibnya mengikuti jalan mereka dalam memahami Syariat Allah. Jalan kaum mukminin yang dimaksud adalah jalan para sahabat Nabi, sebab merekalah kaum mukminin generasi pertama yang dijamin keimanannya.[6]
Masih ada beberapa ayat lain yang menegaskan keharusan umat untuk mengikuti jalan para sahabat Nabi dalam memahami ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadist Nabi.
Bahkan Imam Ibnul Qoyyim dalam salah satu kitab karya tersohornya. I’llam Muwaqqi’I ‘an Rabbi al-‘Alamin, menyebut ada empat puluh dalil di antara dalil-dalil yang menunjukan wajibnya mengikuti para sahabat terdiri dari belasan-belasan Al-Quran, belasan hadist nabi, serta puluhan kesaksian para sahabat sendiri tentang benarnya pemahaman mereka. Belum lagi argumentasi lain yangn jelas mendukung pernyataan tersebut[7]
Diantara dalil argumentasinya dalah Firman Allah Ta’ala:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
Artinya: “Orang-orang terdahulu lagi pertma-tama masuk Islam dari kalangan para Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan (kebaikan), maka Allah Ridha terhadap Allah dan Allah Ridha terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap Allah. Dan Allah sediakan bagi mereka rumah-rumah di Surga yang mengalir di bawahnya Sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. itulah keuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah (9): 100)
Berkenaan dengan ayat tersebut, Imam Abnul Qoyyim menjelaskan: ‘Segi pendalilan dari ayat inilah bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memberikan pujian kepada siapa saja yang mengikuti para sahabat. Jika para sahabat nabi mengatakan suatu perkataan, lalu ada seseorang mengikuti perkataan tersebut meskipun belum mengerti kebenaran isinya, maka ia adalah seorang pengikut sahabat. sehingga ia pasti terpuji karenanya dan berhak mendapatkan Ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Andai kata ittiba’ kepada sahabat disebut taklid buta seperti terjadi kepada sebagian ahli fatwa, tentu orang yang mengikuti sahabat tidak berhak mendapat Ridha Allah kecuali orang awam. Jika demikian, artinya para ulama ahli ijtihad tidak boleh mnegikuti para sahabat. tentu saja, pemahaman ini tidak benar.
Selanjutnya Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan secara panjang lebar tentang kepastian ayat diatas sebagai dalil tentang wajibnya mengikuti manhaj sahabat Nabi atau pemahaman salafush shalih. Lalu seterusnya, beliau membawakan belasan ayat-ayat itu didukung dengan ayat-ayat yang lain yang menafsirkannya. begitu juga belasan hadist serta perkataan para sahabat dan para ulama tentang hal ini.
Kemudian sunnah Nabi yang menunjukan wajibnya ,mengikuti jalan sahabat antara lain sabda beliau, “kalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafa’ur Rasidin (empat khalifah pertama imat ini ) orang-orang yang berlimu dan mendapat petunjuk, pegang teguhlah sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi gigi geraham.” (HR. Abu dawwud, at-Thirmidzi, dan Ibnu Majjah)[8]
Segi pendalilan dari hadist ini adalah bahwa Ketika teradi perselisishn, Rasulullah memerintahkan umatnya supaya berpegang pada sunnah Nabi dan Sunnah para sahabat (lebih khusus lagi para Khalifah rasyidin tadi).[9]
Pengertian hadist diatas dipertegas dengan hadist iftiraq, yaitu hadist yang menjelaskan perpecahan umat menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecauali satu. satu golongan yang selamat itu adalah : ”Yaitu golongan uang menempuh apa yang kau dan para sahabatku tempuh.” (HR. Ash-habu Sunan)
Jadi beberapa bukti diatas mengharuskan adanya satu kaidah lain di dalam memahami agama ataupun memahami Al-Quran dan as-Sunnah nya supaya persepsi umat Islam menjadi sama, yaitu merujuk kepada pemahaman salafush shalih, para sahabat. Tidak cukup hanya pengakuan Kembali kepada al-Quran dan as-sunnah berdasarkan pemahaman sendiri.
Kesimpulannya dari tulisan di atasa adalah hubungan antara pengajaran atau taklim dan pendidikan atau tarbiyah itu tidak bisa dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Dua duanya harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan dasar dari pendidikan dan pengajaran adalah Al-Quran dan as-Sunah dengan merujuk pada pemahaman salafus shalih, para sahabat, bukan al-Quran dan Al Hadist berdasarakan pemahaman sendiri.
[1] lihat a;-Asalib at-Tarbiyah ‘inda Syaikhal-Islam Ibni taimiyah (hlm. 183).
[2] Lihat Massyur Hasan Salman, Muqadimah. Juga ara al-Imam al Bani at-Tarbawiyah (hlm.6) karya Iyad Muhammad asy-Syami, Muqadimah wa ta’liq Syaikh Masyur Hasan al-Salman, ad-Atsariyah, cet. I 1430 H/2009 M
[3] ara’ al Imam al-Albani at_Tarbawiyyah (hlm. 6)
[4] Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam sebuah silsilah shahihah (no 1545, 1546).
[5] Masyur Hsan Salman, Muqadimah: ara al-Imam al-Albani at at=Trbawiyah (hlm .^)
[6] Salim bin Ied al-Hilali, Limadza ikhtartu al-Manhaja as-salafiy (hlm. 89), Dar ibnu al-Qayyim, Damam – Saudi Arabia
[7] LIhatlah I’lam al-Muwaqqiin (IV/hlm. 123-156). Syaikh salim al-Hilali juga menukil beberapa pernyataan Imam Ibnul Qoyyim ini secara ringkas dalam Bashair Dzawi asy Syaraf bi Syarhi Marwiyyat Manhaji as-salaf (hlm 43). Dari Kitab inilah penulis dituntun untuk merujuk pada kitab I’lam al Muwaqqiin
[8] Sunan Abi Dawwud, (IV/hlm. 393, no. 4607):\; Sunan At-Thirmidzi (V/hlm. 43, no.2676); juga shahih Sunan Dawud (III/hlm. 118-119, no 4607, dan Ahahih sunnan iibni Majah (I/hlm. 31-32, no. 40/42)
[9] Al-hilali, Limadza ikhtatrtu al0Manhaja as-Salafiy, hlm. 95-96.
Referensi : Pendidikan Islam basi Pembangunan Umat
Penulis : Ahmas Faiz Asifudin, Lc. MA
Penerbit : Pustaka Imam Syafi’i
Diringkas oleh : Iis Rosmi Rojibah S.S. (pengajar di Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadist)
Baca juga artikel:
Leave a Reply