Adab Terhadap Syaikh, Ustadz, atau Gurunya

ADAB TERHADAP SYAIKH

ADAB TERHADAP SYAIKH, USTADZ, ATAU GURUNYA

Segala puji bagi Allah, kami memuji-nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan Rasulnya.

Islami ini menyenangi akhlak yang mulia. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

إن الله تعالى كريم،  يحب الكرم،  ويحب المعالي الأخلاق، ويكره سفسافها.

Artinya: “Sesungguhnya Allah ta’ala itu kariim (Maha Dermawan),mencintai kedermawanan dan mencintai Allah akhlak yang mulia dan Allah membenci akhlak akhlak yang rendah (hina). ”

Akhlak yang rendah apa? Seperti kesombongan, kekikiran, kemalasan, pengecut, sikap kasar, keras kepala, ini semua anak yang rendah. Tinggalkan semua akhlak yang rendah itu!!. (Shahihul Jami’: no. 1800, hadits shahih)

Banyak orang yang tidak punya akhlak kepada gurunya atau ustadz nya. Ketemu gurunya tidak salam, tidak negur, Antum setiap hari belajar, setiap pekan belajar, kenapa kepada gurunya negur? Kenapa tidak salam? Sepertinya tidak mau ketemu dengan gurunya, tapi ngambil ilmunya mau. luangkan waktu sedikit paling tidak satu menit salaman, ketemu dan datangnya gurunya, berikan salam dan senyum kepada mereka, bukan gurunya yang mendatangi murid, tapi murid yang mendatangi guru.

Adab seseorang merupakan indikator antara kebahagiaan dan kesuksesannya, dan kurang adab-adabnya ( kurang ajar) nya merupakan ciri-ciri(tanda) celaka dan binasa nya seseorang. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu wajib menjaga akhlaknya kepada kedua orang tuanya, syaikhya, ustadz nya, atau gurunya.

Diantara Adab Adab penuntut ilmu terhadap Syaikh, Ustadz, atau gurunya adalah:

  1. Sebelum menuntut ilmu hendaklah seorang pelajar melihat dan beristikharah kepada Allah tentang orang yang akan dijadikannya sebagai guru,yaitu orang-orang yang kelak diteladani akhlak dan adab nya. Jika memungkinkan hendaklah ia belajar pada seseorang yang sempurna keahliannya, terwujud rasa simpati dalam dirinya, nampak kehormatannya, di dikenal sikap iffah (menjaga kehormatan)nya, dan telah terkenal hafalannya karena yang demikian itu lebih baik dalam proses belajar dan lebih baik dalam mendatangkan pemahaman.
  2. Menghormatinya dan memuliakan kedudukannya, baik ketika ada maupun ketika tidak ada.Yang demikian itu karena mulianya kedudukannya di sisi Allah Ta’ala dan dia termasuk pewaris Nabi Muhammad.
  3. Memulai mengucapkan salam, meminta izin ketika akan duduk atau pergi dari majelis ilmu karena ada keperluan.
  4. Hendaklah ia duduk di majelis ilmu dengan cara duduk seorang pelajar, dengan penuh adab, dan tidak duduk sambil bersandar( menyindir ke dinding) atau dengan membelakanginya.
  5. Berbaik sangka apabila guru memberikan hukuman kepadanya, dan hendaklah ia mengetahui bahwa hal itu untuk suatu kebaikan, bukan karena balas dendam.

Seorang penuntut ilmu harus sabar menghadapi guru-gurunya yang sedang marah.Janganlah ia meninggalkan gurunya karena dengan begitu ia telah kehilangan kebaikan yang banyak dari warisan para Nabi berupa ilmu yang bermanfaat.

Ketika seorang penuntut ilmu tidak sabar dan tidak ihtirom (hormat) kepada gurunya maka dia tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan tidak mendapatkan keberkahan ilmu. Seorang penuntut ilmu harus sabar menghadapi sikap gurunya yang kurang baik.

  1. Tidak boleh sombong atau malu untuk bertanya kepada gurunya; dan hendaklah ia beradab yang baik ketika berbicara dengan gurunya. Berbicara dengan sopan santun dan tidak boleh dengan kata-kata yang kasar.
  2. Mengikuti akhlak baik, perilaku yang terpuji, dan amal shalih gurunya. Tidak ada larangan untuk apabila ia melakukan kesalahan dan dilakukan dengan penuh adab( lemah lembut) tidak di hadapan orang lain atau tidak melepas batas.
  3. 8. Mendatangi majelis ilmu lebih awal daripada gurunya.
  4. Seorang penuntut ilmu harus berusaha memperhatikan apa yang disampaikan guru atau ustadz nya, berusaha untuk memahami dan mengamalkan nasehatnya, berbuat baik kepada guru dan berusaha untuk membalas kebaikannya. Juga jangan menyusahkan guru atau ustadznya, bahkan apa yang bisa kita bantu kita wajib bantu dengan lisan, tenaga, harta, dan apa yang ada pada kita dan kita tawarkan bantuan dengan ikhlas. Jangan membicarakan aib guru atau ustadznya, bahkan wajib untuk menutup aibnya serta mendo’akan agar guru atau ustadznya Istiqomah dijalan yang benar.
  5. Seorang penuntut ilmu harus membalas kebaikan gurunya, sebab kebaikan dibalas dengan kebaikan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان

Artinya: “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). ” (QS. Ar-Rahman: 60)

Kebaikan dari ilmu yang diajarkan oleh ustadz, belum bisa kita balas dengan apapun juga, kita harus berterima kasih kepada guru ( ustadz) dan mendoakan mereka dengan kebaikan.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

لا يشكر الله من لا يشكر الناس

Artinya: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Ahmad dalam musnadnya)

Guru, ustadz seperti orang tua kita. Guru, ustadz adalah orang tua kita dalam agama, dan dengan perantara guru kita mengetahui agama Islam, kita mengetahui tentang aqidah, kita mengetahui tentang manhaj, kita mengetahui tentang sunnah dan lainnya. Guru atau ustadz sebagai penghubung antara kita dengan Allah. Artinya kita bisa mengetahui cara beribadah dengan benar kepada Allah dengan perantara guru atau ustadz, maka kita wajib membalas kebaikan guru atau ustadz, kalau tidak mampu membalas kebaikannya, maka do’akan dengan kebaikan guru atau ustadz yang telah membimbing kita kepada kebaikan.Ingat, jangan sekali-kali kurang ajar pada guru atau ustadz, karena kurang ajar kepada guru adalah perbuatan yang tidak baik, bahkan ini merupakan perbuatan orang yang tidak tahu budi pekerti dan tidak punya adab.

Setiap menuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memuliakan mereka, berlapang dada ketika terjadi ikhtilaf diantara ulama dan selain mereka dan memaklumi orang yang menurut keyakinannya telah menempuh jalan yang salah dalam memahami nash(dalil).Ini adalah poin yang sangat penting karena sebagian manusia ada yang mencari-cari kesalahan orang lain untuk disikapi dengan sikap yang tidak layak atas mereka dan merusak nama baik mereka di kalangan manusia. Ini termasuk kesalahan terbesar karena apabila berbuat ghibah  terhadap manusia biasa sudah termasuk dosa besar apalagi mengghibah seorang ulama tentu dosanya lebih besar lagi karena berbuat ghibah terhadap seorang ulama mudharatnya tidak hanya pribadi yang bersangkutan tetapi juga terhadap ilmu syar’i yang dibawahnya.

Apabila manusia menganggap enteng seorang ulama atau harga dirinya jatuh dalam pandangan mereka, maka ucapannya pun akan jatuh. Jika dia(Ulama) mengatakan kebenaran dan menuntun kepadanya,maka  ghibah manusia kepada ulama ini menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu syar’i yang dibawanya. Dan bahaya tentang hal ini besar sekali.

Para pemuda wajib menanggapi ikhtilaf yang terjadi diantara ulama dengan niat yang baik dan didasari dengan sikap ijtihad serta memaafkan mereka dalam kesalahan mereka. Tidak ada halangan untuk berbicara kepada mereka dalam hal yang mereka yakini bahwa itu salah, untuk menjelaskan kepada mereka apakah kesalahan itu datang dari mereka atau dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka salah. Karena terkadang manusia menganggap bahwa pendapat seorang alim itu salah kemudian setelah diadakan diskusi, jelaslah baginya bahwa dia adalah benar. Manusia itu adalah orang biasa (terkadang salah terkadang benar).

Adapun bergembira dengan kesalahan dan penyimpangan seorang ulama untuk disebarkan di kalangan manusia sehingga terjadi perpecahan, maka ini bukanlah jalan hidup kaum Salaf.

Referensi:

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab terhadap Syaikh, Ustadz, atau Gurunya, Pustaka At-Taqwa, Edisi ke-23 jumadal akhirah 1441H/ Februari 2020, Peringkas: Anas Arlaya.

Baca juga artikel:

Mengapa Akidah Salaf Kokoh dan Selamat

Ummi

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.