Semarak Iedul Fithri dirasakan kaum muslimin, setiap muslim menyambutnya dengan suka cita. Bahkan kaum yang kurang berada pun ikut merasakan hal yang sama. Anak-anak kaum muslimin berkumpul bercanda, bahagia menyambut hari yang terjadi sekali dalam setahun ini. Dalam menyambut hari istimewa yang dikhususkan Alloh untuk kaum muslimin ini terkadang sebagian kaum muslimin terlena hingga melalaikan makna yang terkandung dalam Iedul Fithri. Sehingga sebagian saudara kita terpeleset pada beberapa kesalahan yang seharusnya bisa dihindari. Di antara kesalahan wanita dalam berhari raya yaitu:
- Membayarkan zakat fithri kepada yang tidak berhak.
Banyak dikalangan ibu-ibu muslimah membayarkan zakat fithrinya ke para pemuka agama, kyai, ustadz, hingga lembaga pendidikan. Padahal zakat fithri hanya diperuntukkan bagi fakir miskin dari kalangan kaum muslimin, agar kebutuhan pokok mereka terpenuhi -paling tidak- pada hari dimana berpuasa diharamkan.
Hal ini berdasarkan hadits:
زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو و الرفث و طعمة للمساكين من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة و من أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
“Zakat fithri adalah pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan dosa, (zakat fithri juga) sebagai makanan bagi orang-orang miskin, barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat ied, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu (dianggap) sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang lain. (HR. Ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Rosululloh menyatakan kalau zakat fithri adalah makanan bagi orang miskin, maka zakat fithri harus berupa makanan pokok dan diserahkan kepada fakir miskin, bukan kepada pemuka agama ataupun lembaga pendidikan.
- Tidak keluar ke musholla dengan alasan sedang haid
Shalat Ied hukumnya wajib bagi muslim dan muslimah. Bahkan bagi wanita yang sedang haid-pun diperintahkan untuk diajak keluar menghadirinya. Hal ini berdasarkan perintah Rasululloh:
أخرجوا العواتق وذوات الخدور ؛ فليشهدن العيد ودعوة المسلمين وليعتزل الحيض مصلى المسلمين
“Keluarkanlah anak-anak perempuan yang sudah baligh dan anak perempuan yang masih dipingit ; hendaknya menreka menyaksikan shalat Ied dan doa kaum muslimin, dan hendaknya perempuan yang haid menjauh dari mushalla kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits diatas Rosululloh memerintahkan juga kepada muslimah yang sedang haid untuk menghadiri shalat ied. Agar bisa menyaksikan kebaikan-kebaikan pada hari itu. Lebih tegas lagi Rosululloh memerintahkan dalam redaksi yang berbeda:
لتخرج العواتق وذوات الخدور والحيض فيشهدون الخير ودعوة المؤمنين ويعتزلن الحيض المصلى
“Hendaknya anak-anak perempuan yang baru baligh dan gadis-gadis pingitan serta perempuan-perempuan haid keluar, (agar) mereka menyaksikan kebaikan dan doa kaum mu’minin, dan hendaknya perempuan yang haid menjauh dari musholla. (HR. Al-Bukhari dan selainnya)
Ummu Athiyah -semoga Alloh meridhainya- bercerita: “Rasululloh memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan mereka (para gadis, anak perempuan yang sedang dipingit dan perempuan haid, sedangkan wanita yang haid tidak ikut shalat, (agar) mereka menyaksikan kebaikan dan doa kaum mu’minin. Lalu kamu bertanya kepada Rasululloh: “Wahai Rasululloh, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Mala Nabi menjawab:
“Hendaknya saudara (seiman)nya meminjamkan jilbab untuk dikenakannya.”
Dalam riwayat yang lain, Ummu Athiyah menambahkan:
الحيض يخرجن فيكن خلف الناس يكبرن مع الناس
“Wanita yang haid, keluar (untuk menyaksikan shalat Ied), mereka berada di belakang manusia (kaum muslimin yang sedang shalat), mereka bertakbir bersama manusia.” (HR. Muslim)
- Ikhtilat antara laki-laki dengan wanita
Silaturahmi, saling mengunjungi sanak famili pada hari raya Iedul Fithri merupakan tradisi kaum muslimin di negeri ini. Bukanlah hal itu suatu cela atau dosa, bahkan sangat dianjurkan sesering mungkin bukan hanya setahun sekali. Agar silaturahmi berbuah pahala yang sempurna, selain niat, tata cara juga hendaknya diperhatikan. Hingga acara halal bi halal -sebagaimana kaum muslimin di negeri ini menyebutnya- bisa berbuah suatu yang halal, bukan mengotorinya dengan yang haram. Ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dalam acara tersebut bisa menjadi “noda perusak pahala” karenanya diharamkan syariat yang mulia ini. Alloh ta’ala berfirman -yang artinya-:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i -rahimahulloh- berkata: “Maksudnya ayat ini adalah: Sebagaimana kami melarang kalian untuk mengunjungi (hingga bertatap muka dalam satu ruangan), begitu juga, janganlah kalian memandang mereka secara keseluruhan, dan jika salah seorang diantara kalian memerlukan satu kebutuhan dari mereka(istri-istri Nabi), maka kalian jangan memandang mereka, dan janganlah meminta kebutuhan kepada mereka kecuali dari belakang tabir.”
Rosululloh sangat menjaga agar tidak terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, bahkan di tempat yang paling mulia di muka bumi ini yaitu di masjid-masjid, dimana beliau memisahkan antara shaf laki-laki dan shaf perempuan, dan beliau berdiam diri (tidak segera berbalik ke arah jamaah shalat) hingga jamaah wanita pergi meninggalkan masjid, beliau juga membuatkan pintu khusus untuk jamaah perempuan.
Ummu Salamah -semoga Alloh meridhainya- berkata: “Dahulu jika Rasululloh salam (selesai shalat) para wanita berdiri ketika sudah selesai salamnya Rasululloh, lalu beliau berdiam diri sejenak sebelum berdiri.” Ibnu Syihab berkata: “ Menurut hemat saya -wallohu a’lam- bahwa maksud Rasululloh berdiam diri sejenak agar jamaah wanita pergi dulu, sehingga tidak berbarengan dengan jamaah laki-laki nantinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Abu Daud)
Rasululloh bersabda:
لَوْ تَرَكْنَا هَذَا الْبَابَ لِلنِّسَاءِ
“Seandainya kita membiarkan pintu ini khusus untuk perempuan.” (HR. Abu Daud)
Beliau juga bersabda:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Shaf laki-laki yang terbaik adalah yang paling awal (depan), dan yang terburuk adalah yang paling belakang. Dan shaf wanita terbaik adalah yang akhir (paling belakang), dan yang terburuk adalah yang awal (terdepan). (HR. Muslim)
Bukanlah maksud Rasululloh dalam hadits ini kecuali agar laki-laki dan wanita terpisah, tidak bercampur (ikhtilath).
Hal ini (pemisahan laki-laki dan perempuan) di masjid, dimana masjid adalah tempat ibadah yang suci ketika laki-laki dan perempuan jika berada di dalamnya niscaya terjauhkan dari syahwat, maka pemisahan antara laki-laki dan perempuan di selain masjid lebih diutamakan.
- Bersalaman dengan laki-laki yang bukan mahromnya.
Bersalaman dan saling memaafkan memang identik dengan acara halal bi halal. Bersalaman memang disyariatkan bagi sesama muslim, Rosululloh bersabda:
إن المسلم إذا صافح أخاه تحاتت خطاياهما كما يتحات ورق الشجر
“Sesungguhnya seorang muslim jika menyalami saudaranya, maka dosa-dosanya berguguran, seperti dedaunan pohon berguguran.” (HR. Abdurrozaq dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Akan tetapi, bersalaman ada batasan yang harus diindahkan. Tidak bersalaman dengan laki-laki yang bukan mahram, karena Nabi tidak pernah bersalaman dengan wanita:
إني لا أصافح النساء
“Sesungguhnya aku tidak pernah bersalaman dengan wanita.” (HR. Malik, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Maajah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Ibunda kita Aisyah -semoga Alloh meridhainya- berkata:
ما مست يد رسول الله يد امرأة قط، ما كان يبايعهن إلا بالكلام
“Tangan Rasululloh sama sekali tidak pernah tersentuh tangan perempuan, tidaklah beliau memabaiat perempuan kecuali dengan ucapan saja.” (HR. Al-Bukhari dan selainnya)
Bahkan Rasululloh berkata:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرُ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
“Andaikan kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik (ringan) baginya dibandingkan menyentuh seorang wanita yang tidakk halal baginya”. (HR. Ar-Ruyaniy dan Ath-Thobroniy dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
- Berpakaian tabarruj (berhias dengan pakaiannya) dan memakai wewangian yang mengundang fitnah.
Dalam berhari raya banyak muslimah berlomba memamerkan keindahannya. Mereka berhias dengan hiasan yang mencolok, berpakaian dengan pakaian yang semarak yang bahkan tampil seronok. Apakah ini makna hari raya bagi mereka? Padahal Alloh ta’ala melarang tabarruj dalam berpakaian.
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Rasululloh bersabda:
أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا من ريحها فهي زانية
“Perempuan siapa saja yang memakai wewangian, lalu ia berjalan hingga berjumpa sekelompok orang yang mencium aroma wanginya, maka dia (perempuan tadi) adalah seorang pezina.” (HR. An-Nasai, Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Abu Daud dan at-Turmudzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy)
Bahkan sebagian muslimah berangkat ke musholla dengan tanpa menutupi aurotnya, mukena sebagai penutup aurot hanya dikenakan ketika shalat.
- Safar tanpa mahrom
Mudik atau pulang kampung sudah mendarah daging bagi para perantau di tanah air kita. Bahkan mudik merupakan momen terpenting sepanjang tahun bagi mereka. Mereka rela menempuh perjalanan yang penuh ketidak nyamanan demi bertemu saudara di kampung halaman. Terkadang mereka mengacuhkan keselamatan diri, bahkan mengesampingkan larangan bagi muslimah untuk safar (bepergian jauh) tanpa mahrom.
Rasululloh bersabda:
لا تسافر إمرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah seorang perempuan bepergian, kecuali bersama mahramnya.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Dalam hadits yang lain, beliau bersabda:
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم عليها
“Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Alloh dan hari akhir bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya.” Dalam riwayat yang lain: “perjalanan sehari” Dan dalam riwayat yang lain: “perjalanan semalam” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Malik)
- Berduaan dengan calon suami/pacar
Tradisi saling mengunjungi, yang muda mengunjugi yang lebih tua. Bahkan momen Iedul Fithri terkadang digunakan untuk mengenalkan calon suami/pacar kepada keluarga. Padahal berduaan dengan orang yang belum halal (calon suami) adalah perbuatan yang berbahaya, sebagaiamana sabda Rasululloh:
ولا يخلون رجل بامرأة ؛ فإن ثالثهما الشيطان
“Tidaklah seorang laki-laki menyendiri bersama seorang perempuan; maka sesungguhnya yang ketiga adalah setan.” (HR. At-Turmudzi, al-Hakim, al-Baihaqi. Dikatakan Shaih oleh al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
Padahal setan adalah musuh manusia yang paling nyata. Mereka selalu berusaha agar kita binasa. Relakah kita membawa orang yang kita cintai ke hadapan musuh kita?
Makanya Rasululloh melarang perbuatan tersebut dalam sabdanya:
لا يخلون أحدكم بامرأة إلا مع ذي محرم
“Janganlah salah seorang daintara kalian menyendiri (khalwah) dengan perempuan, kecuali bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
- Mengkhususkan ziaroh kubur setelah atau sebelum shalat Ied
Ziarah kubur merupakan perkara yang dianjurkan oleh syari’at kita, selama di dalamnya tak ada pelanggaran, seperti melakukan kesyirikan, dan perbuatan bid’ah (perkara yang tak ada contohnya). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,“Berziarahlah ke kubur, karena sesungguhnya ia akan mengingatkan kalian tentang akhirat”. (HR. Ibnu Majah dishohihkan oleh Syaikh Al-Albaniy)
Adapun jika di dalam ziarah terdapat perbuatan kesyirikan (seperti, berboda kepada orang mati, meminta sesuatu kepadanya, dan mengharap darinya sesuatu), maka ini adalah ziarah yang terlarang. Demikian pula, jika dalam siarah ada perbuatan bid’ah (tak ada contohnya dalam syari’at), seperti mengkhusukan waktu dan tempat ziarah kubur, maka ini adalah ziarah yang terlarang pula. Nabi bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami sesuatu yang bukan termasuk darinya, maka sesuatu itu akan tertolak.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)
Jadi, mengkhususkan ziarah kubur di awal Romadhan dan atau hari raya merupakan perkara yang terlarang, karena ia termasuk bid’ah, tidak ada tuntunannya dari Nabi dan para shahabatnya dalam mengkhususkannya. Mereka berziarah kapan saja, tak ada waktu dan tempat khusus ketika ziarah kubur. Yang jelas, bisa mengingat mati sesuai sunnah.
Demikian beberapa kesalahan muslimah dalam menyambut hari raya Iedul Fithri, semoga menjadi renungan dan bisa menjadikan Ied ini lebih bermakna.
Referensi:
Al-Qur’an Al-Karim
Fathul Bari
Minhajul Muslim
Al-Wajiz
Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab
Irwaul Ghalil
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 02 Tahun 02
Leave a Reply