SEORANG PENUNTUT ILMU

SEORANG PENUNTUT ILMU BELUM FIX

 

Seorang Penuntut Ilmu –Bismillah segala puji bagi Allah atas segala nikmat-Nya yang terus menerus dan karunia-karuniaNya yang senantiasa mengucur. Sholawat dan salam semoga Allah curahkan kepada nabiNya yang terbaik, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau serta orang-orang yang setia kepada beiau.

Ketahuilah bahwa ilmu-ilmu mempunyai pendahuluan yang mengantarkan kepada penutupnya, pengantar yang membawa kepada hakikatnya, hendaknya seorang penuntut ilmu memulai dengan pendahuluannya agar bisa mencapai penutupnya, dan memulai dengan pengantarnya agar bisa menggapai hakikatnya, jangan mencari bagian akhir sebelum bagian awalnya, jangan menginginkan hakikat sebelum pengantarnya, akibatnya engkau mendapatkan bagian akhir dan tidak mengetahui hakikatnya, karena gedung tidak dapat dibangun tanpa adanya pondasi terlebih dahulu.

Hendaknya seorang penuntut ilmu membersihkan hatinya dari segala sifat curang, kotor, benci, hasad, keyakinan yang buruk dan akhlak tercela agar dengan itu hatinya layak menerima ilmu dan menjaganya, bisa mengetahui sisi cermat sisi-sisi  cermat maknanya dan hakikat-hakikatnya yang samar, karena ilmu sebagaimana kata sebagian dari mereka merupakan sholat rahasia , ibadah hati, kedekatan batin, sebagaimana sholat rahasia yang merupakan ibadah anggota tubuh yang nyata, tidak sah kecuali dengan kesucian hadist. Maka demikian juga ilmu yang merupakan ibadah hati, ia tidak sah kecuali dengan kesucian hati dari sifat-sifat buruk, kotoran dan noda akhlak-akhlak yang tercela.

Jika hati dibesihkan untuk ilmu, maka nampak keberkahan ilmu dan perkembangannya, layaknya tanah yang disiapkan dengan baik, maka apa yang ditanam padanya akan tumbuh dengan baik. dalam hadits,

 

ان فى الجسد مضغة، اذا صلحت صلح الجسد كله، واذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب.

Artinya: “Sesunguhnya di dalam tubuh ada seonggok daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah bahwa seluruh tubuh, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah bahwa seongok daging tersebut adalah hati’’.[1]

Sahl[2] Rahimahullah berkata :

حرام على قلب يدخله النور وفيه شيء مما يكره الله

Artinya: “Cahaya tidak akan masuk ke dalam hati sementara disana tersimpan sesuatu dari apa yang di benci Allah“

Seorang penuntut ilmu hendaklah membaguskan niat dalam mencari ilmu, yakni bermaksud mengharapkan wajah Allah dengan mencari ilmu, mengamalkannya, menghidupkan syariat, menyinari hatinya, menghiasi batinnya, mendekat kepada Allah pada hari pertemuan dengannya, merengkuh apa yang Allah sediakan untuk ahli ilmu berupa ridhaNya dan karunia-Nya yang besar.

Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata,

ما عالجت شيءاً أشد علي من نيتي

Terjemahannya: “Aku tidak memperbaiki sesuatu yang lebih sulit bagiku dari pada niatku”

           

Mencari ilmu bukan untuk mendaatkan kepentingan-kepentingan dunia berupa kepemimpinan, kedudukan, harta kekayaan, menyaingi rekan sejawat, agar masyarakat menghormatinya dan mendudukannya sebagai pemegang majelis-majelis dan hal-hal yang sepertinya, karena dengan itu dia telah menukar sesuatu yang lebih baik untuk mendapatkan sesuatu yang lebih rendah.

Abu yusuf[3] Rahimahullah berkata,

أريدوا بعلبكم الله تعالى فاني لم أجلس مجلساً قط أنوي فيه أن أتواضع الا لم أقم حتى أن أعلوهم, ولم أجلس مجلساً قط أنوي فيه  أن أعلوهم الا لم أقم حتى أفتضح

Terjemahannya: “Inginkanlah Allah dengan ilmu kalian, sesungguhnya aku tidak duduk di satu majelis pun dengan niat tawadhu’ kecuali belumlah aku bangkit darinya sehingga aku mengungguli mereka, dan aku tidak duduk di satu mejelis pun dengan niat untuk mengungguli mereka kecuali belumlah aku bangkit darinya sehingga aku dipermalukan.”

Ilmu adalah salah satu ibadah dan usaha untuk mendekatakn diri kepada Allah, maka ilmu diterima, tumbuh dan berkembang keberkahannya, namun jika tujuan untuk menuntunnya adalah selain wajah Allah, maka ia batal, sia-sia dan perdagangannya merugi, dan bisa jadi tujuan-tujuan tersebut lepas dari tangannya, dia gagal meraihnya, maka tujuannya lenyap dan usahanya sia-sia.

Seorang penuntut ilmu hendaknya menggunakan masa muda mereka dan waktu-waktu hidupnya untuk menuntut ilmu, tidak tertipu oleh fatamorgana agan-angan dan penundaan, karena satu saat dari umur yang berlalu, tidak mempunyai ganti dan kompensasi.

Menyisihkan apa yang mampu untuk disisihkan berupa hubungan-hubungan yang menyibukkan dari rintangan-rintangan yang menghadang kesempurnaan menuntut ilmu, mengerahkan seluruh kesungguhan dan meningkatkan keseriusan dalam menuntut ilmu, karena ia seperti pembegal, karena itu as-salaf menganjurkan penuntut ilmu agar merantau meninggalkan keluarga dan negerinya sebagai orang asing, karena jika pemikiran bercabang, maka ia lemah dalam mengetahui hakikat-hakikat dan hal-hal yang detail.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

ما جعل الله لرجل من قلبين فى جوفه

Artinya: “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya” (QS. Al-ahzab: 04)

Al-khathib al-Baghdadi menukil dalam al-jami’[4] dari salah seorang ulama, bahwa dia berkata,

لا ينال هذا العلم الا من عطل دكنه, وخرب بستانه,وهجر اخوانه, ومات أقرب أهله فلم يشهد جنازته.

Artinya: Ilmu ini tidak akan diraih kecuali oleh siapa yang menutup kiosnya, membiarkan kebunnya, meninggalkan saudara-saudaranya, dan ketika kerabatnya yang paling dekat meninggal dunia, dia tidak menghadiri jenazahnya.

Sekalipun ucapan ini berlebih-lebihan, namun maksudnya adalah memfokuskan hati dan menyatukan pikiran dan ilmu.

Seorang penuntut ilmu hendaknya merrasa cukup dengan apa yang mudah dari makanan pokok meskipun sedikit, dan pakaian yang cukup menutupi aurat dari orang yang setaraf dengannya meskipun tidak baru, dengan bersabar di atas kesederhanaan hidup, dia mendapatkan ilmu, dengan menyatukan fokus hati di persimpangan angan-angan yang simpang siur, sumber-sumber hikmah akan memancarr darinya.[5]

As-syafi’i Rahimahullah berkata,

لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح, ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح.

Terjemahannya: “Seseorang tidak menuntut ilmu ini dengan kerajaan dan kemuliaan jiwa lalu dia beruntung, akan tetapi siapa yang menuntutnya dengan kerendahan jiwa, kesempitan hidup, dan berkhidmat kepada para ulama, dialah yang beruntung.”

Ini adalah perkataan para imam yang merupakan pelopor di bidang ini tanpa ada yang membantah, dan demikianlah keadaan mereka.

Seorang penuntut ilmu hendaknya membagi waktu siang dan malamnya, memanfaatkan sisa umurnya, karena sisa umur manusia tidak ternilai,[6] dan waktu paling bagus untuk menghafal adalah waktu sahur, untuk mengkaji adalah waktu pagi hari, untuk menulis adalah tengah hari, dan untuk membaca dan muroja’ah adalah waktu malam hari.

Al-Khathib Rahimahullah berkata,

أجواد أوقات الحفظ لاسحار, ثم وصط انهار, ثم الغداة.

Terjemahannya: “Waktu yang paling bagus untuk menghafal adalah waktu sahur, kemudian tengah hari, kemudian pagi hari”

Di antara faktor paling besar yang membantu menuntut ilmu,memahaminya, dan menyingkirkan kejenuhan, adalah makan dengan kadar ukuran yang sedikit dari yang halal.

As-syafi’i Rahimahullah berkata,

ما شعبت منذ ست عشرة سنة

Terjemahannya: “Aku tidak pernah kenyang sejak enam belas tahun yang lalu”

Penjelasannya, karena banyak makan membuat banyak minum, banyak minum menyebabkan banyak tidur, tumpul pikiran, mandeknya otak, berhentinya indera, dan malasnya tubuh, d samping sisi makruh dari arah syari’at dan risiko bahaya penyakit jasmani.

Tidak ada seorang imam ulama yang menyifati atau disifati sebagai orang yang bersyukur dengan banyak makan, dan dipuji karenanya, sebab yang dipuji karena banyak makan hanya hewan yang tidak berakal, karena ia memang disiapkan untuk bekerja.

Akal pikiran lurus yang berharga dari pada sekedar dianggurkan dan disia-siakan dengan sesuatu yang bernilai rendah, seperti makanan yang akibatnya telah diketahui. Seandainya diantara sisi negatif banyak makan dan minum hanyalah banyaknya keluar masuk WC, niscaya sudah cukup bagi orang yang cerdik dan berakal agar memelihara dirinya darinya, barang siapa menginginkan keberuntungan dalam bidang ilmu dan meraih apa yang dicarinya darinya, tetapi dia tetap mempertahankan banyak makan, minum, dan tidur, maka dia ingin mencari sesuatu yang secara umum mustahil.

Seorang penuntut ilmu hendaknya menghasi diri dengan sifat wara’ dalam segala urusannya, mengambil yang halal untuk makanan, minuman, pakaian, tempat tinggalnya[7] dan dalam segala apa yang dia dan keuarganya butuhkan, agar hatinya bercahaya dan layak untuk menerima ilmu dan cahayanya serta mengambil manfaat darinya.

Tidak menerima untuk dirinya apa yang secara lahir halal dari sisi syariat selama dia mungkin menghindarinya dan tidak tedesak oleh kebutuhan atau menetapkan apa yang boleh sebagai bagian dirinya, akan tetapi hendaknya mencari derajat yang tinggi dan meneladani para ulama sholih terdahulu dimana mereka bersikap wara’ didepan banyak perkara yang mereka memfatwakannya boleh.

Orang yang paling berhak untuk di teladani dalam perkara ini adalah sayyidina Rosulullah , beliau tidak makan sebiji kurma yang beliau temukan di jalan karena takut ia adalah kurma sedekah padahal kecil kemungkinan ia demikian,[8] dan karena ahli ilmu diteladani dan diikuti, jika mereka tidak menggunakan sikap wara’, lalu siapa yang menggunakannya.

Patut menggunakan rukhshah (keringanan) pada tempatnya saat dibutuhkan dan saat ada alasannya agar diteladani padanya, shah dilakukan sebagaimana Allah menyukai manakalah rukhshah-rukh yang fardhu dilakukan.[9]

Seorang penuntut ilmu hendaknya menyedikitkan tidur selama hal itu tidak berdampak negatif terhadap tubuh dan otaknya, tidak tidur lebih dari delapan jam dalam sehari semalam, yaitu sepertiga waktunya, jika dirinya bisa tidur kurang darinya, maka hendaknya dia melakukannya.

Boleh merehatkan diri, hati, otak, dan matanya manakalah sebagian darinya lelah atau lemah dengan rekreasi atau tamasya ke tempat rekreasi sehingga dia kembali seperti sediakala dan tidak menyia-nyiakan waktunya. Boleh berjalan-jalan dan berolah raga. Secara umum, boleh merehatkan diri manakalah khawatir bosan. Sebagaimana ulama besar mengumpulkan murid-muridnya disebagian tempat rekreasi disebagian waktu dalam setahun, mereka bersenda gurau dengan sesuatu yang dibolehkan dalam agama, yang tidak mencinderai kehormatan.

Seorang penuntut ilmu hendaknya memutuskan pergaulan, karena meninggalkannya termasuk perkara penting bagi seorang penuntut ilmu apalagi untuk lawan jenis dan khususnya untuk orang yang banyak mainnya dan sedikit berfikir, karena tabiat manusia itu menular. Yang patut bagi seorang penuntut ilmu, hendaknya tidak bergaul kecuali dengan orang yang dia beri manfaat atau dia mengambil manfaat darinya.

Demikian artikel ini saya ringkas dari buku Tadzkirotus sami’ wal mutakallim, semoga kita semua dapat mengambil faedah dan manfaat dari artikel ini. Apabila ada kesalahan saya mohon ampun karena saya hanyalah insan biasa yang tak luput dari kesalahan.

 

REFERENSI:

Imam Badruddin Ibnu Jama’ah al-kinani asy-syafi’i. 2019.Darul haq. Tadzkirotus sami’ wal mutakallim.

Di ringkas oleh: Diana Rosella (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits)

[1] Diriwayatkan dari al-Bukhari, no. 52 dan muslim, no.1599 dari hadist an-Nu’man bin Basyir

[2] Sahl bin Abdullah at-Tustari Abu Muhammad, pemilik kalimat-kalimat bermanfaat, nasihat-nasihat yang baik, wafat tahun 283 H. Siyar A’lam an-Nubala’ , 13/330.

[3] Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari al-kufi, hakim agung, murid Imam Abu Hanifah, wafat tahun 182H. Lihat al-jawahir al-Mudhiyyah, 3/611.

[4] 2/252 yang berkata adalah Abu Ahmad Nashr bin Ahmad al-Iyadhi, ahli fiqih dari Samarkand, biografinya ada di al-jawahir al—Mudhiyah fi Thabaqat al-hanafiyah, al-Quraisy, 3/535 dan 4/10.

[5] Dalam naskah ظ tertulis, “padanya”

[6] Maknanya, sisa umur manusia hingga wafat tidak mungkin dinilai dengan harga tertentu, karena ia lebih berharhga dari harga apapun, karena sisa umur adalah modal utama untuk berbekal ke akhirat, kata “tidak ternilai” berarti apa yang diungkapkan oleh manusia pada zaman ini, yaitu “tidak ternilai harganya”

[7] Dinaskah tertuis, “maat pengghasilannya.” Sedangkan yang ditulis di atas adalah dari naskah-naskah lainnya.

[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2055 dan muslim, no. 1071 dari hadist anas.

[9] Ini adalah lafazh hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 354 dan lainnya, ia hadir di riwayat Ahmad dalam al-Musnad, no.5866 darri hadist ibnu umar,

إن الله يحب أنتؤتي معصيته

”Sesungguhnya Allah menyukai apabila rukhshah-rukhshahNya dilakukan sebagaimana Allah membenci kemaksiatan terhadapNya dilakukan.”

Al-Albani berkata, “Kesimpulannya, hadist ini shahih dengan dua lafaznya di atas.” Lihat Irwa’ al-Ghalil, 3/9-13

Baca juga artikel:

Hidayah Hanya Milik Allah

Taat Kepada Pemerintah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.