RUH SEORANG MUKMIN TERGANTUNG PADA UTANGNYA HINGGA DILUNASI

ruh seorang mukmin tergantung pada utangnya

Islam mengatur mu’amalah utang piutang dan adabnya dengan aturan yang paling baik. Utang piutang adalah mu’amalah yang dibenarkan syariat islam, mu’alamalah ini wajib dilakukan sesuai syari’at Islam, tidak boleh ada tipu-menipu dan tidak boleh ada riba, tidak boleh ada kebohongan dan kedustaan, dan wajib diperhatikan bahwa hutang wajib dibayar. Oleh karena itu, setiap utang dicatat jumlahnya dan ditulis kapan waktu pembayarannya, dan wajib menepati janji ketika membayarnya. Kalau belum mampu bayar, maka sampaikan kabar berita kepada orang yang memberi hutang kepada kita bahwa kita belum mampu bayar pada hari atau pekan ini atau bulan  ini dan minta tempo lagi, agar diberi waktu kelonggaran waktu untuk membayar pada hari lain, atau pekan berikutnya, atau bulan  berikutnya yang telah disepakati Bersama.

ADAB-ADAB ORANG YANG BERUTANG

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna, agama yang mudah dan agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya. Islam mengatur mu’amalah manusia dengan sebaik-baik aturan. Tidak ada undang-undang dan aturan yang lengkap melainkan undang-undang dan syari’at Islam. Agama Islam mengajarkan adab dan mu’amalah yang baik dalam semua transaksi yang dibenarkan dan disyariatkan dalam Islam. Islam menghalalkan transaksi dan mengharamkan riba dengan segala bentuknya.

Yang wajib diingat oleh setiap muslim dan Muslimah bahwa hutang wajib di bayar dan kalau tidak dibayar akan dituntut sampai hari kiamat. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

نفس المؤمن معلقة بدينه حتى يقضى عنه.

“jiwa seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya  hingga dibayarkan hutangnya.” (shahih, HR. Tirmidzi (1079), di shahihkan oleh syikh Al-Albani)

Seorang yang meninggal dunia maka yang paling pertama kali diurus adalah membayarkan utang-utangnya meskipun menghabiskan seluruh harta-hartanya dan tidak meninggalkan warisan.

Sebelum meminjam barang atau uang kepada orang lain, maka orang yang berutang harus mengetahui adab-adab dalam berutang sehingga muamalahnya dengan orang lain menjadi baik dan tidak ada pihak yang dirugikan. Diantara adab tersebut ialah sebagai berikut:

a. Orang yang berutang harus meluruskan niat dan tujuannya dalam berutang

Orang yang berutang harus memiliki niat yang baik dan benar dalam tujuannya berutang tersebut, misalnya ia berutang dengan tujuan membayar biaya rumah sakit untuk merawat anaknya. Atau ia berutang karena tidak sanggup membayar iuran sekolah anak-anaknya.atau ia tidak mampu untuk memberi nafkah kerena memang pada waktu itu ia tidak mempunyai uang. Maka yang seperti ini tidak apa-apa.

b. Tidak berutang kecuali dalam kondisi darurat

Ada juga orang yang berutang tujuannya tidak baik. Misalnya ia memiliki utang kepada si A lalu ia pinjam lagi ke si B untuk menutupi uatangnya kepada si A. ini tidak benar. Seharusnya ia mau bersusah payah bekerja dan mencari nafkah untuk membayar utangnya. Bukan mencari utang dari orang lain untuk menutupi utangnya, yang diistilahkan dengan “Galil lobang tutup lobang”. Seharusnya ia melunasi utang yang pertama dan bersungguh-sungguh mencari nafkah untuk keluarga dan melunasi utang-utangnya. Dan ia harus berniat untuk tidak berutang lagi kepada orang lain.

Ada sementara orang yang berutang kepada temannya yang kaya yang tujuannya supaya dibebaskan ia mengharapkan belas kasihan dari temannya yang kaya tersebut, yang akhirnya temannya itu mau membebaskan utangnya. Hal ini tidak dibenarkan dalam islam.

Seorang mukmin tidak boleh mencari belas kasihan dari manusia, akan ia mengharap rahmat, kasih sayang, dan belas kasihan hanya dari Allah Ta’ala, karena ia diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan merdeka dan mulia, jangan sampai dihinakan oleh orang lain. Jadi jangan sampai kita berutang kepada orang lain, agar orang lain belas kasihan kepada kita.

Terkadang ada orang yang berteman dengan orang kaya agar diberi utang oleh temannya yang kaya itu. Dan terkadang ia pura-pura pinjam, dia berharap supaya nantinya dibebaskan. Orang seperti ini tidak mempunyai izzah (kemuliaan) dan bahkan iya menghinakan diri. Orang islam itu mulia dan tidak boleh menghinakan diri kepada orang lain, dan sangat disayangkan hal  terjadi juga pada penuntut ilmu, dan juga Sebagian da’i, dan  ia hanya senang bergaul dengan orang kaya dengan tujuan agar dapat mudah meminjam uang atau bahkan agar diberikan uang secara Cuma-Cuma.

Sikap mulia adalah kita meminjamkan kepada orang lain dalam kondisi darurat (terpaksa) dan kita menggantinya dengan hasil usaha kita sendiri karena islam menganjurkan kita untuk berusaha, tidak boleh mengharapkan sesuatu kepada manusia. Hal inilah yang sering penulis sampaikan dalam kajian-kajian dan penulis juga sampaikan kepada murid-murid agar tidak meminta-minta kepada manusia karena meminta -minta dalan syari’at islam hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa).1

Nabi shalallahu ‘alahi wasallam bersabda:

لا يزال الرجل يسأل الناسو حتى يأتي ييم القيامة ليس في وجهه مزعة لحم

“Artinya: seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat  daging pun pada wajahnya. 2

Nabi shalallaahu ‘alahi wasallam bersabda:

من سأل الناس أموالهم تكثروا فإنما يسأل جمرا فليستقل أو ليستكثر

“Artinya: barang siapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silahkan ia meminta sedikit atau banyak. 3

Diantara contoh tujuan yang tidak baik dalam berutang, yaitu seorang yang berutang dengan tujuan untuk bersenang-senang, padahal ia memiliki uang, barang dan segala macamnya, tetapi ia sengaja pinjam kepada orang lain atau istilah lain “nambah modal” akhirnya uang orang tidak kembali. Atau berutang dengan tujuan untuk bermewah-mewah, seperti orang-orang berutang mobil, sepeda motor, atau yang lainnya padahal dia belum membutuhkannya dan kondisinya tidak mampu membayarnya.

Seorang muslim harus hidup qana’ah (merasa puas dengan rezeki yang ada). Jika barang dagangan masih ada kita teruskan dagangan kita, jangan tambah modal kemudian menjadi tambahan beban utang kita. Sebab jika kita mati, jiwa kita tergantung dan ahli waris kita menjadi terbebani dengan utang kita. Begitu juga dengan masalah kendaraan  dan lainnya, kalau sangat terpakasa maka boleh berutang.

Oleh karena itu janganlah seorang berutang kecuali untuk suatu kebutuhan yang sangat mendesak bagi kehidupanya. Jangan berutang untuk sesuatu yang bukan kebutuhan pokok dan jangan pula berutang untuk meraih maksud yang diharamkan oleh syari’at.

c. Berniat melunasi utangnya

 Jika orang yang berutang mempunyai tekad dan niat untuk membayar utang, niscaya Allah ta’ala akan membantunya untuk melunasi utang tersebut. Jika tidak, maka Allah pun tidak akan membantunya untuk membayar utangnya. Orang yang berutang dan tidak berniat membayarnya maka ia telah berdosa, usahanya akan hancur, dan tdak akan diberikan keberkahan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Nabi shalallahu ‘alahi wasallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

 Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah menghilangkannya.” (HR. Bukhari) 4

Dari Shuhaib bin Al Khair Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shalallhu ‘alaihi wasalllam bersabda:

أيّما رجل تديّنا دينا و هو مجمع أن لا يوفيه إياه لقيا الله سارقا

“Artinya: siapa saja yang berutang, sedang ia tidak berniat melunasi utangnya maka ia bertemu Allah sebagai pencuri.” 5

Hadits ini melarang keras meminjam harta orang lain dengan maksud melenyapkannya (tidak melunasinya). Barang siapa melakukannya maka Allah akan memusnahkannya didunia, yaitu memusnahkan kehidupannya dari dirinya. Hal ini telah terbukti secara nyata terhadap orang-orang yang telah melakukannya. Demikian pula Allah akan memusnahkannya diakhirat dengan siksaan. 6

d. Berusaha berutang kepada orang kaya atau mampu dan baik

Apabila seseoramg berutang kepada orang kaya atau mampu dan baik, niscaya dirinya akan merasa tenang karena terhindar dari penghianatannya. orang itu tidak akan merusak nama baik orang yang berutang atau menyebarkan utang tersebut, atau mengungkit-ungkit pemberiannya. Sementara apabila seorang yang berutang kepada seorang yang tidak baik, maka ia akan merasa tidak akan merasa aman dari sikap-sikap tersebut.

e. Berutang sesuai kebutuhan

Seorang muslim janganlah meremehkan masalah utang karena bisa jadi seseorang meninggal dunia dalam keadaan berutang. itu artinya masih ada hak orang lain yang masih ia pikul dan bayar. Oleh karena itu, usahakan untuk meminimalkan utang, yaitu berutang sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.

f. Wajib memenuhi janji dan berkata jujur serta baik kepada orang yang meminjamkan uang atau barang kepada kita.

Orang yang telah memberikan pinjaman uang kepada kita dengan cara yang baik maka kita harus membayanya dengan yang baik pula . karena sangat banyak terjadi dimana orang yang mendapatkan kesulitan dan kesusahan ekonomi lalu datang kepada temannya untuk meminjam uang , dan temannya memberikan kemudahan dengan memberikannya pinjaman uang tersebut, tetapi pada saat datang pembayarannya dan temannya menagih maka ia sangat susah sekali ditagih dan tidak pernah tepat jika berjanji bahkan sering bohong.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يأيّها الذين ءامنوا أوفوا بالعقود…..

Artinya: “wahai orang -orang yang beriman penuhilah janji-janji……” (QS. Al-Maaidah :1)

Seharusnya orang yang meminjam uang berbuat baik kepada orang yang memberikan  pinjaman, yaitu dengan memenuhi janji dan membayarnya tepat pada waktunya. Kalau ia belum mampu bayar maka sampaikan dengan kata-kata yang baik dan permohonan maaf bahwa ia belum mampu bayar. Balas kebaikan orang yang meminjamkan uang kepada kita dengan kebaikan  Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS Arahman:60)

Dengan demikian jelaslah bahwa peringatan keras tentang hutang ini berlaku atas orang yang meminjam harta yang lain untuk melenyapkannya atau untuk memakannya dan tidak berniat memngembalikannya.

 

Referensi:

Artikel ini di ambil dari kitab : Ruh seorang mukmim tergantung pada utangnya hingga dilunasi

Penerbit : pustaka at- Taqwa

Di tulis  oleh : Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Di tulis ulang oleh : Nurmimi Haria Putri (Pengajar ponpes daarul qur’an wal hadits)

 

Footnote:

  1. lihat buku penulis “hukum mengemis dan meminta-minta dalam syari’at islam”cet. 1, th.2009, Pustaka at- Takwa Bogor.
  2. mutafaqun ‘alaihi: HR. Al Bukhari (no. 1474) dan muslim (no. 1040(103-104).
  3. Shahih: Muslum (no, 1041), Ahmad (11/231), ibnu majah(no. 1838), ibnu abi syaiban dalam al musannaf (no. 10767), dan lainnya.
  4. shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2387) dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.
  5. shahih: HR. Ibnu majah (no. 2410)
  6. lihat mausuuahal- manaahi as syar’ iyyah (11/307).

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.