KESEMPURNAAN IMAN KEPADA TAKDIR

waktu

Kesempurnaan Iman Kepada Takdir

       Segala sesuatu yang baik maupun yang buruk terjadi dengan takdir dan ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala. Allah maha berbuat apa yang Dia kehendaki. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, serta tidak akan keluar dari kehendakNya dan kekuasaan-Nya, dia mengetahui segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi sebelum hal tersebut terjadi dalam ilmu-Nya yang azali. Dia mentakdirkan segala ketentuan untuk alam semesta ini sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.  Allah mengetahui keadaan manusia, rizki, ajal, amal perbuatan, dan segala perkara mereka.  Maka segala yang terjadi berada di bawah pengetahuan, kekuasaan dan kehendak Allah.  Intinya segala sesuatu  terjadi sampai hari akhir telah diketahui dan dicatat terlebih dahulu oleh Allah.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

سنة الله فى الذين خلوا من قبل وكان أمر الله قدرا مقدورا

Allah telah mentapkan yang demikian sebagai sunnah Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.[1]

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:

Tidaklah beriman seseorang sehingga ia beriman kepada takdir baik dan buruk; meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpanya tidak akan meleset darinya dan apa yang di takdirkan tidak akan menimpanya.”[2]

 

Beriman kepada takdir tidak sempurna tanpa adanya empat hal yang dinamakan Maratibul Qodar (Tingkatan takdir) atau rukun Takdir.

Empat hal ini merupakan pengantar untuk memahami masalah takdir, kecuali dia mewujudkan semua rukunnya karena satu sama lain berhubungan. Barang siapa mengakui semuanya, maka sempurnalah keimananya kepada takdir. Sebaliknya, barang siapa mengurangi salah satu darinya atau melebihkannya, amat rusaklah keimanannya kepada takdir.

 

  1. Al-’Ilm (Ilmu)

Al-’Ilm (Ilmu), yaitu beriman bahwa Allah Ta’aala maha mengetahui segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang belum terjadi. Seandainya terjadi, dia maha mengetahui bagaimana akan terjadi, secara global dan rinci, Dia mengetahui apa yang dilakukan makhlukNya sebelum diciptakan, dia mengetahui rizki, ajal, amal perbuatan dan gerak gerik mereka. Dia mengetahui siapa di antara mereka yang bahagia dan sengsara.  Hal tersebut berdasarkan ilmunya yang qodim yang menjadi sifat-Nya sejak  zaman Azali.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

 

ان الله بكل شىء عليم

Sesungguhnya Alllah maha mengetahui segala sesuatu.[3]

 

Al-kitabah (Pencatatan)

                Al-kitabah (Pencatatan), yaitu mengimani bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah mencatat segala apa yang yang diketahui sebelumnya. Dari semua takdir makhlukNya dalam Lauhul mahfuzh, yaitu kitab yang tidak ada sesuatu apapun yang luput darinya.  Segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat telah tertulis di sisi Allah Ta’aala dalam ummul kitrab (kitan Induk)  yang dinamakan adz-Dzikir, al-Imam, dan al-Kitabul Mubin.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

وكل شىء احصينه فى امام مبين

Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauhul mahfudz).[4]

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:

ان أول ما خلق الله القلم فقا ل: اكتب قا ل: ما أكتب قال: اكتب القدر ما كان وما هو كاءن إلى الأبد

Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah adalah Al-Qalam  (pena). Kemudian Allah berfirman: “tulislah!” Pena tersebut  bertanya; “apa yang harus saya tulis?” Allah menjawab; “tulislah takdir semua makhluk” apa yang telah terjadi dan akan terjadi sampai akhir zaman (hari kiamat).[5]

 

  1. Al-Iradah wal Masyi’ah (Keinginan dan Kehendak)

                Al-Iradah wal Masyi’ah (Keinginan dan Kehendak), yaitu segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan keinginan dan kehendak Allah; berporos pada rahmat dan hikmah-Nya.  Dialah yang memberikan petunjuk kepada orang yang dia kehendaki karena hikmah-Nya.  Dia tidak ditanya tentang apa yang dilakukannya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya.  Akan tetapi, para hambanya akan dimintai pertanggungjawaban.  Apa yang telah terjadi dari hal tersebut, maka sesungguhnya semua itu sesuai  dengan ilmu yang azali (dahulu), yang telah tertulis di Lauhul Mahfuzh,  Dengan demikian, kehendak Allah  itu pasti terjadi, Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu.  Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi, maka tidak ada sesuatu apapun yang lepas dari kehendak-Nya.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

وما تشاءون إلآ أن يشاء الله رب العالمين

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,  Rabb seluruh alam.[6]

 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:

ان قلوب بني ادم كلها بين إصبعين من أصا بع الرحمن كقلب واحد يصرفه حيث يشاء

sesungguhnya semua hati anak keturunan Adam pada dua jari di antara jemari ar-Rahman, bagaikan satu hati,  Dia mengubahnya (membolak-balikkan ke mana saja) menurut kehendak-Nya.[7]

 

  1. Al-Khalq (Penciptaan)

Al-Khalq (Penciptaan) maksudnya beriman bahwa sesungguhnya Allah pencipta segala sesuatu.  Tiada pencipta dan tiada Rabb selain Dia. Segala sesuatu selain Dia adalah makhluk. Dialah yang menciptakan makhluk yang berbuat sekaligus perbuataanya, serta semua yang bergerak sekaligus gerakannya.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

وخلق كل شىء فقدره تقديرا

Dan dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran ukuranya dengan tepat.[8]

 

Segala yang terjadi berupa perbuatan baik atau jelek, iman atau kufur,  dan taat atau maksiat telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan oleh Allah.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

وما كان لنفس أن تؤ من إلا باذن الله

Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah.[9]

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا

Katakanlah Muhammad ‘tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.[10]

 

Sesungguhnya Allah Ta’aala maha pencipta, hanya milik-Nya, menciptakan dan mengadakan. Dia yang maha menciptakan segala sesuatu tanpa pengecualian, tiada pencipta, dan tiada Rabb selain Dia.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

الله خلق كل شىء وهو على كل شىء وكيل

Allah pencipta segala sesuatu dan dia maha pemelihara atas segala sesuatu.[11]

 

Sesungguhnya Allah menyukai ketaatan dan membenci kemaksiatan, memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki dengan karunia-Nya dan menyesatkan orang yang dikehendaki karena keadilan-Nya.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

ان تكفروا فإن الله غنى عنكم ولا يرضى لعباده الكفر وان تشكروا يرضه لكم ولا تزر وازرة وزر أخرى

Jika kamu kafir (ketauhilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhoi kekafiran hamba-hamba-Nya, jika kamu bersyukur, Dia meridhoi kesyukuranmu itu.  Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain.[12]

 

Tidak ada hujjah dan alasan bagi siapa yang telah disesatkan-Nya karena Allah telah mengutus para Rasul-Nya umtuk mematahkan alasan (agar manusia tidak dapat membantah Allah) Dia menyandarkan perbuatan manusia kepadanya dan menjadikannya perbuatan itu sebagai upayanya. Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuamya.

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

اليوم تجزى كل نفس بما كسبت لاضلم اليوم

‘pada hari ini setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakanya.  Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.[13]

 

Allah Subhaanahu wa Ta’aala, berfirman:

انا هدينه السبيل إما شاكرا واما كفورا

Sungguh kami telah menunjukan kepadanya jalan yang lurus ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.[14]

 

Namun keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah karena kesempurnaan rahmat-Nya. Sebab Dia telah memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan. Meskipun demikian, keburukan itu terjadi dalam hal-hal yang telah menjadi ketentuan-Nya dan sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya.

Allah Ta’aala maha suci dan bersifat maha suci dari kezhaliman dan bersifat maha adil.  Maka dari itu Allah tidak akan pernah sekali-kali menzhalimi seorang pun dari hambaNya.  Walaupun hanya sebesar biji sawi.  Semua perbuatan-Nya adalah keadilan dan rahmat.

Maka Allah Ta’aala lah yang menciptakan manusia dan perbuatannya.  Dia memberikan kepadanya kemauan, kemampuan, ikhtiar, dan kehendak yang telah Allah berikan kepadanya agar segala perbuatannya itu benar-benar berasal darinya.  Kemudian Allah menjadikan bagi manusia akal untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Allah tidak menghisabnya, melainkan atas amal yang ia perbuat dengan kehendak dan ikhtiarnya sendiri.  Manusia tidak dipaksa, tetapi dia mempunyai ikhtiar dan kehendak, maka dia bebas dalam segala perbuatan dan keyakinannya. Hanya saja kehendak manusia itu mengikuti kehendak Allah.  Segala yang Allah kehendaki pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi. Intinya perbuatan itu diciptakan, diadakan dan ditakdirkan oleh Allah, namun diperbuat dan dilakukan oleh manusia. Ahlus Sunnah wal jama’ah mengimani bahwa takdir itu merupakan rahasia Allah terhadap makhluk-Nya.  Tidak ada seorang malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus-Nya yang mengetahui hal itu.  Mendalami dan menyelaminya adalah sesat karena Allah Ta’aala telah merahasiakan ilmu takdir dari makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencapainya.

 

 

Referensi:

Diambil dari Intisari ‘Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari, Pustaka Imam Syafii

Diringkas oleh:  Iis Rosmi Rojibah S S (Pengajar Pondok Pesantren Darul-Qur’an wal-Hadits OKU Timur)

[1] QS. Al-Ahzab: 38

[2] HR. At-Tirmidzi, oleh al-Bani

[3] QS Al-Ankabut: 62

[4] QS. Yasin: 12

[5] HR. At- Tirmidzi oleh Imam al-Bani

[6] QS. At-Takwir: 29

[7] HR. Muslim

[8] QS. Al-Furqon: 2

[9] QS. Yunus: 100

[10] QS. At-Taubah: 51

[11] QS. Az-Zumar: 62

[12] QS. Az-Zumar: 7

[13] QS. Al-Mu’min: 17

[14] QS. Al-Insan: 3

Baca Juga Artikel:

Keistimewaan Agama Islam

Anak Yatim Yang Terlantar

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.