KAIDAH-KAIDAH MENUNTUT ILMU
(Diringkas Oleh Alitta Cahyani)
Sesungguhnya keistiqamahan seorang muslim di atas agama yang telah disyariatkan Allah terbangun pada dua pondasi besar, yaitu pertama mengenal agama yang telah disyariatkan Allah dan kedua melaksanakan ilmu yang telah ia ketahui dan melaksanakan agama Allah berdasarkan apa yang telah ia ketahui dan telah jelas dari agama-Nya. Pondasi pertama berkaitan dengan ilmu, sedangkan pondasi kedua berkaitan dengan amal. Dengan ilmu dan amal akan didapat keselamatan.
Dan dalam mewujudkan ilmu dan amal, manusia berbeda-beda. Sesuai tabiatnya kedudukan manusia berdasar dengan keadaan mereka yaitu:
- Di antara manusia ada yang diberi taufik oleh Allah dengan ilmu yang shahih dan amal shalih. Ini merupakan martabat yang paling utama dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah.
- Orang yang memiliki ilmu tetapi tanpa amal. Tidak diragukan lagi ini merupakan kekurangan, karena ilmu merupakan pijakan amal. Oleh karena itu, seseorang yang belajar namun tidak beramal, berarti pada diri orang itu terdapat keserupaan dengan Yahudi.
- Orang yang beramal tanpa ilmu. Pada diri orang ini terdapat keserupaan dengan Nashara. Mereka adalah orang-orang yang sesat. Inilah keadaan ahli bid’ah. Yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah dan beramal, namun mereka tidak memiliki ilmu yang dijadikan sebagai pedoman.
- Orang yang tidak memiliki ilmu dan amal. Para ulama menyebut mereka ini para manusia yang menyerupai binatang ternak. Mereka tidak memiliki keinginan kecuali bersenang-senang dengan dunia, tidak memiliki minat pada ilmu dan amal.
Ilmu itu menuntut beberapa perkara. Ilmu tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa perkara. Sebagaimana dikatakan, ilmu itu hanya didapatkan dengan belajar, bersungguh-sungguh dan menganugerahkan kemampuan untuk mendapatkannya. Caranya, seorang thalibul ‘ilmi harus mengerahkan kemampuannya dalam tafaqquh fid-din, dalam menggalinya, dan saat duduk di hadapan ulama, dalam membaca kitab-kitab dan meminta penjelasan perkara yang sulit, sampai Allah memberikan anugerah ilmu kepadanya. Seorang thalibul ‘ilmi harus mengikuti manhaj yang shahih dalam mengambil dan menuntut ilmu.
Di antara manhaj dalam menuntut ilmu, hendaklah memulai dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat. Jadi, dalam menuntut ilmu itu harus tadarruj (bertahap). Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu yang ringan ialah masalah-masalah yang sudah dikenal, yang diketahui, bukan masalah-masalah yang membutuhkan analisa dan pembahasan. Maka di antara masalah-masalah yang sepantasnya didahulukan ialah masalah-masalah yang sudah jelas dan gamblang dalam agama, seperti mengetahui ushuludin, ushul I’tiqad. Oleh karena itu para ulama dalam mengajari parathulab (penuntut ilmu, santri) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan mukhtasharat (kitab-kitab yang ringkas), dalam setiap cabang keilmuan. Mereka menjelaskan kepada manusia pokok-pokok ilmu melalui mukhtasharat ini. Secara bertahap, mulai dari teks-teks mukhtasharat itu, kemudian meluas sampai kepada kitab-kitab muthawalat (kitab-kitab tebal/luas), sampai akhirnya dia memiliki nazhar (penelitian) serta ijtihad dalam masalah-masalah ini, sehingga dengan taufiq Allah, dia bisa mencapai derajat ulama. Jadi, dalam thalabul-ilmi harus dengan tadarruj (bertahap).
Termasuk perkara yang penting sebelum menuntut ilmu, ialah ikhlas karena Allah. karena sesungguhnya ikhlas memiliki pengaruh yang besar dalam meraih taufiq (bimbingan Allah) dalam segala sesuatu. Barangsiapa dianugerahi keikhlasan berarti dia telah mendapatkan taufiq untuk banyak kebaikan, dalam segala urusan baik urusan agama maupun dunia. Pengaruh ikhlas terhadap taufiq ditunjukkan oleh firman Allah mengenai dua hakim di antara suami istri:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an-Nisa/: 35)
Demikian juga sabda Nabi tentang pengaruh hati berkaitan dengan keistiqamahan anggota badan dalam hadits Nu’man bin Basyir:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَ فَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُكُلُّهُأَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak, maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.[1]
Jika hati itu baik, amal juga baik, dan manusia mendapatkan manfaat dari ilmunya. Dengan demikian, orang itu telah diberi taufiq disebabkan ilmu dan pemahamannya. Termasuk ikhlas dalam thalabul-‘ilmi, yaitu menuntut ilmu untuk tafaqquh (memahami), dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, Malik bin Dinar berkata: “Barangsiapa menuntut ilmu untuk dirinya, maka ilmu yang sedikit, cukup baginya. Dan barangsiapa menuntut ilmu untuk keperluan manusia (orang lain), maka sesungguhnya kebutuhan orang lain itu tidak berujung”.
Di antara perkara yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu, yaitu isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah, tawakkal kepada-Nya, dan berdo’a kepada-Nya agar diberi ilmu yang shahih (benar) yang nafi’ (bermanfaat). Sebagaimana dituntunkan oleh Allah dalam firman-Nya:
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”(QS. Thaha/20: 114)
Allah berfirman (di dalam hadits qudsi):
يَا عِبَدِي كُلُّهُمْ ضَالٌّ إِلَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ
Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepada kalian.[2]
Maka, mintalah hidayah kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayah, sebagaimana hadits di atas. Dan dalam sebuah do’a yang diajarkan oleh Nabi ﷺkepada seorang laki-laki, yang dibimbing Nabi ﷺmenuju pintu-pintu kebaikan. Beliau ﷺmengajarkan agar ia berdo’a:
أَللَّهُمَّ أَلْهِمْنِي رُشْدِي وَقِنِي شَرَّ نَفْسِي
Wahai, Allah! berilah petunjuk kepadaku terhadap kelurusanku, dan jagalah aku dari keburukan jiwaku.
Jadi, manusia tidak akan mendapatkan taufiq kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Dengan demikian, pertama kali yang dibutuhkan manusia ialah agar ditunjukkan kepada al-haq oleh Allah sebagai al-haq, kemudian Allah memberi rezeki kepadanya untuk mengikutinya, dan ditunjukkan al-batil oleh Allah sebagai al-batil, kemudian Allah memberikan rezeki kepadanya untuk menjauhinya. Jika tidak, maka banyak diantara manusia yang mengamalkan kebatilan, dan menyangka dirinya berada di atas kebenaran. Sehingga wajib memperhatikan sisi ini, yaitu tawakkal kepada Allah dan berdo’a kepada-Nya, agar Dia memberi taufik kepada al-haq. Demikian pula perlu banyak beristighfar dan selalu berlindung kepada Allah.
Syaikhul-Islam mengatakan bahwa dirinya pernah mengalami kesusahan memahami suatu masalah. Beliau berkata, “Lalu aku beristighfar kepada Allah dan berdzikir kepadaNya. Perbuatan ini terus aku lakukan, sehingga Allah membukakan masalah itu untukku”.
Demikianlah sepantasnya seorang penuntut ilmu. Sebagian manusia ada yang hanya bertumpu kepada usaha dan kekuatannya. Dia melupakan tawakkal dan berdo’a kepada Allah. Sesungguhnya dalam semua perkara, manusia perlu bertawakkal dan usaha. Berapa banyak orang yang duduk di depan para ulama, namun tidak mendapatkan manfaat. Berapa banyak orang membaca muthawalat (kitab-kitab tebal), namun tidak mendapatkan faidah. Dan berapa banyak orang hafal Al-Qur’an, namun tidak mendapatkan manfaat sedikitpun darinya. Nabi bersabda tentang Khawarij:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدَّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Mereka membaca Al-Qur’an, namun Al-Qur’an itu tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang buruan.[3]
Sebagian manusia diberi kecerdasan, namun ia tidak diberi taufiq. Oleh karena itu, jika seseorang diberi kecerdasan oleh Allah, hendaklah memohon kepada Allah agar Allah mensucikan jiwanya, karena kecerdasan saja tidaklah cukup. Manusia juka diberi akal dan kecerdasan oleh Allah, ia mengetahui bahwa tidak ada jalan lain untuk meraih hidayah kecuali dengan syariat ini. Oleh karena itulah, orang-orang ahli agama adalah orang-orang yang berakal.
Termasuk yang perlu diperhatikan juga, yaitu mengetahui jalan yang benar dalam memantapkan keilmuan. Terdapat banyak sisi penting yang sepantasnya diperhatikan dalam mempelajari ilmu dan meneliti suatu masalah, terutama dalam permasalahan akidah. Di antaranya, ialah memahami dengan teliti lafazh-lafazh syar’iyyah, dan mengetahui perbedaan antara makna lughawi (arti menurut bahasa Arab) dengan makna syar’I (arti menurut agama).
Karena kesalahan yang terjadi pada sebagian orang bukan karena tidak ada dalil. Terkadang ada dalilnya, dan mereka mengetahuinya, tetapi mereka tidak diberi taufiq dalam memahaminya. Mungkin karena lafazh yang susah mereka pahami dan nada kesamaran makna lafazh. Manusia terkadang berselisih disebabkan kesamaran lafazh bagi mukhathab (orang yang diajak bicara). Sebagaimana yang terjadi pada sahabat ‘Adi bin Hatim, yaitu ketika turun firman Allah:
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ…
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (QS. al-Baqarah/2: 187)
Diapun mengambil dua benang (putih dan hitam) dan keduanya ditaruh di bawah bantalnya. Mulailah ia melihat kedua benang itu. Ketika ia memberikan kepada Nabi ﷺ,beliau pu bersabda: “Engkau benar-benar orang yang lebar tengkuknya. Sesungguhnya yang dimaksud warna putih ialah fajar, dan warna hitam ialah malam.” Di sinilah terjadi kesamaran bagi sahabat yang agung ini.
Demikianlah pada banyak lafazh dalam syara’ (agama) yang diperselisihkan para ulama. Oleh karena itulah ulama menjelaskan tentang pengetahuan makna-makna lafzh syar’iyyah (menurut agama) dan membedakannya dengan makna lughawi (menurut bahasa Arab). Dalam menafsirkan Al-Qur’an, para ulama tidak mencukupkan dengan mengetahui makna lughawi saja. Bahkan Imam ath-Thabari (seorang pakar ahli tafsir) menyebutkan sebagian ahli tafsir telah keliru menafsirkan Al-Qur’an, dikarenakan mereka bersandar kepada arti kata menurut bahasa, tanpa mengetahui istilah-istilah syari’at. Maka seharusnya seseorang mengetahui perkataan para ahli tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Seseorang tidaklah cukup mengambil kamus bahasa Arab, lalu melihat makna secara bahasa, kemudian menafsirkan kitab Allah dengan makna ini saja. Karena satu lafazh itu berbeda-beda artinya. Walaupun ayat itu jelas dan gamblang bagimu, tetapi janganlah engkau mengatakannya jelas, sebelum memperhatikan penjelasan para ahli tafsir.
Demikianlah juga, seorang penuntut ilmu tidak cukup hanya mengetahui makna mufradat (kata-kata) saja. Karena mufradat terkadang berada dalam satu siyaq (rangkaian kalimat) dengan suatu makna, dan dalam siyaq lainnya memiliki makna yang lain. Oleh karena itu, seseorang harus mengetahui makna yang terkandung dalam siyaq, dan makna yang diinginkan siyaq.
Dari seluruh penjelasan di atas, hendaknya semua semua sisi dalam perkara ini seharusnya diperhatikan dan dicermati. Dengan beristi’anah (memohon pertolongan) kepada Allah dalam memahaminya, sehingga seorang penuntut ilmu tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Jika menetapkan sesuatu (masalah) hendaklah menyampaikannya kepada para ulama, sehingga mereka akan mengoreksi kesalahannya, jika memang melakukan kesalahan.
Sumber:
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili. 2007. Kaidah-Kaidah Menuntut Ilmu. Majalah A-Sunnah Edisi
Ramadhan 06-07/Tahun XI/1428 H/ 2007 M
[1]HR Muslim, no. 1599. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan ad-Darimi, dengan lafadh yang berbeda-beda namun maknanya sama.
[2] HR Muslim, no 2577; at-Tirmidzi, no. 2495; Ahmad (5/154)
[3]HR al-Bukhari, no. 3414.
Leave a Reply