7 ADAB BERCANDA YANG HARUS DIKETAHUI

stand up

7 ADAB BERCANDA, ADAB YANG KE-5 MENARIK UNTUK DIKETAHUI

 

Apakah Anda termasuk orang yang suka bercanda? Ataukah Anda adalah orang yang sangat serius dan tidak suka bercanda? Kita perlu tahu, bercanda pun memiliki adab-adab yang harus kita jaga.

Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai watak dan prilaku. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya orang yang memiliki watak demikian. Karena tertawa adalah fitrah manusia, yang tidak diberikan kepada hewan. Apakah pembaca pernah mendapatkan hewan yang tertawa? Jujur saja penulis sendiri belum pernah mendapatkannya. Mungkin, kalau pun ada itu hanya terjadi pada momen-momen tertentu dan sangat jarang sekali.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan beberapa nasihat kepada Abû Hurairah radhiallâhu ‘anhu, di antara nasihat tersebut adalah perkataan beliau:

(( وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ.))

“Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”[1]

Apakah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah tertawa? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa. Banyak hadîts yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ‘Abdullâh bin Mas’ûd radhiallâhu ‘anhu dalam hadîts qudsî yang panjang, Allah ta’âlâ berkata kepada seorang anak adam:

(( يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِى مِنْكَ، أَيُرْضِيْكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا؟))

“Wahai anak adam! Saya tidak akan menghalangi apa yang engkau inginkan. Apakah engkau ridha jika saya berikan kepada engkau dunia dan ditambah dengan yang semisalnya? “

Anak Adam itu pun berkata:

(( يَا رَبِّ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟))

“Wahai Rabb-ku! Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?”

Kemudian Ibnu Mas’ûd pun tertawa dan berkata, “Mengapa kalian tidak bertanya kepadaku, mengapa aku tertawa?” Murid-murid Ibnu Mas’ûd pun bertanya, “Mengapa engkau tertawa?” Beliau menjawab, “Seperti inilah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tertawa. Para sahabat pun bertanya kepada Rasulullah, ‘Mengapa engkau tertawa, ya Rasulullah?’ Beliau pun menjawab:

(( مِنْ ضِحْكِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حِيْنَ قَالَ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّيْ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟ فَيَقُوْلُ إِنِّيْ لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ وَلَكِنِّيْ عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ.))

‘Karena tawanya Rabb alam semesta ketika dia (anak adam) berkata: Apakah Engkau mengejekku sedangkan Engkau adalah Rabb alam semesta?’ Kemudian Allah berkata, ‘Sesungguhnya Aku tidak mengejekmu, tetapi semua yang Aku inginkan Aku mampu.’.”[2]

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada hadîts di atas melarang seseorang untuk banyak tertawa dan bukan melarang seseorang untuk tertawa. Tertawa yang banyak dan berlebih-lebihanlah yang mengandung celaan.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bercanda. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah radhiallâhu ‘anhu, para sahabat pernah berkata kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

( يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا )

“Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau sering mencandai kami.”

Beliau pun berkata:

(( إِنِّيْ لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا.))

“Sesungguhnya saya tidaklah berkata kecuali yang haq (benar).”[3]

Di antara canda-canda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tercantum pada dua hadîts berikut:

Hadîts I

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: ( يَا رَسُوْلَ اللَّهِ احْمِلْنِى.) قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-: (( إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ )). قَالَ: (وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟) فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-: (( وَهَلْ تَلِدُ الإِبِلَ إِلاَّ النُّوقُ.))

Diriwayatkan dari Anas radhiallâhu ‘anhu bahwasanya seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia pun berkata, “Ya Rasulullah! Angkatlah saya (ke atas onta)!” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Sesungguhnya kami akan mengangkatmu ke atas anak onta.” Lelaki itu pun berkata, “Apa yang saya lakukan dengan seekor anak onta?” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankan onta-onta perempuan melahirkan onta-onta?” [4]

Beliau mencandai orang tersebut dengan menyebut ontanya dengan anak onta. Orang tersebut memahami perkataan beliau sesuai zahirnya, tetapi bukankah semua onta yang ada adalah anak-anak dari ibu onta?

 

Hadîts II

عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَتْ عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَقَالَتْ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ) فَقَالَ: ((يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ.)) قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: (( أَخْبِرُوهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ : { إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً 0فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا 0عُرُبًا أَتْرَابًا } )).

Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiallâhu ‘anhu, dia berkata, “Seorang nenek tua mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Beliau pun mengatakan, ‘Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah ta’ala mengatakan: ‘(35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya.’ (QS Al-Wâqi’ah).”[5]

 

Jika kita perhatikan hadîtshadîts di atas, maka kita akan mendapatkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bercanda pada beberapa keadaan tertentu, tetapi canda beliau tidak mengandung kedustaan dan selalu benar.

Orang yang terlalu serius dan selalu terlihat tegang dan kaku, kehidupannya akan terasa sangat penat dan suntuk. Orang jenis ini seharusnya memasukkan canda di dalam hidupnya sehingga terhindar dari pengaruh buruk tersebut.

Sebaliknya orang yang terlalu sering bercanda, maka sebaiknya dia belajar untuk dapat melatih lisannya agar bisa terbiasa diam dan hanya berbicara pada hal-hal yang bermanfaat saja.

Seorang penyair terkenal, Abul-fath Al-Busti[6] rahimahullâh pernah mengatakan:

أَفْدِ طَبْعَك الْمَكْدُودَ بِالْجِدِّ رَاحَةً                  يُجَمُّ وَعَلِّلْهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْمَزْحِ

وَلَكِنْ إذَا أَعْطَيْتَهُ الْمَزْحَ فَلْيَكُنْ                    بِمِقْدَارِ مَا تُعْطِي الطَّعَامَ مِنْ الْمِلْحِ

Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius

Dirilekskan dulu dan hiasilah dengan sedikit canda

Tetapi jika engkau berikan canda kepadanya, jadikanlah ia

          Seperti kadar engkau memasukkan garam pada makanan

Layaknya makanan, apabila tidak diberi garam maka dia akan terasa hambar. Akan tetapi, jika terlalu banyak diberikan garam, maka tidak akan enak untuk dimakan.

Sesuatu yang berlebih-lebihan, kebanyakan akan membawa dampak buruk. Sama halnya dengan bercanda dan tertawa. Apabila terlalu sering bercanda dan tertawa, maka akan mengakibatkan banyak keburukan.

Di antara keburukan-keburukan orang yang sering bercanda dan tertawa adalah sebagai berikut:

  1. Hatinya menjadi mati, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Jika hati seseorang mati, maka akan berakibat buruk baginya, di antaranya: bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan suatu kemaksiatan, tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan, tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allah, bertambahnya kecintaannya terhadap dunia dan mendahulukannya atas akhirat, tidak tenang hatinya dan selalu merasa gundah, bertambahnya dan meningkatnya kemaksiatan yang dilakukannya, tidak mengenal atau tidak membedakan perbuatan ma’rûf dan munkar dll.[7]

  1. Menyibukkan diri sehingga tidak mengerjakan hal-hal yang bermanfaat dan tidak memiliki wibawa

Oleh karena itu Imam Al-Mâwardi rahimahullâh pernah mengatakan:

وَأَمَّا الضَّحِكُ فَإِنَّ اعْتِيَادَهُ شَاغِلٌ عَنْ النَّظَرِ فِي الْأُمُورِ الْمُهِمَّةِ، مُذْهِلٌ عَنْ الْفِكْرِ فِي النَّوَائِبِ الْمُلِمَّةِ.

وَلَيْسَ لِمَنْ أَكْثَرَ مِنْهُ هَيْبَةٌ وَلَا وَقَارٌ، وَلَا لِمَنْ وُصِمَ بِهِ خَطَرٌ وَلَا مِقْدَارٌ.

…Adapun tertawa, apabila seseorang membiasakannya dan terlalu banyak tertawa, maka hal itu akan melalaikan dan melupakannya dari melihat hal-hal yang penting. Dan orang yang banyak melakukannya, tidak akan memiliki wibawa dan kehormatan. Dan orang yang terkenal dengan hal itu tidak akan memiliki kedudukan dan martabat.[8]

  1. Menimbulkan permusuhan secara tidak sengaja dan lain-lain.

 

Bercanda pun memiliki adab-adab. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memperhatikan adab-adab tersebut. Di antara adab-adab bercanda adalah sebagai berikut:

  1. Tidak boleh ada kedustaan di dalam canda tersebut.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.)

“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.”[9]

Di zaman sekarang ini, banyak orang yang bekerja sebagai pelawak. Kebanyakan mereka tidak bisa menjaga lisannya dari kedustaan. Oleh karena itu, sebaiknya mereka segera mencari pekerjaan lain yang benar-benar terhindar dari hal yang diharamkan.

Begitu pula kepada para muballigh yang gemar membuat orang tertawa, sudah sepantasnya isi ceramahnya jangan mengada-ada, harus ilmiah dan memiliki rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan.

 

  1. Tidak boleh ada unsur penghinaan atau pelecehan terhadap agama Islam

{ وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66) }

“(65) Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (66) Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. jika kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah : 65-66)

Di zaman sekarang ini, banyak orang yang suka mengejek ajaran agama Islam dan menjadikannya sebagai bahan lelucon. Sebagai contoh: penghinaan terhadap jenggot dan mengatakan orang yang memanjangkan jenggotnya seperti kambing, penghinaan terhadap jilbab dan mengatakan itu hanya pakaian orang gurun, penghinaan terhadap cadar dan mengatakan bahwa itu ciri-ciri teroris, penghinaan terhadap orang yang tidak isbal (mengenakan kain di bawah mata kaki) dan mengatakan bahwa orang itu kebanjiran dan lain-lain.

Berdasarkan ayat di atas orang yang menghina ajaran Islam terancam untuk keluar dari agama Islam, disadari maupun tidak. Oleh karena itu, jangan sampai kita menganggap remeh permasalahan-permasalahan seperti ini.

  1. Tidak boleh ada unsur ghîbah dan peremehan terhadap seseorang, suku atau bangsa tertentu

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) }

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujurat: 11)

 

  1. Tidak boleh mengambil barang orang lain, meskipun bercanda

(( لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا.))

“Tidak boleh seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik bercanda maupun serius.”[10]

Meskipun bercanda, mengambil barang teman dengan tujuan menyembunyikan dan membuat dia bingung, hal tersebut tidak diperkenankan di dalam agama Islam.

  1. Tidak boleh menakut-nakuti orang lain.

(( لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا.))

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.”[11]

  1. Tidak boleh menghabiskan waktu hanya untuk bercanda

(( مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.))

“Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya.”[12]

  1. Tidak boleh berbicara atau melakukan hal-hal yang melanggar syariat, seperti: menyebutkan ciri-ciri wanita yang tidak halal baginya kepada orang lain, menipu, melaknat dll.

 

Demikianlah beberapa penjelasan tentang canda dan tawa yang tercela dan yang diperbolehkan. Mudah-mudahan kita semua dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.

 

Daftar Pustaka

  1. Âdabud-Dunyâ wad-Dîn. ‘Ali bin Muhammad bin Habîb Al-Mâwardi. Tahqîq: Muhammad Karîm Râjih. Dâr Iqra’.
  2. Al-Bidâyah wan-Nihâyah. Abul-Fidâ’ Ismâ’îl bin’Umar bin Katsîr. Tahqîq: ‘Ali Syairi. Dâr Ihyâ’ At-Turâts Al-‘Arabi.
  3. Dzammu Qaswatil-Qalb. Al-Hâfidzh Ibnu Rajab Al-Hanbali dan Muqaddimah muhaqqiq-nya, Abû Maryam Thâriq bin ‘Âtif hijâzi. Dâr Ibni Rajab.
  4. Dzammul-Hâwa. ‘Abdurrahmân bin Abil-Hasan Al-Jauzi. Tahqîq : Mushthafâ ‘Abdul-Wâh
  5. Al-Marâh fil-mizâh. Abul-Barakât Badruddin Muhammad bin Muhammad Al-Ghâzi. Tahqîq: Bassâm bin ‘Abdil-Wahhâb Al-Jâbi. Dâr Ibni Hazm.
  6. Walâ tuktsiridh-dhahik, fainna katsratadh-dhahik tumîtul-qalba. Dr. Badr bin ‘Abdil-H (http://www.saaid.net/Doat/hamesabadr/26.htm).
  7. Dan lain-lain, sebagian besar tercantum pada footnotes.

Penulis: Said Yai Ardiansyah, M.A.

 

 

[1] HR At-Tirmidzi no. 2305. Syaikh Al-Albâni berkata, “Hasan.” (Shahîh Sunan At-Tirmidzi.)

[2] HR Muslim no. 310.

[3] HR At-Tirmidzi no. 1990. Syaikh Al-Albâni berkata, “Shahîh.” (Ash-Shahîhah IV/304).

[4] HR Abû Dâwûd no. 5000 dan At-Tirmidzi no. 1991. Syaikh Al-Albâni berkata, “Shahîh.” (Shahîh Sunan Abi Dawud dan Shahih Sunan At-Tirimidzi).

[5] HR At-Tirmidzi dalam Syamâ-il-Muhammadiyah no. 240. Syaikh Al-Albâni berkata, “Hasan.” (Mukhtashar Syamâ-il dan Ash-Shahîhah no. 2987).

[6] Âdabud-Dunyâ wad-Dîn hal. 319 dan Al-Bidâyah wan-Nihâyah (XI/316)

[7] Lihat: Hinanya Hati Yang Keras. Said Yai. Majalah As-Sunnah.

[8] Âdabud-Dunyâ wad-Dîn hal.321.

[9] HR Abû Dâwûd no. 4990. Syaikh Al-Albâni berkata, “Hasan.” (Shahîh Targhîb wat-Tarhîb no. 2944).

[10] HR Abû Dâwûd no. 5003. Syaikh Al-Albâni berkata, “Hasan.” (Shâhih Sunan Abî Dâwûd)

[11] HR Abû Dâwûd no. 5004, . Syaikh Al-Albâni berkata, “Shahîh.” (Shahîh Sunan Abî Dâwûd)

[12] HR At-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Mâjah no. 3976.

Baca Juga Artikel:

Anjuran Memohon Dikaruniai Keturunan

Hinanya Hati Yang Keras

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.