Wajib Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin Dalam Kebaikan – Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita kepada jalan kebaikan. Sesungguhnya kita sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk apabila Allah tidak memberi kita petunjuk. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal shalih bisa terlaksana. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi kita, Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wasallam, para Sahabatnya, keluarganya, dan orang-orang yang setia mengikutinya sampai hari Kiamat.
Amma ba’du.
Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafus Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
Mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika mereka menyuruh kepada kemaksiatan, kita tidak boleh taat kepada mereka. Sesungguhnya ketaatan hanya berlaku dalam masalah kebaikan, bukan kemaksiatan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
﴿يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأوْلى الأمر منكمۖ فإن تنزعتم فى شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخرۚ ذلك خير وأحسن تأويلا﴾
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Berdasarkan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
((من أطاعني فقد أطاع الله, ومن عصاني فقد عصى الله, ومن يطع الأمير فقد أطاعني, ومن يعص الأمير فقد عصاني))
Artinya: “Barangsiapa taat kepadaku, maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa mendurhakaiku, berarti ia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa taat kepada pemimpinnya, berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpinnya, maka ia telah durhaka kepadaku.”
(Muttafaq ‘alaih)[1]
Sabdanya pula:
((اسمعوا وأطيعوا, وإن استعمل عليكم عبد حبشيّ كأنّ رأْسه زبيبة))
Artinya: “Dengarkan dan taatilah (pimpinanmu) walaupun yang berkuasa atas kalian adalah seorang hamba Habasyi (kulit hitam) yang seakan-akan kepalanya seperti kismis.” (HR. Muslim)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain:
((تسمع وتطيع للأمير, وإن ضرب ظهرك و أخذ مالك, فاسمع وأطع))
Artinya: “Engkau dengarkan dan taatilah pemimpin(mu) walaupun punggungmu dipikul dan hartamu di rampas. Maka dengarkan dan taatilah!” (HR. Muslim)[2]
Sabdanya juga:
((ومن من أميره شيئا فليصبر عليه, فإنه ليس أحد من الناس خرج من الساطان شبرا, فمات عليه, إلا مات ميتة جاهليّة))
Artinya: “Barangsiapa benci kepada suatu (tindakan) dari pimpinannya, hendak ia bersabar. Sebab, sesungguhnya tiada seorang pun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pimpinannya kemudian mati dalam keadaan demikian, melainkan dia mati dalam keadaan mati Jahiliyyah.” (HR. Muslim) [3]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa taat kepada Ulil Amri dalam kebaikan merupakan salah satu prinsip penting dalam ‘aqidah. Dari sinilah para ulama Salaf memasukannya dalam kategori masalah ‘aqidah. Hampir tidak ada buku-buku tentang ‘aqidah yang tidak mencantumkan tentang hal ini, menerangkan, dan menjelaskannya. Taat kepada Ulil Amri merupakan kewajiban bagi setiap Muslim secara syar’i. karena hal itu merupakan pondasi yang pokok dalam mewujudkan ketertiban dalam negara Islam.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpandangan pula bahwa shalat (lima waktu), shalat Jum’at, dan shalat ‘Iedain (Dua Hari Raya, Idul Fithri dan Idul Adh-ha) dilakukan bersama para pemimpin, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, jihad dan haji bersama mereka, baik mereka (Ulil Amri) itu orang baik maupun jahat. Ahlus Sunnah mendo’akan[4] mereka dengan kebaikan dan istiqomah serta memberikan nasihat[5] kepada mereka jika zhahirnya baik.
Ahlus Sunnah mengharamkan keluar dari kepemimpinan mereka (memberontak) engan pedang jika mereka berbuat dosa selain kekufuran. Hendaknya sabar jika terjadi hal tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada mereka dalam hal selain maksiat, selama tidak melakukan kekufuran dengan nyata. Mereka tidak boleh di perangi dalam kondisi fitnah, namun di perbolehkan untuk memerangi siapa yang hendak memecah belah persatuan umat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((خياركم أئمّتكم الذين تحبّونهم ويحبّنكم, ويصلون عليكم وتصلون عليهم. وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتاعنونهم ويلعنونكم قيل: يا رسول الله أفلا تنابذهم بالسيف؟ فقال: لا, ما أقاموا فيكم الصلاة وإذ رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله, ولا تنزعوا يدا من طاعة))
Artinya: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” Para Sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka mendirikan shalat. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian tidak sukai, bencilah perbuatannya (saja), namun janganlah keluar dari ketaatan kepadanya.” (HR.Muslim) [6]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((إنه يستعمل عليكم أمراء. فتعرفون وتنكرون, فمن كره فقد برئ. ومن أنكر فقد سلم. ولكن من رضي وتابع, قالوا: يا رسول الله ألا نقاتلهم؟ قال: لا, ما صلوا))
Artinya: “Sesungguhnya akan diangkat atas kalian pemimpin-pemimpin. Di antara mereka ada yang kalian akui dan ada yang kalian ingkari. Barangsiapa membencinya, maka ia telah terbebas, dan barangsiapa yang mengingkari (perbuatannya), maka ia telah selamat. Namun, barangsiapa yang rela dan mengikutinya (maka tidak selamat).” Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (HR. Muslim) [7]
Adapun taat kepada mereka dalam kemaksiatan, hal ini tidak boleh, sebagai perwujudan dari Sunnnah yang telah melarang hal tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((السمع والطاعة عل المرء المسلم, فيما أحب أو كره, ما لم يُؤمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة))
Artinya: “Setiap orang Muslim mendengar (ucapan) dan taat (perintah pemimpinnya), baik yang disukai maupun yang dia benci, selama tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika di perintah (berbuat) kemaksiatan, tidak boleh mendengarkan maupun mentaatinya.” (HR.Al-Bukhori) [8]
Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:
((لا طاعة في معصية الله إنما الطاعة في المعروف))
Artinya: ”Tiada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah; sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (Muttafaq ‘alaih) [9]
Seorang peimpin hendaknya bertakwa kepada Allah dalam memimpin rakyatnya, dan hendaknya ia tahu bahwa pemimpin adalah seorang yang dipekerjakan oleh Allah Ta’ala untuk mengurus rakyatnya, melayani agama Allah dan syari’at-Nya, serta melaksanakan hukum-Nya secara umum maupun khusus. Selain itu, hendaknya ia menjadi pemimpin yang kuat demi menegakkan (agama) Allah, dia tidak takut cacian dari orang yang mencaci, jujur terhadap rakyat, agama, darah, harta benda, kehormatan, keamanan, kemaslahatan, dan akhlaknya. Seorang pemimpin juga tidak boleh balas dendam karena kepentingan dirinya semata, namun marahnya karena Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( ما من عبد يسترعيه الله رعيّة, يموت يوم يموت وهو غاش لرعيّته, إلاّ حرّم الله عليه الجنة))
Artinya: “Tidak seorang hamba yang di angkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya kemudian dia wafat falam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan baginya (masuk) Surga.” (HR.Muslim) [10]
Maka betapa pentingnya ilmu ini bagi kita semua. Semoga apa yang saya tulis bisa bermanfaat bagi kita semua.
Wallahu a’lam bishshowaab.
Di ringkas oleh : Yasmin Yuni Azrah
Sumber : intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang di tulis oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari di terbitkan oleh Pustaka Imam Syafi’I.
[1] HR. Al-Bukhori (no. 2957, 7137) dan Muslim (no. 1835 (32)) dari Sahabat Abu Hurairoh.
[2] HR. Muslim (no. 1874 (52)) dari Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman.
[3] HR. Muslim (no. 1849 (52)) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.
[4] Mendo’akan para pemimpin dengan kebaikan, hidayah, dan istiqomah adalah termasuk cara yang ditempuh Salafush Shalih. Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu berkata: “Seandainya saya mempunyai do’a yang mustajab, pasti tidak akan saya panjatkan kecuali hanya pemimpin. Kita diperintahkan agar mendo’akan kebaikan bagi mereka dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan keburukan bagi mereka walaupun mereka jahat dan zhalim. Sebab kezhaliman dan kejahatannya hanya akan menimpa diri mereka sendiri, sedangkan kebaikan mereka untuk (berdampak) baik pula bagi umat.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Ketahuilah mudah-mudahan Allah mengampuni anda bahwa kejahatan para pemimpin itu merupakan salah satu bentuk murka Allah Ta’ala. Murka Allah itu tidak dihadapi dengan pedang, tetapi dapat di cegah dan di tolak dengan do’a, taubat, kembali ke jalan Allah, dan menjauhkan diri dari segala dosa. Sesungguhnya jika murka Allah dihadapi dengan pedang, murka tersebut akan menjadi lebih parah.” Disebutkan bahwa al-Hasan al-Bashri al-Hajjaj. Maka beliau menegur: “ Jangan berbuat demikian, mudah-mudahan Allah selalu merahmati anda. Sesungguhnya apa yang menimpa diri dari kalian adalah karena perbuatan sendiri. Sesungguhnya kami takut jika al-Hajjaj dicopot (dari jabatannya) atau wafat dan akan datang (pemimpin yang berwatak seperti) kera dan babi.” Lihat kitab Adabul Hasan al-Bashri, karangan Ibnu Jauzi (hlm.119).
[5] Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin adalah menolong mereka dalam kebenaran, taat dan menyuruh dengan kebenaran, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut, serta memberitahukan kepada mereka jika mereka lalai.” Syarh Shahih Muslim (1/241).
[6] HR.Muslim (no. 1855 (65)), ad-Darimi (no. 2793), Ahmad (Vl/24,28), dan Ibnu Abi’Ashim dalam Kitabus Sunnah (no.1071) dari Sahabat ‘Auf bin Malik al-Arsyja’I. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Kitabus Sunnah libni Abi ‘Ashim wama’ahu Zhildil Jannah fi Takhrijis Sunnah (hlm.501), dan Silsilatul Ahadits ash-Shahihah (no.907).
[7] HR. Muslim (no. 1854 (63)), Abu Dawud (no. 4760, 4761), dan at-Tirmidzi (no. 2265) dari Ummu Salamah.
[8] HR. Al-Bukhori (no. 2955, 7144) dan muslim (no. 1839(38)) dari Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma.
[9] HR. Al-Bukhori (no. 4340,7257), Muslim (no.1840), Abu Dawud (no.2625) an-Nasa’I (VII/159-160), dan Ahmad (1/94), dari Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
[10] HR.Al-Bukhori (no. 7150), dan Muslim (no.142 (227)) dari Sahabat Ma’qil bin Yasar.”
BACA JUGA :
Leave a Reply