Upah Pendakwah dan Penulis Buku Keislaman

upah pendakwah dan penulis buku keislaman

Upah Pendakwah dan Penulis Buku Keislaman – Sesungguhnya menyampaikan risalah Islam merupakan tugas suci yang diemban pertama kali oleh para nabi dan Rasul. Mereka menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan tanpa meminta honor, gaji atau upah.Yang sering terjadi adalah sebaliknya, umat mereka memberikan imbalan berupa hinaan, cacian, lemparan batu bahkan ancaman pembunuhan. Allah mengekalkan keikhlasan mereka berdakwah tanpa meminta honor dalam Alquran.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman tentang para rasul,

أُوْلَٰئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۖ فَبِهُدَاهُمُ ٱقتَدِهۡۗ قُل لَّآ أَسَلُكُم عَلَيهِ أَجرًاۖ إِن هُوَ إِلَّا ذِكرَىٰ لِلعَٰلَمِينَ

Artinya: “Mereka (para rasul) itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Alquran).”Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat”.[1]

Nabi Nuh berkata kepada umatnya,

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ

Artinya: “Dan (dia berkata), “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.”[2]

 Nabi Huud berkata kepada kaumnya,

يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الَّذِي فَطَرَي

Artinya: “Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?”[3]

Nabi Shaleh berkata kepada umatnya,

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas dakwah ini, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“.[4]

Nabi Luth juga berkata kepada kaumnya,

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas dakwah ini; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”.[5]

 Nabi Syu’aib juga mengatakan hal yang sama kepada umatnya,

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرِ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas dakwah ini; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“.[6]

Keikhlasan para nabi tersebut ditiru oleh para sahabat Nabi, tabiin, tabi’ittabi’in dan para ulama yang menjadi panutan umat dari masa ke masa, di mana mereka mengajar Alquran, tafsir, hadis, aqidah, fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya tanpa pernah menarik honor dari para jemaahnya. Akan tetapi, dewasa ini mengingatbiaya hidup untuk menutupi kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan) cukup tinggi yang menuntut para pendakwah harus memenuhi kebutuhan pokok dia dan keluarganya, bolehkah menerima gaji dari berdakwah, mengajar Alquran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya?

Hukum Menerima Honor Dari Baitul Maal

Para ulama sepakat bahwa honor yang diterima oleh para pendakwah, guru ngaji dan para pengajar ilmu agama yang berasal dari baitul maal (negara), hukumnya halal dan tidak termasuk imbalan dari dakwah yang mereka lakukan dan tidak mengurangi keikhlasan mereka, itu merupakan penghargaan dari pihak pemerintah dikarenakan mereka disibukkan oleh pekerjaan membina umat, sebagaimana dahulu para sahabat menerima athayaa (hibah) dari baitul maal 177 Begitu juga honor yang diberikan oleh lembaga-lembaga sosial, pihak dermawan, ataupun pribadi dalam jumlah yang tidak ditetapkan dan tidak disyaratkan oleh para pendakwah maka hukumnya disamakan dengan honor yang diterima dari baitul maal.

Halalkah Upah Kerja Dakwah?

Yang disepakati dari awal antara pendakwah dan pengguna jasanya, seperti: seorang guru mengajar Alquran atau Adapun upah ilmu-ilmu keislaman dengan mensyaratkan honor lima puluh ribu rupiah setiap kedatangan, atau seorang pendakwah mensyaratkan dari awal honor lima ratus ribu rupiah untuk sekali ceramah agama yang bila honor tersebut tidak mampu dipenuhi pihak pengguna jasa, pendakwah menolak untuk memberikan ceramah, hukum kehalalan upah ini diperselisihkan oleh para ulama.

Pendapat pertama: Para ulama dalam mazhab Hanafi dan Hanbali mengharamkan upah yang ditentukan dari semula sebagai imbalan jasa dakwah yang disampaikan. Para ulama ini berpegang kepada beberapa dalil:

  1. Ayat Alquran yang disebutkan diatas bahwa para Nabi tidak meminta upah kepada umatnya atas dakwah yang mereka sampaikan.

Tanggapan: Dalil ini tidak kuat, karena dakwah para nabi tersebut ditujukan kepada orang non muslim yang memang tidak akan mau memberikan upah. Dan juga di dalam ayat-ayat tersebut tidak ada larangan andai orang-orang yang menerima dakwah tersebut memberikan upah.

  1. Firman Allah ta’ala yang melarang menjual ayat-ayatNya dengan harga dunia dan melarang menyembunyikan petunjuk, sedangkan menolak memberikan dakwah tanpa imbalan yang sebelumnya termasuk menjual ayat dan menyembunyikan petunjuk.

Di antara ayat-ayat tersebut:

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah” (QS. Al Baqarah: 41).

Ada perbedaan antara honor yang berasal dari baitul maal atau lembaga sosial dan upah, di antaranya: Honor bersifat derma (sumbangan) yang tidak ditetapkan jumlahnya tergantung kemurahan hati para penderma atau kondisi keuangan lembaga dan mungkin juga tidak memberikan apa-apa, sedangkan upah merupakan transaksi yang wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak yang jumlahnya telah ditetapkan dari awal sebelum jasa dipakai tergantung hasil tawar menawar antara pihak pemberi dan pengguna jasa.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيْناهُ لِلنَّاسِ في الكِتابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ الله وَيَلْعَنَهُمُ الَّاعِنُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati”. (QS. Al-Baqarah: 159).

Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat, karena maksud ayat di atas bila seseorang telah menjadi fardhu ‘ain baginya untuk menyampaikan dakwah, seperti: dia berada di lingkungan yang sama sekali tidak ada orang yang mampu menyampaikan dakwah dan mengajar Alquran kecuali dirinya, dalam kondisi ini memang diharamkan dia menerima upah, karena dia melakukan suatu hal yang wajib sebagaimana seseorang yang melakukan shalat wajib, tidak mungkin dia berhak menerima gaji atas amalan shalatnya. Adapun orang yang berada di lingkungan di mana terdapat para pendakwah lain maka dia tidak wajib menyampaikan dakwahnya, dan melakukan amalan yang tidak wajib dibolehkan mengambil upah sebagai imbalan dari amalan tersebut.

  1. Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang makan upah mengajar Alquran

“Bacalah Alquran, dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan makan mengajar Alquran, dan memperbanyak harta melalui mengajar Alquran”.[7]

Pendapat kedua: Para ulama dalam mazhab Maliki dan Syafi membolehkan menarik upah dari kerja dakwah. Mereka berpegang kepada beberapa dalil:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa sekelompok sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah lalu orang kampung tersebut meminta mereka untuk mengobati kepala suku mereka yang terkena sengatan hewan berbisa, para sahabat mau mengobati dengan syarat orang kampung itu memberi imbalan beberapa ekor kambing, setelah terjadi kesepakatan, salah seorang sahabat mengobatinya dengan membaca surat Al Fatiha, seketika itu juga si sakit langsung sembuh dan mereka memenuhi akad serta memberikan beberapa ekor kambing yang disepakati, sebagian sahabat menolaknya, karena dianggap mengambil upah dari bacaan Alquran.

Dari dua pendapat di atas dengan argumen masing-masing, sebagian para ulama mencari jalan tengah, yaitu tidak dibenarkan mengambil upah berdakwah, kecuali untuk menutupi biaya kebutuhan pokok pendakwah dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Karena bila sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan langkanya orang yang mau mengajar, mendakwahkan dan menyiarkan agama Allah, karena para juru dakwah tersebut disibukkan oleh aktifitas kesehariannya mencari nafkah. Hal ini mungkin akan berakibat buruk terhadap generasi selanjutnya, mereka tidak lagi memahami agama Allah karena tidak ada lagi orang yang mengajarinya.

Dan bila dibolehkan tanpa syarat yang berarti dibolehkan mencari sebanyak-banyaknya dengan profesi sebagai pendakwah, seperti fenomena sekarang dimana seorang ustaz ternama tidak mau memberikan pengarahan agama bila imbalannya kurang dari sekian juta, hal ini jelas bertentangan dengan hadis yang melarang memperbanyak harta dengan mengajarkan Alquran. Dengan demikian pendapat ini cukup kuat, yakni boleh mengambil upah kerja dakwah untuk menutupi kebutuhan pokok, maka bila seorang juru dakwah memiliki penghasilan lain atau memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya, seyogianyalah ia tidak mengambil honor yang diberikan jamaah yang dikumpulkan oleh mereka rupiah demi rupiah agar mendapatkan siraman rohani dari seorang ustaz, sedangkan ustaz yang menerima honor tersebut hidup bergelimang harta.

Hak Cipta Menulis Buku Keislaman

Menulis buku tentang tuntunan Islam dalam segala sisi kehidupan: aqidah, ibadah, muamalat, akhlak dan lainnya merupakan salah satu cara menyebarkan risalah agama Allah, disamping menyebarkan agama dengan cara lisan dari generasi ke generasi yang telah dibahas tentang hukum mengambil upahnya. Metoda ini digunakan para pembawa risalah nubuwwah dari masa ke masa, hingga masa sekarang. Sebagai bukti nyata, buku- buku tulisan para ulama Islam mulai dari abad ke-2 Hijriyah hingga abad ini masih dapat dinikmati oleh generasi sekarang. Tetapi di masa sekarang, setelah mesin cetak ditemukan, sebuah karya ilmiyah sangat mudah diperbanyak dan digandakan, kemudian diperjual-belikan dengan harga yang terjangkau, apakah penulis karya ilmiyah tersebut boleh memiliki hak ciptanya yang dapat ia jual kepada penerbit?

Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hal ini:

Pendapat pertama: penulis tidak boleh mengambil imbalan atas hak cipta karya ilmiyah di bidang keislaman, jika diambil termasuk harta haram, mengingat ini adalah sebuah ibadah yang tidak boleh mengambil upah atas pelaksanaannya. Pendapat ini didukung oleh Prof. Dr. Ahmad Al Kurdi dan Syaikh Abdullah bin Bayyah 12,

Dalil-dalil pendapat ini:

  1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam,

مَنْ كُنم عِلْمًا الجمَهُ الله يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامِ مِنْ نَارٍ

Artinya: “Barang siapa yang menyembunyikan ilmu niscaya Allah akan mengekang mulut orang tersebut di hari kiamat dengan kekangan dari api neraka”.[8]

Ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut akan menimpa penulis yang mengambil imbalan uang atas hak ciptanya, karena dengan perbuatannya tersebut ia berarti menyembunyikan ilmunya, tidak mau menyebarkannya kecuali dengan diberi imbalan. Tanggapan: Dalil ini tidak kuat, karena yang dilarang adalah menyembunyikan ilmu dan bukan mengambil imbalan atas jerih payah penulis dengan menghabiskan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk menyusun sebuah karya ilmiyah.

Sungguh ia berhak mendapat imbalan atas waktu dan tenaga yang telah tersita sebagaimana upah dari setiap pekerjaan lainnya.

Kemudian penulis buku keislaman bukannya menyembunyikan ilmu, bahkan sebaliknya ia menyebarkan ilmu melalui karya ilmiyahnya 183,

  1. Menulis buku agama merupakan sebuah ibadah kepada Allah, dan tidak boleh mengambil upah atas pelaksanaan sebuah ibadah.

Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat, karena menulis tentang keislaman sekalipun ibadah, tidak terlarang mengambil upah atas pelaksanaannya sebagaimana mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya melalui lisan.

Pendapat kedua: penulis buku tentang ajaran Islam boleh mengambil upah atas hak cipta penulisannya. Pendapat ini merupakan keputusan berbagai lembaga Fikih internasional, di antaranya:

Al Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih Rabithah alam islami) dalam rapat tahunan ke IX di Mekkah, tahun 1986, keputusan no: 4, berbunyi, “Buku-buku dan penelitian ilmiyah, dahulu sebelum ditemukan mesin cetak yang dapat mencetak ribuan naskah, pada waktu itu sarana untuk penyalinan naskah hanyalah tulisan tangan. Terkadang seorang penyalin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyalin sebuah naskah, terutama buku yang banyak halamannya. Lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa no: 18453, berbunyi, “Tidak boleh menggandakan program komputer yang hak patennya dilindungi undang-undang tanpa seizin pemiliknya” 106

Dari fatwa tentang hak paten dapat diqiyaskan hak cipta penulisan karya ilmiyah. Dalil-dalil dari pendapat yang membolehkan mengambil upah dari penulisan karya ilmiyah dibidang keislaman adalah sebagai berikut:

  1. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إن أحق مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ الله

Artinya: “Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan Alquran”.[9]

Hadis ini menunjukkan bahwa boleh mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Alquran, maka mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang diambil dari Alquran hukumnya juga boleh. Dan mengajarkan ilmu, bisa dengan cara lisan dan juga bisa dengan cara tulisan dalam bentuk karya ilmiyah.

Dengan demikian, maka mengambil upah atas usaha penulisan karya ilmiyah dalam bidang ilmu-ilmu keislaman hukumnya boleh.

Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa pendapat yang paling kuat adalah hak cipta penulisan buku dan karya ilmiyah di bidang keislaman adalah milik penulis, ia berhak menjual dengan harga yang disepakati dengan pembeli (penerbit). Dan karena hak cipta adalah hak yang diakui syariat maka haram melanggarnya dengan cara membajak, diperbanyak tanpa seizin penulis, diterjemahkan ke dalam bahasa lain ataupun disimpan pada media seperti (CD) lalu dijual tanpa seizin penulis. Jika tetap dilakukan sungguh pembajaknya telah mencuri hak orang lain yang akan dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat.Dan bila saja hak cipta menulis buku keislaman yang merupakan ibadah dilindungi oleh syariat maka hak cipta menulis buku-buku ilmiyah lainnya, hak intelektual dari sebuah penelitian atau penemuan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah, juga dilindngi oleh syariat, tidak boleh dibajak dan ditiru tanpa izin pemilik hak.

  

Referensi:              

Dr. Erwandi Tarmizi. 2020. Harta Haram Muamalat Kontemporer Cetakan ke-23. Bogor: Berkat Mulia Insani.

Diringkas oleh:

Shofwah Ummu Zubair (Pengajar Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)

 

[1] Al- An’aam:90

[2] Huud:29

[3] Huud: 51

[4] As Syua’ara: 145

[5] As Syua’ara:164

[6] As Syua’ara: 180

[7] HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Hajar

[8] HR. Ahmad dan Ibnu Hibban. Al Arnauth berkata, “Sanad hadis ini hasan”

[9] HR. Bukhari

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.