
Ulama Salaf Dalam Menjaga Waktu – Sesungguhnya, segala puji bagi Allah semesta alam kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, dan kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita serta keburukan amal perbuatan kita. Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah ke zaman Dzakiyyah.
Al amasy meriwayatkan dari orang yang menceritakan kepadanya, bahwa ia menceritakan, Abdullah bin Masud pernah berkata, “Kalau aku sempat menghina seekor anjing sekalipun, aku akan takut kalau aku berubah menjadi anjing. Aku tidak akan senang melihat seseorang yang menganggur, tidak mengurus urusan akhirat maupun dunia.
Dari al-Hasan al-Bashri رحمه الله diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kau tidak lain hanya (akan hidup) beberapa hari; setiap kali waktu berlalu, berarti hilang sebagian dirimu.”
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman tentang waktu:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Artinya: “Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran”. (QS. Al-Ashr: 1-3)
Dari al-Hasan juga meriwayatkan, bahwa beliau, “Aku pernah bertemu dengan orang-orang dimana masing-masing mereka lebih pelit (lebih ketat) dalam menjaga umurnya daripada menjaga hartanya.
Termasuk juga ucapan al-Hasan dalam menasehati para muridnya agar mereka zuhud terhadap dunia dan menggairahkan mereka untuk mengejar akhirat, Beliau berkata, “Janganlah harta benda dunia fana yang sedikit ini melenakan dirimu, dan jangan pula menunggu dengan (mengorbankan) dirimu karena akan berlalu dengan cepat mengikis umurmu. Kejarlah ajalmu, jangan lagi katakan, ‘Besok dan besok.’ Karena kamu tidak pernah tau, kapan kamu akan kembali menemui rabbmu.
Diantara ungkapan al-Hasan al-Bashr iرحمه الله yang tercantum dalam surat yang ditulisnya kepada Umar bin Abdul Aziz misalnya, ”Saya akan menggambarkan kepada Anda bahwa dunia ini adalah satu saat diantara dua saat yang lain. Satu waktu yang telah lampau, satu waktu yang akan datang, dan satu waktu lagi saat di mana Anda hidup sekarang ini. Adapun masa lampau dan yang akan datang, tidak kalah memiliki kenikmatan dan juga tidak ada rasa sakit yang bisa dirasakan sekarang ini. Saat itulah yang kerap memperdaya Anda sehingga lupa dengan akhirat dan perjalanan yang bisa menghantarkan Anda ke neraka. Sesungguhnya bila Anda mengerti, hari ini adalah ibarat tamu yang mampir ke rumah Anda dan pergi meninggalkan Anda kembali. Apabila Anda member penginapan yang baik dan menghormatinya ia akan menjadi saksi atas diri Anda, memuji Anda dan berbuat benar untuk Anda. Tapi bila Anda memberi penginapan yang buruk, melayaninya dengan kasar, maka iakan terus terbayang di pandangan matamu. Kedua hal itu adalah dua kejadian yang diibaratkan dua orang saudara yang masing-masing bertamu kepadamu secara bergantian. Ketika yang pertama singgah, Anda bersikap buruk terhadapnya dan tidak memberi pelayanan yang baik antara Anda dan dia. Lalu di hari kemudian saudaranya berkata kepada Anda, ‘Sesungguhnya saudaraku telah Anda perlakukan dengan buruk.’ Sekarang aku datang sesudahnya, bila Anda melayani saya dengan baik, itu akan dapat membayar perlakuan buruk Anda terhadap saudara saya dan saya akan memaafkanmu apa yang teah Anda perbuat. Maka cukup Anda memberi pelayanan kepada saya apabila saya singgah menemui Anda setelah kepergian saudara saya tadi. Dengan itu Anda telah mendapat keuntungan sebagai gantinya bila Anda mau berpikir.
Ar-Raqqam pernah menceritakan, aku pernah bertanya kepada Abdurrahman (yakni Ibnu Abi Hatim) karena begitu banyaknya beliau mendengar dan bertanya kepada ayahnya sendiri (yang seorang ulama), maka beliau menjawab, ketika ayahku makan, aku membacakan kepada beliau, ketika berjalan, aku membacakan (kitab dan bertanya) pada beliau, bahkan ketika masuk jamban (WC) aku membacakan (kitab dan bertanya) pada beliau, dan ketika masuk rumah untuk satu keperluan, aku juga membacakan (kitab dan bertanya) pada beliau.
Ar-Razi menceritakan, aku pernah mendengar Ali bin Ahmad al-Khuwarizmi menyatakan, aku pernah mendengar Abdurrahaman bin Abu Hatim berkata, “Kami pernah berada di Mesir tujuh bulan dan tidak pernah makan sayur (makanan berkuah). Pada setiap siang, kami berkumpul di majelis-majelis syaikh. Dan pada malam harinya kami menyalin pelajaran dan mencocokkannya kembali. Pada suatu hari, aku bersama teman dekatku datang menemui seorang syaikh. Namun orang-orang bilang, ‘Beliau sedang sakit.’ Di tengah perjalanan, kami melihat ikan yang menarik. Kami pun membelinya. Ketika kami tiba di rumah, tepat datang waktu belajar, sehingga kami belum sempat menyainginya. Kami pun langsung berangkat ke majelis. Demikian terus waktu berlalu hingga tiga hari. Ikan itu tentu sudah hampir busuk. Maka kami pun memakannya sekalipun sudah berubah baunya. Kami tidak sempat memberikannya kepada seseorang untuk dibakar.” Kemudian beliau menanyakan, “Sesungguhnya ilmu itu tidak bisa diperoleh dengan bersenang-senang.”
Al-Qasim bin Asakir meriwayatkan dari Sulaim bin Ayyub, “Aku pernah mendengar bahwa beliau selalu mengintrospeksi diri sampai dalam setiap desahan nafas. Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa faidah. Beliau pasti mengisinya baik dengan menulis, belajar ataupun membaca. Dan aku pun dikabari bahwa beliau biasa menggerak-gerakkan kedua bibirnya sampai seolah-olah memotong pena.
Abu Wafa bin Abu Aqil menceritakan tentang dirinya sendiri, “Sesungguhnya aku tidak membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya satu jam dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan pikiranku kala beristirahat sambal berbaring. Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis. Dan ternyata aku mendapati hasratku untuk belajar pada umur delapan puluhan, lebih besar dari hasrat belajarku pada umur dua puluh tahun.”
Beliau juga menceritakan, “Dengan segala kesungguhan, aku juga memendekkan waktu makanku, sampai-sampai aku lebih memilih memakan biscuit yang dilarutkan dengan air daripada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda jauh waktu yang di hasilkan ketika mengunyahnya. Yakni demi lebih memberi waktu untuk membaca dan menyalin berbagai hal bermanfaat yang belum sempat kuketahui.”
Semoga Allah merahamati seorang perdana Menteri yang faqih semacam Yahya bin Muhammad bin Hubairah guru dari Ibnul Jauzi-,ketika berkata,
“Waktu adalah yang paling berharga dari apa yang engkau jaga, dan aku melihat waktu itu juga yang paling mudah tersia-siakan olehmu.”
Banyak dari manusia menyia-nyiakan waktu luang dan tidak mengerjakan waktu luang tersebut untuk melakukan amalan sholeh dan melakukan hal yang bermanfaat. Bahwasannya Nabi shallahu alaihi wa salam bersabda:
نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس الصحة و الفراغ
Artinya: “Dua kenikmatan yang manusia banyak tertipu terhadanya, yaitu sehat dan waktu luang” (HR. Bukhori dan muslim)
Ibnu an-Nafis, guru besar kedokteran di zamannya menuturkan, bahwa apabila beliauرحمه الله hendak mulai menyusun buku, beliau siapkan dulu pena-pena yang sudah diruncingkan, lalu beliau menghadap kea rah dinding. Setelah itu beliau menulis secara spontanitas dari hafalannya. Beliau menulis ibarat air mengalir. Apabila penanya telah tumpul dan tidak nyata tulisannya, beliau campakkan untuk diganti dengan yang lain, yakni agar waktu beliau tidak tersita untuk meruncingkan penanya kembali… Suatu hari Ala’uddin (yakni Ibnu an-nafis) masuk kedalam kamar mandi yang berada di pintu az-Zahumah. Ketika di pertengahan mandi, beliau beranjak ke ujung kamar mandi tempat melepaskan pakaian; beliau meminta dibawakan pena dan kertas. Lalu beliau lansung menulis makalah soal denyut nadi hingga selesai. Setelah itu beliau kembali ke kamar mandi dan meneruskan mandinya.”
Tentang dirinya sendiri, Ibnuk Jauzi رحمه الله pernah menuturkan, “Saya telah melihat banyak orang yang berjalan-jalan Bersama saya saling mengunjungi sebagaimana yang menjadi kebiasaan masayarakat. Mereka menyebutkan kebiasaan itu sebagai ‘pelayanan’. Mereka biasanya mencari tempat duduk (di kediaman seseorang) dan memperbincangkan omongan orang yang tidak berguna. Kadang-kadang semuanya itu diselingi dengan menggunjing orang lain.
Kebiasaan macam itu banyak dilakukan oleh anggota masyarakat di zaman kita sekarang ini. Terkadang diminta sendiri oleh orang yang dikunjungi dan dia juga terhadang rindu terhadap kunjungan itu, bahkan terkadang seseorang merasa kesepian bila sendirian; khususnya pada hari-hari raya dan Id. Kita bisa melihat mereka saling tAndang ke rumah temannya, tidak hanya mencukupkan diri dengan mengucapkan selamat dan sejenisnya, tapi mereka menyelinginya dengan membuang-buang waktu seperti yang telah say paparkan.
Ketika kulihat bahwa waktu itu adalah sesuatu yang paling berharga, sementara kewajiban kita adalah melakukan kebajikan, aku pun tidak menyukai kebiasaan itu. Sikapku terhadap mereka antara dua hal saja: Kalau aku menyangkal mereka, akan terjadi kekisruhan yang bisa memecah persahabatan. Tapi kalau aku menerima ajakan mereka, aku akan membuang-buang waktu. Akhirnya aku memilih berusaha menolak secara halus, kalau gagal, aku ikuti mereka, namun aku tidak mau mengobrol Panjang agar cepat selesai pertemuannya.
Kemudian aku menyiapkan berbagai aktivitas yang tidak menghalangi aku untuk berbincang-bincang dengan mereka ketika bertemu muka, artinya agar waktuku tidak terbuang sia-sia. Sehingga yang aku persiapkan sebelum bertemu dengan mereka adalah memotong ka’ghid (kertas yang kusiapkan untuk menulis) dan meruncingkan pena serta menyiapkan buku-buku tulis. Semuanya itu perangkat yang tidak boleh tertinggal. Dan selebihnya tidak terlalu membutuhkan pikiran dan konsentrasi. Aku pun menyiapkannya pada saat-saat terjadi pertemuan dengan mereka agar waktuku tidak terbuang sia-sia.
Demikianlah nasehat ini semoga bermanfaat bagi kita dan kaum muslimin, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang selalu menggunakan waktu dengan melakukan amalan-amalan sholeh, barakallahufiikum jami’an.
Sumber:
Meneladani Akhlak GENERASI TERBAIK (Abdul Aziz bin Nashir al-Julayyil Baha’uddin bin Fatih Uqail
Diringkas oleh: Rico muzakki
BACA JUGA :
Leave a Reply