Shalat berjamaah merupakan Shalat yang dilaksanakan bersama-sama minimal 2 orang terdapat imam dan makmum dan dapat dilaksanakan dimana saja baik masjid, musala, maupun rumah. Shalat dipimpin oleh Imam dan Makmum harus mengikuti gerakan Shalat setelah Imam, sehingga tidak boleh mendahului Imam. Hukum Shalat berjamaah adalah sunah mua’akkad, tetapi pendapat lain seperti Imam al-Rafi’I hukumnya sunah dan dalam pandangan Imam an-Nawawi hukumnya fardhu kifayah, serta menurut Ibnu Mundzir dan Ibn Khuzaimah hukumnya adalah fardhu’ ain.
Perbedaan hukum Shalat tersebut berdasarkan jenis Shalat seperti Shalat Jumat hukumnya wajib untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk Shalat fardhu atau Shalat wajib lima waktu hukukmnya adalah sunah muakkad. Sesungguhnya Allah telah memberi penjelasan bahwa Allah telah memudahkan hamba-Nya ketika memiliki kesulitan, seperti melaksanakan Shalat berjamaah di rumah jika mengalami kesulitan seperti sakit.
- Dalil tentang Shalat Berjamaah di Surat An—Nisa ayat 102
Artinya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
- Hadis Dalil tentang Shalat Berjamaah oleh HR. Muslim No. 1044
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu (diriwayatkan) ia berkata: “ “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)? Laki-laki itu menjawab: Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)”.
3. HR. al-Bukhari No. 595 dan Muslim No. 1080
قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya: … kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk shalat). Beliau lantas menyebutkan sesuatu yang aku pernah ingat lalu lupa. Beliau mengatakan: Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kalian (HR. al-Bukhari no. 595 dan Muslim no. 1080).
4. HR. al-Bukhari No. 609 dan 610 dan Muslim No. 1036 dan 1039
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Artinya: Dari Abdullah ibn Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat”. (HR. al-Bukhari no. 609 dan 610, dan Muslim no. 1036 dan 1039).
syarat-syarat dan siapa yang berhak menjadi imam shalat berjamaah. Untuk syarat-syaratnya, di antaranya yaitu laki-laki, adil, dan faqih. Jadi, tidak sah wanita menjadi imam bagi laki-laki.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang menyebutkan, “Janganlah sekali-sekali wanita dan orang berdosa menjadi imam bagi orang beriman, kecuali jika ia memaksa dengan kekuasaan, atau cambuknya dan pedangnya yang ditakuti.” (HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis ini, masih dalam tulisan Syekh Abu Bakar, wanita bisa saja menjadi imam. Namun, bagi wanita-wanita atau anak-anak.
Yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling ahli tentang Alquran, kemudian paling tahu tentang agama Allah, kemudian orang yang paling besar ketakwaannya. Selanjutnya, orang yang paling tua usianya, karena Nabi Muhammad bersabda:
“Orang yang berhak mengimami manusia ialah orang yang paling tahu (qari) tentang kitabullah. Jika bacaan mereka sama, maka siapa yang paling tahu tentang sunah. Jika pengetahuan mereka terhadap sunah sama saja, maka siapa di antara mereka yang paling dulu hijrah. Jika hijrah mereka sama, maka siapa di antara mereka yang paling tua usianya.” (HR Muslim).
Selama tidak ada penguasa di antara jamaah, dan tidak ada tuan rumah, maka orang yang memiliki kriteria di atas berhak menjadi imam daripada orang lain. Karena, Nabi bersabda:
“Janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain di rumahnya dan mengimami penguasa kecuali dengan izinnya.”
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ .فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ) مكان سِلمًا( سِنًّا
Artinya: “Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” (HR. Muslim no. 673, dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin Amir radhiyallahu ’anhu).
Ini kriteria-kriteria pemilihan imam yang hendaknya diperhatikan oleh masyarakat dan para pengurus masjid. Namun andaikan orang yang lebih paham agama atau lebih baik bacaan Qur’annya datang ke suatu masjid yang ada imam ratib (tetap) di sana, maka imam ratibtersebut lebih berhak menjadi imam sebagaimana disebutkan dalam hadits. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ
Artinya: “Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673)
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan, “Imam masjid yang ratib (tetap) jika ia memang mahir mengimami shalat, maka tidak boleh melangkahinya untuk memajukan orang lain menjadi imam. Walaupun orang lain ini lebih utama darinya” (Al Mulakhas Al Fiqhi, 115).
Orang yang singgah di suatu masjid atau orang yang statusnya bukan imam tetap, hendaknya tidak bermudah-mudah maju menjadi imam shalat jama’ah di suatu masjid atau di suatu shalat jama’ah. Dari sahabat Abu Mas’ud Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
وَلا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلا بِإِذْنِهِ
Artinya: “Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673).
Hadits ini menunjukkan terlarangnya seorang pendatang di suatu masjid atau tempat untuk maju padahal ada yang lebih berhak yaitu imam tetap atau pemilik tempat. Walaupun pendatang tersebut merasa lebih baik bacaan Qur’annya atau merasa lebih paham agama.
Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
مَعْنَاهُ: مَا ذَكَرَهُ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ: أَنَّ صَاحِب الْبَيْت وَالْمَجْلِس وَإِمَام الْمَسْجِد أَحَقّ مِنْ غَيْره، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْغَيْر أَفْقَه وَأَقْرَأ وَأَوْرَع وَأَفْضَل مِنْهُ وَصَاحِب الْمَكَان أَحَقّ فَإِنْ شَاءَ تَقَدَّمَ، وَإِنْ شَاءَ قَدَّمَ مَنْ يُرِيدهُ
Terjemahannya: “Maknanya, sebagaimana disebutkan para ulama madzhab kami, bahwa pemilik rumah, atau pemilik majelis, atau imam (tetap) masjid, lebih berhak untuk menjadi imam daripada yang lain. Walaupun ada orang lain yang lebih ‘alim (berilmu agama), lebih pandai membaca Al Qur’an dan lebih utama darinya. Dan pemilik tempat lebih berhak untuk menjadi imam. Ia bisa memilih apakah ia yang maju atau mempersilahkan orang lain untuk maju” (Syarah Shahih Muslim, 5/147).
Namun dibolehkan orang pendatang untuk menjadi imam jika diizinkan oleh imam tetap atau oleh pemilik tempat. Asy Syaukani rahimahullahmengatakan, Terjemahannya: “Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa orang yang sedang berkunjung menjadi imam dengan izin pemilik tempat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud; [kecuali diizinkan olehnya]” (Nailul Authar, 3/170).
Atau dibolehkan juga pendatang menjadi imam ketika imam tetap atau pemilik tempat ada udzur sehingga tidak bisa mengimami. Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan:
وَحرم ان يؤم قبل راتب الا بِإِذْنِهِ اَوْ عذره اَوْ عدم كَرَاهَته
Terjemahannya: “Diharamkan seseorang menjadi imam sebelum imam ratib (imam tetap) datang, kecuali atas izin darinya atau ia ada udzur atau ia tidak membencinya” (Akhsharil Mukhtasharat, 120).
Kesimpulannya, Ketika kita melaksanakan shalat berjamaah, tentu salah satu dari kita harus ada yang menjadi imam. Pertanyaannya, apakah semua orang boleh menjadi imam shalat? Tentu tidak. Tidak semua orang berhak menjadi imam shalat. Lalu siapa yang berhak menjadi imam shalat? Orang yang paling berhak menjadi imam shalat ialah orang yang paling bagus bacaan Al-qur’annya. Akan tetapi timbul pertanyaan, bagaimana jika di tempat tersebut ada dua orang atau lebih yang bagus bacaan Al-qur’annya? Maka yang dipilih adalah orang yang paling paham terhadap agama islam dan hukum-hukumnya. Jika mereka memiliki kemampuan yang sama juga? Maka yang dipilih adalah yang paling dahulu hijrahnya. Jika mereka memiliki kesamaan yang dalam tiga hal tersebut, maka orang yang paling berhak adalah orang yang paling dahulu masuk islamnya.
“Dari Abu Mas’ud Al-anshary Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Yang paling berhak menjadi imam suatu kaum adalah yang paling bagus bacaan Al-qur’annya. Apabila mereka sama dalam hal tersebut, maka yang paling mengerti tentang sunnah. Apabilamereka memiliki kemampuan yang sama dalam pemahamannya terhadap sunnah, maka yang jadi imam adalah yang paling dahulu hijrah. Apabila mereka hijrahnya bersamaan, maka yang paling dahulu masuk islam.” (HR. Muslim)
REFERENSI:
Diringkas dari buku Fiqih pustaka Sofwa, Diringkas oleh : Amelya Putri Anjani (Pengabdian SDIT Ibnu Abbas Pagaralam)
BACA JUGA :
Leave a Reply