TENTANG UMUR DAN AMAL

TENTANG UMUR DAN AMAL

 

TENTANG UMUR DAN AMAL-Segala puji bagi Allah, semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan Allah Subhanahu Wata’ala dan semoga kita semua di berikan ke istiqamahan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Di zaman sekarang ini, yaitu zaman yang sudah maju dan canggih beserta fasilitas-fasilitas-nya yang mumpuni, dengan gedung-gedung yang tinggi dan bagus.

Manusia berlomba-lomba untuk saling membangun gedung-gedung dan berlomba-lomba menumpuk kekayaan.

Tanpa memikirkan bahwa umur manusia hakikatnya semakin hari semakin berkurang, bukan bertambah.

Mereka lalai akan hal ini, mereka disibukkan dengan bisnis-bisnis mereka, pergi kesana-kesini dan bercanda bersama teman ataupun keluarga mereka.

Tanpa tahu sejatinya mereka akan kembali kepada rabbnya.

Umur manusia adalah perkara ghaib, dan Allah merahasiakan perkara ini.Tak seorangpun tahu berapa panjang usia yang dijatahkan untuknya.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

هو الذي خلقكم من طين ثم قضى اجلا، واجل مسمى عنده ثم انتم تمترون

Artinya: ”Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah yang mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (QS. Al-An’am: 2)

Umur manusia sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Manusia hanya dapat menerima keputusan Allah tentang umurnya. Karenanya, manusia tidak mengetahui panjang pendek umurnya. Manusia juga tidak mengetahui sampai kapan ia akan hidup di dunia. Hanya Allah-lah yang mengetahui.

Manusia juga tidak bisa mengurangi atau menambah umurnya. Jika ajalnya telah tiba, maka manusia akan mati walaupun ia berusaha mengundurkannya. Dan, jika ajalnya belum tiba, manusia tetap tidak akan mati walaupun ia berusaha mempercepat kematiannya.

Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan, ”Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka jika telah datang waktunya, mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf:34).

Umur yang diberikan Allah kepada manusia adalah amanat yang harus dijaga dengan baik. Karenanya, harus diisi dengan kebaikan-kebaikan dan amal saleh. Nilai umur manusia tidak ditentukan oleh panjang atau pendeknya, melainkan oleh kualitas amal yang diperbuat dalam masa hidupnya.

Dalam pandangan Rasulullah, umur yang panjang pada hakikatnya adalah yang diisi dengan perbuatan baik dan amal saleh. Beliau bersabda, ”Barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka hendaklah ia berbuat baik kepada kedua orang tua dan menjalin silaturrahim dengan sesama.”[1]

Panjangnya umur seseorang tidak akan bernilai sama sekali jika tidak diisi dengan amal saleh.

Bahkan, boleh jadi hanya menjerumuskan ke dalam azab Allah. Umur panjang yang diisi dengan perbuatan baik dan amal saleh menjadi bukti kualitas hidup manusia di dunia dan meninggikan derajatnya di sisi Allah.

Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya.

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[2]

Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).”[3]

Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?!

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

انّ الله عنده علم السا عة، وينزل الغيث، ويعلم ما فى الارحام، وما تد ري نفس ماذا تكسب غدا، وما تدري نفس باي ارض تموت، الله عليم خبير.

Artinya: “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.”[4]

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma  berkata, yang artiknya: “Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.”[5]

Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang?!

Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu

Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah Subhanahu Wata’ala. Suatu generasi yang keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.

Jadi, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya,

كانوا قليلا من اليل ما يهجعون، وبالأسحار هم يستغفرون

Artinya: “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)

Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia terlelap dalam tidurnya. Namun, sudah seperti itu keadaannya, mereka selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan. Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan perasaan takut akan adzab Allah.

Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.

Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.

Dahulu ada yang menyebutkan tentang Imam Abdullah bin Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”

‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut. Masing-masing memiliki anak-anak (pecinta)nya. Maka dari itu, jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.”[6]

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” [7]

Wallahua’lam.

Referensi:

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.

Di ringkas oleh :

Nama : Lailatul Fadilah (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits Oku Timur)

[1]  HR. Ahmad

[2]  HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, lihat Shahih al-Jami’ no. 3297

[3]  HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Lihat ash-Shahihah, no. 946

[4]  Ma’alim FiThariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32

[5]  HR. al-Bukhari no. 6416

[6]  Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi

[7]  HR. al-Bukhari no. 6420

Baca juga artikel:

Makanan Halal Haram (Bagian I)

Indahnya Berbaik Sangka Kepada Allah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.