Oleh : Ahmad Khaidir Lc
Alloh menciptakan manusia berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, sebagian lebih tinggi dari ada sebagian yang lain. Hal ini sebagai ujian, supaya mereka bersyukur atas ni’mat yang telah Alloh berikan kepada mereka, sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa ta’ala:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am: 165)
Dan di antaranya, ada yang diberi kelebihan oleh Alloh berupa karomah, yang mana ini biasanya orang mengenal dengan istilah karomah para wali dan ini diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Prinsip Dasar Ahlussunnah Wal Jama’ah Dalam Masalah
Karomah adalah hal atau peristiwa luar biasa yang diberikan oleh Alloh kepada para wali-Nya. Karomah adalah merupakan perkara yang terjadi di luar kebiasaan, tidak biasa bagi manusia biasa.[1]
Di antara prinsip dasar akidah ahlussunah wal jama’ah dalam masalah ini adalah menyakini dan membenarkan adanya karomah bagi para wali Alloh.
Pembagian Manusia Mengenai Karomah Para Wali[2]
Terhadap masalah karomah para wali ini, manusia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Orang-orang yang meniadakan atau tidak mempercayainya.Sikap ini seperti yang dimiliki oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan sebagian kelompok dalam Asya’irah (Asy’ariyyah). Alasan mereka adalah bahwasanya jikalau hal-hal luar biasa atau di luar kebiasaan boleh terjadi pada para wali, niscaya tidak bisa dibedakan antara nabi dengan lainnya, sebab perbedaan antara seorang nabi dengan lainnya itu adalah mukjizat yang merupakan hal atau peristiwa di luar kebiasaan.
- Orang-orang yang berlebihan di dalam menetapkan dan menyakini karomah. Mereka berasal dari kelompok Tarekat Sufi dan pemuja kuburan, mereka datang kepada manusia dengan menampakkan khawariq syaithani ( hal-hal yang bersifat di luar kebiasaan namun berasal dari setan ), seperti anti bakar, anti bacok dan perilaku-perilaku aneh lainnya yang dianggap oleh pemuja kuburan yang mereka sebut dengan kahawariq (sesuatu yang di luar kebiasaan).
- Orang-orang yang beriman dan meyakini adanya karomah para wali berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan inilah sikap yang benar dalam menanggapi orang yang diberi karomah.
Keutamaan Memuliakan Orang Yang Diberi Kelebihan Oleh Alloh Seperti Karomah
Di antara keutamaan orang yang memuliakan orang yang diberi karomah yaitu
- Menambah keimanan kita. Dengan kita memuliakan wali Alloh dan mencintainya,dengan tidak berlebih-lebiahan dan tidak menyelisihi syariat, berarti kita telah memuliakan kekasih Alloh dan hal ini akan menambah keimanan kita kepada Alloh, bahkan akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana sabda Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Siapa yang mencintai karena Alloh, membenci karena Alloh, memberi wala (sikap cinta, membantu dan loyal) karena Alloh dan memusuhi karena Alloh, maka sesungguhnya dapat diperoleh kewalian Alloh hanya dengan itu. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman, sekalipun banyak sholat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya ”[3]
- Memberikan dorongan untuk selalu melakukan ketaatan. Dengan kita selalu bermuamalah dan memuliakan mereka, maka kita akan selalu dituntun, dibimbing dan akan mendapatkan pengaruh baik darinya serta memberikan dorongan kepada kita selalu melakukan ketaatan kepada Alloh karena atas bimbingan-Nya. Sebagaimana Rosululloh telah mengingatkan kita akan pengaruh orang yang dekat dengan kita. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Seseorang tergantung dengan agama temannya“[4]
Akan tetapi jangan sampai mereka merusak niat ikhlas kita karena Alloh yaitu dengan menjadikan mereka sebagai tujuan niat kita ketika beramal, bahkan ini bisa menyebabkan seseorang terperosok dalam jurang kesyirikan dan ini adalah sebuah bencana.
Bagaimana Sikap Kita Kepada Orang Yang Disinyalir Mendapatkan Karomah Dari Alloh?
Sebelum kita menyebutkan beberapa sikap kepada orang yang disinyalir mendapatkan karomah dari Alloh, maka kita harus memperhatikan nukilan berikut ini:
- Nukilan yang diringkas dari perkataan Imam Syathibi rahimahullah tentang syarat seseorang dikatakan mendapatkan karomah, yang mana beliau berkata: “Ketika ating sesuatu di luar kebiasaan terjadi pada diri seseorang, maka apabila kejadian itu memiliki dasar dari karomah Rosululloh dan mu’jizatnya, maka kejadian itu benar. Akan tetapi, apabila kejadian itu tidak memiliki dasar, maka hal itu salah meskipun dalam timbangan akal, hal itu adalah sebuah karomah, karena tidak semua kejadian di luar kebiasaan yang ating pada diri seseorang itu dikatakan sebuah karomah, akan tetapi bisa jadi itu adalah karomah dan bisa jadi bukan.[5] Dan beliau juga berkata : “Dari sini bisa diketahui, bahwasanya semua kejadian di luar kebiasaan yang telah terjadi dan yang akan terjadi hingga hari kiamat, maka tidak ditolak dan tidak diterima kecuali setelah dihadapkan dan ditimbang dengan atin syariat, apabila atin syariat membolehkan, maka hal itu benar dan bisa diterima. Namun bila tidak, maka itu adalah salah dan ditolak kecuali hal itu berasal dari, maka tidak perlu melihat pendapat seseorang, karena hal itu adalah kejadian yang kebenarannya pasti ”[6].
- Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Dan semua orang yang menyelisihi salah satu dari apa yang ating dari Rosululloh, yang didasarkan karena taqlid (ikut-ikut tanpa dalil) kepada seseorang yang disangka dia adalah wali Alloh, yang mana dia telah mewujudkan dan menampakkan perihal yang menunjukkan bahwasanya dia adalah seorang wali, maka hal ini tidak dibenarkan, karena wali Alloh tidak akan menyelisihi dan melanggar salah satu dari apa yang ating dari Rosululloh, meskipun dia adalah seorang dari pembesar wali-wali Alloh, seperti para pembesar dari kalangan sahabat dan tabi’in yang memiliki kebaikan, maka tidak akan diterima darinya bilamana menyelisihi Al-Qur’an dan sunnah, maka bagaimana kalau dari orang yang bukan seperti itu”[7].
Setelah memperhatikan perkataan para ulama tentang karomah, maka berikut ini beberapa etika kita kepada orang yang diberi karomah:
- Tidak berlebihan kepada mereka.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya orang yang mendapat karomah dari Alloh adalah manusia dan mereka bukan dari golongan para Nabi atau Rosul,yang mana mereka mendapat mu’jizat, bahkan kita pun dilarang untuk berlebih-lebihan kepada para Nabi dan Rasul. Oleh karena itu kita dilarang untuk melebihkan mereka, melebihi derajatnya sebagaimana manusia yang lainnya. Hanya saja bedanya, mereka diberi kelebihan oleh Alloh berupa karomah. Untuk itu maka wajib bagi seorang muslim dan muslimah untuk menjauhkan dirinya dari sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas, karena Alloh telah melarangnya, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…” (an-Nisa: 171)
Apalagi sikap berlebih-lebihan adalah penyebab hancurnya orang-orang dahulu, sebagaimana sabda Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
“Dan jauihilah sikap berlebih-lebihan, karena kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan karena sikap berlebih-lebihan di dalam agama”[8]
Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Binasalah orang-orang yang berlebihan tindakannya (Beliau menyebutkan kalimat ini sampai tiga kali)” [9]
Bahkan memuji dengan berlebih-lebihan kepada hamba yang sangat dicintai oleh Alloh dan maksum saja (terpelihara dari dosa), yaitu Rosululloh, itu saja dilarang. Bahkan beliau sendiri juga melarangnya. Maka kepada yang lebih rendah derajatnya dari mereka, seperti orang yang mendapat karomah, maka lebih keras lagi larangannya. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah dan Rosululloh (hamba Alloh dan RasulNya).[10]
Apalagi berlebihannya dengan sikap yang lebih besar dari pada sekedar memuji, seperti meminta barokah, menyakininya memiliki kesaktian dan kekuatan, meminta supaya mengabulkan permintaan mereka, yang mana tidak ada yang bisa mengabulkan kecuali hanya Alloh. akah al ini jelas lebih dilarang lagi, bahkan termasuk perbuatan syirik besar yang tidak diampuni dosanya. Alloh berfirman:
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa : 48)
2. Tidak mengurangi dan meninggalkan hak-hak mereka.
Orang yang mendapatkan karomah dari Alloh adalah manusia, maka wajib bagi kita untuk memberikan hak-hak mereka sebagaimana orang lain mendapatkan haknya sebagai seorang hamba Alloh, tidak mengurangi haknya atau meninggalkannya, seperti bermuamalah dengannya, menegakkan okum syariat Islam kepadanya dan hak-hak yang lainnya
- Tidak mencela dan memerangi mereka.
Wajib seorang muslim untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat mengganggu mereka bahkan barangsiapa yang memusuhi wali Alloh, berarti telah menantang untuk perang kepada Alloh dan Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana dalam hadits qudsi, dari Rosululloh n , Alloh berfirman:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengizinkannya untuk memerangi (nya). (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah)
- Wajib mencintai dan menyangi mereka karena Alloh.
Rosululloh n bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah (sempurna) iman seorang di antara kalian sehingga dia mencinta saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”[11]
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam :
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya! Tidaklah kalian akan masuk surga sehingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling menyayangi. Maukah aku tunjukkan sesuatu kepadamu, yang apabila kalian melakukannya, niscaya kalian akan saling menyayangi? Yaitu sebarkan salam di antara kalian”[12].
Dari dua hadits ini menunjukkan, bahwasanya kita harus mencintai orang lain, apalagi kepada orang yang memiliki kedudukan yang lebih di sisi Alloh Subhanahu wa ta’ala, yaitu orang yang mendapatkan karomah, maka harus dicintai.
Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwasanya cinta kita kepada mereka, tidak boleh sama apalagi melebihi cinta kita kepada Alloh dan Rasul-Nya. Alloh berfirman :
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh…”(QS. Al-Baqoroh: 165)
Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian sehingga Alloh dan Rasul–Nya lebih dicintai dari pada selain keduanya”
- Boleh meminta doa dan bertawasul dengan mereka ketika mereka masih hidup dengan cara yang benar dan tidak menyelsihi syariat.
Hal ini sebagaimana ketika para sahabat mengalami kekeringan lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam agar berdoa untuk mereka. Dan ketika Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam telah wafat, mereka meminta kepada pamannya, Abbas, lalu ia pun berdoa untuk mereka.
Demikian hal-hal yang berkaitan dengan sikap kita kepada orang yang diberi kelebihan oleh Alloh seperti diberi karomah, dan semoga kita termasuk orang yang dapat melaksanakannya dan mendapat karunia dari Alloh dan menjadi kekasih-Nya.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 03
[1] At-tauhid lissoffitstsaalits Al-“Aliy, Dr. Sholih Al-Fauzan.
[2] Dinukil dengan sedikit ringkasan dari “ At-Tauhid lissoffitstsaalits Al-“Aliy,” Dr. Sholih Al-Fauzan.
[3] (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul-Kabir)
[4] (HR. Ahmad: 2/334 dan 8398, Hakim: 4/188)
[5] Dinukil dari “ Al-Muwaafaqoot”(2/444-446), Imam Syathibi dengan sedikit perubahan ringkasan
[6] Dinukil dengan sedikit ringkasan dan perubahan dari “ al-Muwaafaqoot”(4/ 281-282), Imam Syathibi, dan lihat “Madaarijus Saalikiin” (1/ 48-49)
[7] Dinukil dengan sedikit ringkasan dan perubahan dari “al-Furqon baina Awliya Ar-Rahmaan wa awliya Asy-Syaithan”, hal. 61-62, dan lihat “Wilaayatullah wa ath-Thariq ilaihaa”, hal. 252-254.
[8] (HR. Ahmad, Nasai, dari sahabat Ibnu Abbas)
[9] HR. Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud
[10] Muttafaq ‘alaih
[11] HR. Muttafaq ‘alaihi dari sahabat Anas .
[12] (HR. Muslim (1/53), Bukhori di “Al-Adbul Mufrod” no: 980, dll, dari Abu Hurairah)
Leave a Reply