Siapa itu ASIYAH BINTI MUZAHIM radhiallahu ‘Anha ?. Asiyah adalah istri raja yang mengaku menjadi tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Ia adalah teladan terbaik bagi istri – istri Nabi dan salah satu wanita surga yang paling utama. Ia adalah contoh yang paling baik bagi wanita -wanita mukminah, yang (Namanya) tetap disebut -sebut hingga hari kiamat, tidak akan terputus. Ia telah mengguncang singgasana kekafiran serta mengentarkan lantai kesyirikan dan paganism. Ia disebutkan berderetan dengan penghulu Wanita Bani Israil, Maryam binti Imran.
Keimanan begitu menghujam. Hubungannya (dengan Allah) sangat kuat. Pemahamnya begitu mendalam. Tutur katanya lemah lembut. Cara berfikirnya sangat cerdas dan cermat. Cita-citanya adalah (mengabdi kepada) Allah. Diantara kesaksian – kesaksian islam yang telah ia peroleh adalah;
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
سَيِّدَاتُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ: مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَآسِيَةُ
Artinya:
“Wanita surga yang paling utama adalah: Khadijah binti Khuwalid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim -istri Fir’aun.”[1]
Al Qur’anul Karim telah sekilas menyebutkan kisah tentang Asiyah binti Muzahim -semoga Allah meridhoinya- yang disebutkan dalam dua peristiwa:
Peristiwa pertama, ketika keluarga Fir’aun memungut Musa. Musa jatuh ke tangan yang kotor, berlumuran dosa lagi buruk. Namun , ia memiliki kemampuan untuk melawan secara terang–terangan, tanpa tedeng aling-aling. Ia telah menghadapi Fir’aun, Hamam, dan bala tentaranya.
Mereka terus membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir dari kaum Musa, karena mengkhawatirkan kerajaan, singgasana, dan anak keturunan mereka. Mereka pun menyebar mata-mata dan telik sandi.
Namun takdir berbicara lain, “wahai raja yang sombong dan terperdaya atas banyaknya bala tantara; sangat kejam menyiksa dan banyak yang mengikuti kekuasaanmu, (ketahuilah bahwa) Allah yang Maha Agung tidak dapat dikalahkan dan tidak dapat dicegah serta tidak dapat ditentang takdir-Nya. Dia telah menetapkan bahwa bayi itulah yang sangat kamu khawatirkan dan karenanya telah membunuh jiwa–jiwa yang tidak berdosa dan tidak terhitung lagi jumlahnya. Ketahuilah bahwa bayi tersebut dipelihara di dalam rumahmu sendiri, di atas ranjangmu, makan dan minum di rumahmu. Kamulah yang mengangkatnya menjadi anak, mendidiknya dan menyiapkanya. Namun, kamu tidak mampu menengok rahasia di balik itu semua. Kemudian kehancuranmu, baik di dunia maupun di akhirat, berada di tangan-Nya. Sebab, kamu menyelisihi kebenaran nyata yang disampaikan, mendustakan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Ketahuilah olehmu dan seluruh makhluk bahwasanya Rabb penguasa langit dan bumi berbuat sesuatu dengan kehendak-nya. Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa, memiliki siksa yang amat pedih. Kehendak-Nya tidak dapat dilawan!” [2]
Agar ia menjadi musuh bagi mereka yang akan menantang mereka, serta akan menjadi kesedihan yang bakal dimasukkan kedalam hati mereka. Allah Ta’ala berfirman:
فَالْتَقَطَه اٰلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَّحَزَنًاۗ اِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامٰنَ وَجُنُوْدَهُمَا كَانُوْا خٰطِـِٕيْنَ
Artinya:
“Maka dia dipungut oleh keluarga Fir‘aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sungguh, Fir‘aun dan Haman bersama bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (QS. Al-Qashash [28]: 8)
Serta firman Allah Ta’ala:
وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُ ۖ عَسى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَه وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
Artinya:
“Dan istri Fir‘aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak,” sedang mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Qashash [28]: 9)
Tangan takdir telah memasukkannya ke dalam keluarga Fir’aun, yaitu kedalam hati istrinya; yang sebelumnya telah memasukkannya ke dalam benteng pertahanannya (lingkungan istananya). Istri Fir’aun telah menjaganya dengan cinta, yaitu sebuah tabir yang halus dan lembut. Tidak dengan senjata, kedudukan, ataupun harta benda. Ia menjaganya dengan cinta kasih yang ada dalam hati seorang Wanita. Cinta itulah yang melawan kekerasan, kebengisan, ambisi, dan ancaman Fir’aun.
Peristiwa kedua, keimanannya melalui tukang sisir kerajaan. Wanita-wanita mukminah dan shalihah mulai bergerak merayap menuju agama Allah serta mengabdikan kepada dakwa Islamiah dengan cara, metode, dan wasilah. Salah seorang dari mereka tak pernah lalai sesaat pun dari amar ma’ruf nahi munkar. Bersama kita saat ini seorang wanita mukminah yang giat, yang mampu menjadi sebab datangnya hidayah kepada seorang istri dedengkot orang-orang kafir-semoga Allah melaknat Fir’aun-. Semoga Allah merahmati wanita da’iyah yang berprofesi sebagai tukang sisir kerajaan ini.
Abu Aliyah Rahimahullah menuturkan, “Keimanan istri Fir’aun muncul karena keimanan dari tukang sisir kerajaan Fir’aun. Pada suatu hari, ia duduk menyisir rambut putri Fir’aun, lalu sisir tersebut jatuh dari tangannya. Maka tiba-tiba ia berkata, ‘Celakalah orang yang kafir kepada Allah’. Putri Fir’aun berkata, ‘Berarti, kamu punya tuhan lain selain bapakku?’ Ia menjawab,’Ya. Tuhanku, Tuhan ayahmu, dan Tuhan segala yang ada ini adalah Allah.’
Maka putri Fir’aun menampar wajahnya dan mengadukan hal itu kepada ayahnya. Kemudian, Fir’aun pun memanggilnya. Ia bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu menyembah Tuhan selain aku?’ Ia menjawab, ‘Ya. Tuhanku, Tuhanmu dan Tuhan segala yang ada ini adalah Allah. Kepada-Nya aku beribadah.’
Maka, Fir’aun menyiksanya dengan memasang empat tiang kemudian mengikat kedua tanggan dan kedua kakinya. Lalu meletakkannya bersama kawanan ular. Hingga suatu hari, Fir’aun datang dan menanyainya,’Sudah berhentikah kamu?’ Ia menjawab,’Ya. Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan segala yang ada ini adalah Allah.’ ‘Kalau begitu, akan aku sembelih anakmu karena ucapanmu, jika kamu tidak meninggalkan agama mu itu,’ kata Fir’aun. ‘Lakukanlah apapun sesuka hatimu’ jawabnya tegar.
Maka Fir’aun menyembelih anaknya karena ucapannya. Ruh anaknya tersebut memberikan kabar gembira kepadanya, ‘Bergembiralah, wahai ibunda! Sesungguhnya engkau mendapatkan pahala begini dan begini.’ Maka, ia pun bersabar.
Pada hari yang lain, Fir’aun datang dan bertanya seperti sebelumnya. Kemudian, anaknya yang lain disembelih pula karena ucapannya. Ruh anaknya itu juga memberikan kabar gembira seraya berkata,’Bersabarlah, wahai ibunda! Sebab di sisi Allah, engakau mendapatkan pahala begini dan begini.’”
Abu Aliyah melanjutkan,”Istri Fir’aun mendengar ucapan ruh anaknya yang paling besar, lalu yang paling kecil. Maka, istri Fir’aun pun beriman. Allah mencabut nyawa wanita penjaga keluarga Fir’aun tersebut dan memperlihatkan pahala, kedudukan, dan kemuliaannya di surga kepada istri Fir’aun. Keika ia melihatnya, maka keimanan, keyakinan, dan pembenarannya semakin bertambah…”[3]
Tidak diragukan lagi bahwa istri Fir’aun mendengar atau melihat langsung proses pengadilan yang zhalim terhadap wanita tukang sisir itu. Ia melihat langsung keteguhan wanita mukminah tersebut, dan kegigihanya dalam memegang agama. Di jalan Allah, ia tidak takut pada celaan orang yang mencela. Bahkan, ia mengatakan keimanannya secara terang-terangan. Ia menyatakan secara tegas keesaan Allah di negeri kafir.
Keimanan yang mendalam ini, yang mampu menguncang gunung sedangkan keimanan itu sendiri tidak terguncang. Muncul dari tukang-tukang sihir Fir’aun yang telah menyatakan keimanannya kepada Rabb Musa dan Harun ‘alaihisalam. Mereka berkata kepada Fir’aun, sebagaimana tertera dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:
قَالُوْا لَنْ نُّؤْثِرَكَ عَلٰى مَا جَاۤءَنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالَّذِيْ فَطَرَنَا فَاقْضِ مَآ اَنْتَ قَاضٍۗ اِنَّمَا تَقْضِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا ۗ {٧٢}
اِنَّآ اٰمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَغْفِرَ لَنَا خَطٰيٰنَا وَمَآ اَكْرَهْتَنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِۗ وَاللّٰهُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى (٧٣)
Artinya:
“Mereka (para penyihir) berkata, “Kami tidak akan mengutamakanmu daripada bukti-bukti nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami (melalui Musa) dan daripada (Allah) yang telah menciptakan kami. Putuskanlah apa yang hendak engkau putuskan! Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan (perkara) dalam kehidupan dunia ini. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami agar Dia mengampuni semua kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami. Allah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha (20) : 72-73)
Mereka (para pesihir) berkata, “Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini. Kami benar-benar telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).”
Wanita tukang sisir putri Fir’aun itu juga berkata,”Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan! Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.”Dan, ungkapan inilah yang juga akan dikatakan istri Fir’aun, Asiyah binti Muzahim.
Pada hari pertemuan dua pasukan besar, antara Musa ‘Alaihissalam dan para pengikutnya – semoga keselamatan dari Allah menaungi mereka- dan Fir’aun dan para pengikutnya -semoga laknat Allah menimpa mereka- istri Fir’aun bertanya tentang siapa yang menang. Ada yang menjawab,”Yang menang adalah Musa dan Harun.” Maka ia mengatakan,”Aku telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa.”
Akhirnya Fir’aun memanggilnya seraya berkata (pada orang-orang),”Carikan batu paling besar yang dapat kalian temukan! Bila wanita itu masih tetap dalam ucapannya, lemparkan batu tersebut ke tubuhnya! Namun bila ia menarik Kembali perkataannya, ia adalah istriku.” Ketika orang-orang sudah membawakan batu besar, Asiyah mengadahkan tanggannya ke langit. Ia melihat rumahnya yang ada di surga. Akhirnya ia masih mempertahankan ucapannya, lalu ruhnya diambil. Batu besar tersebut ditimpakan ke tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.[4] Dengan demikian Asiyah selamat dari siksaan pukulan batu yang akan dibenturkan oleh utusan Fir’aun.
Dari Abu Utsman al Hindi dari Salman al Farisi, “Asiyah disiksa diterik matahari maka ketika dia tersengat panasnya matahari para malaikat menaungi dengan sayap-sayap mereka,”[5]
Mereka menyiksanya, sedangkan ia senantiasa tersenyum setiap kali melihat rumahnya yang ada di dalam surga. Maka Fir’aun berkata, “Tidakkah kalian merasa heran atas kegilaannya? Kita meyiksanya, tapi ia masih tertawa.”[6]
Dengan kesabaran, keteguhan, dan rasa takutnya kepada Allah, maka Asiyah berhak menjadi suri tauladan yang agung bagi kaum wanita yang beriman, taat, bertaubat, mengerjakan ibadah, berjuang di jalan Allah, berpuasa, dan mengerjakan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِين
Artinya:
“Dan Allâh membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Fir’aun, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim”. [QS. At-Tahrîm/66: 11]
Semoga Allah meridhainya. Ia memohon kepada Allah untuk bisa berada di sisi Allah sebelum ia memohon sebuah rumah di surga. Dalam Riwayat ma’tsur disebutkan bahwa istri Fir’aun telah beriman sejak ia berada di istana Fir’aun. Boleh jadi ia adalah seorang wanita Asiawiah yang masih beriman kepada agama samawi sebelum Musa ‘Alaihissalam. Kalangan Asiawiah berada di atas agama selain agama orang-orang Mesir, Wallahu a’lam.
Doa istri Fir’aun dan sikapnya adalah suri tauladan terkait sikap meremehkan terhadap segala perhiasan dunia yang telah mencapai puncaknya. Ia istri Fir’aun, seorang raja bumi yang paling berkuasa saat itu. Ia tinggal di istana Fir’aun, tempat yang paling nyaman yang menyediakan segala yang diinginkan oleh seorang wanita. Meski begitu, keimanannya menganggap remeh itu semua. Ia menganggapnya sebagai sebuah keburukan, kotoran, dan musibah. Ia berlindung kepada Allah darinya dan merasa jijik dari efek buruknya. Ia memohon kepada Allah keselamatan dari hai-hal tersebut.
Sumber dari:
Wanita Teladan Sepanjang Zaman, DR. Mushthafa Murad, WIP(Wacana Illmiyah Press), cetakan ke III: Juli 2020 M/ Dzulqadah 1441H, hal .22-33
Diringkas oleh: ummu Nabilah siti staff DQH
[1] Hadits shahih yang diriwatkan oleh Ahmad, Thabrani, Thahawi, dan Dhiya’ dari Ibnu Abbas. Dishahihkan oleh Suyuthi dan Al -Albani.Lihat Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, Nashirudin Al -Albani, hadits no. 1135 dan As-Silsilah ash-Shahihah, Nashiruddin Al-Albani, hadits no. 508
[2] Silakan merujuk Al- Bidayah wan hihayah, karya Hafizh Ibnu Katsir,(I/221) dan Qashashul Anbiya’, karya Hafizh Ibnu Katsir.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/394)
[4] Lihat tafsir Ibnu Katsir(III/394) dan Tafsir Al-Qurthubi (XX/203)
[5] Lihat Jami’ Li Ahkamil Qur’an 7/179
[6] Ibid
Baca Juga :
Leave a Reply