Romadhon tidak terasa telah berlalu. Sungguh sedih rasanya kita meninggalkannya. Tetapi apalah daya, kita harus berpisah dengannya, sambil menanti Romadhon tahun depan.
Sekarang kita berada di bulan Syawwal. Bulan yang kita di-sunnah-kan untuk berpuasa enam hari di dalamnya. Melaksanakannya tidak diharuskan untuk berurutan, tetapi bisa dipisah-pisah selama masih di bulan Syawwal. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa (di bulan) Romadhon, kemudian dia mengiringinya dengan (berpuasa) enam (hari) di bulan Syawwal, maka seolah-olah dia telah berpuasa sepanjang masa (satu tahun-pen).”[1]
Pada bulan ini juga –berdasarkan pendapat sebagian ulama- di-sunnah-kan untuk menikah atau menikahkan anak perempuan kita, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menikahi ‘Aisyah radhiAllohu ‘anha pada bulan ini. Menurut keyakinan kaum Jahiliyah dulu, bulan Syawwal adalah bulan sial, sehingga mereka tidak mau menikah atau menikahkan anak perempuannya pada bulan ini.
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى. قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِى شَوَّالٍ.
Dari ‘Aisyah radhiAllohu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam menikahiku di bulan Syawwal dan menggauliku juga di bulan Syawwal. Tidak ada istri-istri Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam yang lebih beruntung daripadaku.” (Seorang rawi) berkata, “ ‘Aisyah memandang bahwa di-sunnah-kan untuk mengawinkan kaum wanita di bulan Syawwal.”[2]
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini berkata, “Hadits ini menunjukkan di-sunnah-kannya menikahkan (wanita), menikahi dan menggaulinya (untuk pertama kali) di bulan Syawwal. Ulama-ulama kami telah menyebutkan hal ini. Mereka berdalil dengan hadits ini. Maksud dari perkataan ‘Aisyah radhiAllohu ‘anha adalah untuk membantah apa yang diyakini pada masa jahiliah dan apa yang merupakan takhayyul orang-orang zaman sekarang. Mereka membenci untuk menikahkan, menikah dan menggauli (istri) pada bulan Syawwal. Ini semua adalah batil dan tidak ada asalnya.” [3]
Pada bulan ini juga terdapat kemungkaran yang banyak dikerjakan oleh kaum muslimin. Mereka membuat hari raya baru pada tanggal 8 Syawwal. Mereka menyebutnya dengan ‘Idul-Abrar atau di masyarakat kita sering disebut dengan Lebaran Ketupat, yaitu lebaran setelah berhasil berpuasa enam hari di bulan Syawwal. Lebaran (hari raya) seperti ini tidak ada dalil, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita memperingatkan kaum muslimin agar jangan ikut-ikutan dalam merayakannya, karena hal itu adalah hal baru dalam agama Islam.
Pada bulan Syawwal kebanyakan kaum muslimin pada zaman ini menganggap bahwa ‘Idul-Fithri adalah hari pembalasan/hari pertanda untuk kembali meninggalkan berbagai macam ibadah yang telah dilakukan di bulan Romadhon atau hari untuk kembali berbuat maksiat. Na’udzubillah min dzalika.
Masjid-masjid yang tadinya setiap sholat lima waktu di bulan Romadhon penuh dengan jamaah, apalagi pada waktu Subuh, kok malah menjadi sepi setelah kepergian bulan Romadhon.
Rumah-rumah kaum muslimin yang tadinya di bulan Romadhon dipenuhi dengan bacaan Al-Qur’an, kok malah menjadi seperti bar yang dipenuhi dengan musik-musik.
Para wanita yang tadinya terbiasa berpergian dengan memakai busana muslim, kok malah menanggalkannya dan bahkan tidak malu-malu untuk mempertontonkan auratnya.
Orang-orang yang di bulan Romadhon rajin bersedekah dan memberi makan kaum fuqara’, kok malah tidak bersedekah sama sekali.
Sungguh berubah bukan pemandangan kaum muslimin setelah bulan Romadhon?!
Ibadah di bulan Romadhon tidak diragukan sangat mudah kita laksanakan, sangat banyak dan sangat beragam (variatif). Pada bulan itulah, sebenarnya kita harus melatih diri kita untuk bisa ber-istiqomah pada bulan-bulan setelahnya sampai datang Romadhon berikutnya.
Kita tidak dituntut untuk beribadah sebanyak apa yang kita lakukan di bulan Romadhon, tentunya itu sangat berat sekali. Akan tetapi, kita harus berusaha untuk mempertahankan ibadah-ibadah yang pernah kita lakukan di bulan Romadhon meskipun lebih sedikit, tetapi tetap istiqomah, yaitu tetap menjalankan ibadah-ibadah tersebut secara berkesinambungan tanpa henti-henti hingga akhir hayat kita nanti.
Alloh subhanahu wa ta’ala memberikan ganjaran yang besar bagi orang yang beriman dan dapat ber-istiqomah dengan firman-Nya:
(( إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ () أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ))
(13) “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan “Tuhan kami ialah Alloh” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqomah), maka tidak ada ada ketakutan pada diri mereka dan tidaklah mereka bersedih. (14) Mereka adalah penghuni-penghuni surga yang kekal di dalamnya, sebagai ganjaran atas apa yang mereka amalkan.” (QS Al-Ahqôf : 13-14)
Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadits berikut:
عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : (( يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ. ))
Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash bahwasanya Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullah! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan sholat malam kemudian dia meninggalkannya.”[4]
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita tetap menjalankan ibadah-ibadah yang dulu kita kerjakan di bulan Romadhon, meskipun jumlahnya tidak sebanyak itu.
Alloh subhanahu wa ta’ala menyukai amalan-amalan yang dilakukan secara terus-menerus meskipun sedikit. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
(( يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ )).
“Wahai manusia! Kerjakanlah amalan-amalan yang kalian mampu! Sesungguhnya Alloh tidak akan bosan sampai kalianlah yang merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Alloh adalah yang berkesinambungan walaupun sedikit.”[5]
Agar dapat selalu ber-istiqomah dalam beribadah kita bisa menempuh cara-cara sebagai berikut:
- Mengerjakan seluruh kewajiban, seperti: sholat lima waktu, zakat, haji bagi yang mampu, memberi nafkah istri, memberikan hak-hak orang lain, berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang di sekitar kita.
- Mengerjakan amalan-amalan sunnah yang mudah kita lakukan dan bisa dibanggakan di hadapan Alloh nanti, seperti: memperbanyak sholat malam, bersedekah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, membaca dzikir-dzikir dan doa-doa dll.
- Menjauhi segala perbuatan yang diharamkan, seperti: meninggalkan kewajiban, berzina, melihat aurat yang bukan mahramnya, berjudi, menyakiti orang lain, menggunjing orang lain dll.
- Menjauhi hal-hal yang makruh (dibenci), meskipun tidak sampai jatuh kepada perbuatan yang haram.
- Menghindari hal-hal mubah (boleh/halal) yang kita tidak terlalu memerlukannya, seperti: makan dengan berbagai hidangan yang mahal, membeli mobil yang sangat mewah, alat-alat elektronik yang canggih dan mahal dll yang kita sebenarnya tidak terlalu memerlukannya.
- Terus-menerus beribadah sampai ajal menjemput.
- Berteman dengan orang-orang yang soleh yang selalu bisa menasihati kita dalam kebaikan.
- Menghadiri majelis-majelis ta’lim dan menjauhi majelis-majelis yang melalaikan dari beribadah kepada Alloh, seperti: majelis senda-gurau, membicarakan hal-hal yang tidak penting, membicarakan kemewahan dunia dll.
Demikianlah beberapa hal yang bisa penulis sampaikan. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang lalai setelah berpisah dengan bulan Romadhon dan bisa tetap istiqomah sampai ajal menjemput kita. Amin.
Tamma bi fadhlillah wa karamihi. Walhamdulillahi rabbil-‘alamin.
Daftar pustaka:`
- Al-Istiqômah, Haqîqotuhâ, Asbâbuhâ wa Atsaruhâ. Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak.
- As-Sunan wal-Mubtada’at Al-Muta’aliqah bil-Adzkar wash-Sholawât. Muhammad Abdussalam Al-Khadhir.
- Tsawâbitul-Îmân ba’da Romadhôn. Sholah Sulthon.
- Dan lain-lain sebagaimana telah dicantumkan di catatan kaki.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 02 Tahun 02
[1] HR Muslim no. 2815
[2] HR Muslim no. 3538
[3] Lihat Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi.
[4] HR Bukhari no. 1152
[5]HR Al-Bukhari no. 5861
Leave a Reply