Membicarakan infak, Al-hamdulillah, fenomena yang Nampak ditengah kaum muslimin, mereka sangat antusiasi menyisihkan sebagian kekayaannya di jalan Allah. Penggalangan dan penyadaran berinfak marak dimana-mana. Tak sedikit dana infak yang tersalurkan kepada yang berhak menerimanya. Sungguh hal ini merupakan sebuah pemandangan yang menggembirakan.
Perbuatan yang baik ini, tentunya perlu mendapat perhatian dan motivasi ekstra, Karena infak memiliki nilai yang sangat penting. Yaitu sebagai wujud kepedulian sebagai muslim, seperti kepada masyarakat yang kurang mampu, pembangunan sarana pendidikan islam, penguatan sektor ekonomi, menciptakan suasana keakraban dan kasih sayang, serta senasib-sepenanggungan antara sesama muslim.
Seringkali Allah menyandingkan antara shalat dengan infak. Sebabnya shalat adalah hak Allah dan jembatan untuk mendekatkan diri kepada-nya. Di dalam shalat terkandung unsur tauhid, sanjungan dan pujian kepada Allah. Sedangkan infak, adalah prilakuan baik kepada sesama dengan sesuatu yang bermanfaat. Pihak yang paling berhak menerimannya, ialah kaum kerabat, keluarga, hamba sahaya dan orang-orang asing (yang membutuhkan) yang tidak terikat dengan pertalian keluarga.
MANFAAT INFAK DALAM PEMBENTUKAN MAYARAKAT YANG KUAT DAN KOKOH
Salah satu sifat kaum muttaqin(orang-orang yang bertakwa)yang termaktub dalam surat al-baqarah, mereka menyisihkan sebagian rizki yang mereka terima untuk diinfakkan di jalan Allah.
الم, ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Alif laam miim, Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“ (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Keperdulian melakukan perbuatan yang simpatik itu. terdorong oleh pengakuan hati, bahwa harta kekayaan yang di perolehnya adalah milik Allah. Harta adalah amanah dari-nya, yang nantinya akan di tanyakan bagaimana cara mengelolah dan mendistribusikannya.
Dengan pengakuan ini, maka akan mampu mendorong munculnya rasa soledaritas dan ingin berbagi kepada sesama umat manusia, terutama kaum dhu’afa (orang-orang lemah). perasaan senasib – sepenanggungan tertanam dengan kuat dalam hati mereka. Keimanan telah memotivasinya untuk berderma kepada sesama yang membutuhkan. Rasulullah bersabda: “Sedekah adalah burhan (bukti keimanan.”
Dari sisi sini, jiwa akan menjadi bersih dari sifat kikir dan bakhil. Kehidupan akan di penuhi dengan ketenangan, saling memahami, saling bekerjasama antara anggota masyarakat. Suasana kehidupan akan terhindar dari pertikanian dan permusuhan.
Apabila dengan situasi ketika harga kebutuhan semakin mahal. Beras seolah menjadi barang mahal bagi sebagian keluarga. Sehingga tak terhindarkan, nasi aking pun menjadi santapan rutin setiap harinya. Kebutuhan lainya kian melambung tinggi dan sebagian barang sulit dijumpai. Dalam kondisi berat seperti ini,uluran tetangga, para dermawan ataupun bantuan finansial dan material. tentu akan menggembiarkan dan mengobati kepedihan para kaum dhuafa. Hidup bagi mereka menjadi lebih bersahabat.
KAPAN BERINFAK?
Bersedekah dan berinfak merupakan perbuatan terpuji dan termasuk sifat dari orang-orang pilihan. Jika demikian, lantas kapan seseorang semestinya menyisihkan pendapatannya untuk berifak? Apakah seseorang yang berinfak harus terlebih dulu menjadi seorang hartawan yang kaya raya dan berlimpah uang, baru kemudian menyedekahkan sebagian hartanya? Ataukah bagaimana?
Para sahabat pernah menanyakan permasalahan ini kepada rasulullah, yaitu untuk bersedekah. Pertanyaan mereka terjawab melalui firman Allah berikut :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.
Ayat diatas memuat pertanyaan mengenai kadar harta yang diinfakkan. Kemudian Allah memudahkan urusan ini dan memerinthkan mereka untuk menginfakkan harta yang ringan menurut mereka, tidak berkait dengan kebutuhan dn keperluan mendesak mereka. Atau dengan bahasa lain. Harta yang diinfakkan diambilkan dari harta yang sudah melebihi kebutuhan yang tidak bisa dikesampingkan.
Keterangan ini bertolak diri makan kata al-afwu yang termaktub dalam ayat yang mulia diatas. Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanad hasan dari Ibnu Abbas. al-afwu, berarti kadar yang melebihi kebutuhan keluarga.
Tidak beda dengan keterangan di atas, Imam Al-qurthubi mendefinisinikannya sebagian sesuatu yang ringan. berlebih (sisa), dan seseorang tidak merasa berat untuk mengeluarkan (melepaskannya). Lebih lanjut, beliau menjelaskan tentang ayat di atas:
“pengertiannya, berinfaklah dengan (nominal) yang sudah melebihi kebutuhan. Dan tidak mengganggu diri kalian. Agar kalian tidak menjadi orang-orang yang bergantung kepada orang lain nantinya”
Terlintas dalam penuturan Imam AL-qurthubi, manfaat dari ketetapan tersebut. Yaitu supaya seseorang tidak malah mengalami kekurangan setelah berinfak. hingga membutuhkan bantuan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.
Seseorang kalau mengeluarkan sedekah yang banyak bisa menyesal dan malah membutuhkan (bantuan orang lain). Memberikan sedekah dengan jumlah sedikit, tetapi dilakukan dari waktu ke waktu lebih membekas pada keimanan dan lebih bermanfaat bagi hartanya.
Keterangan diatas merujuk sabda Rasulullah :
“Sebaik-baik sedekah, ialah sedekah yang dikeluarkan di luar kebutuhan. (Hr. Bukhori dan Muslim).
Jumhur ulama mengertikan hadits di atas, yaitu dalam infak-infak yang bersifat tathawwu (sukarela).
BAGAI MANA DENGAN ABU BAKR ASHDDIQ?
Sejarah menceritakan Abu bakr asiddiq ialah seorang yang sangat dermawan. Kontribusi finansialnya di jalan Allah begitu besar. Pada suatu hari Rasulullah memobilisasi sahabat untuk bersedekah. Kemudian Abu Bakr menyerahkan seratus persen kekayaannya kepada Rasulullah. Sepersen pun tidak di sisakan bagi keluarganya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
“Dari umar bin al-khaththab, ia berkata: ”rasulullah memerintahkan kami untuk bersedekah. Perintah ini bertepatan dengan kondisiku yang sedang memiliki sejumlah kekayaan. Lantas aku berkata: Hari ini, aku akan mengalahkan Abu Bakr, karena aku tidak pernah mengalahkan walau sehari saja, maka aku pun datang dengan membawa separo dari hartaku. Rasulullah bertanya kepadaku; Apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu? Aku menjawab : Semisalny; kemudian datanglah Abu Bakr dengan membawa seluruh hartanya.Rasulullah bertanya kepadanya? Apa yang engkau tinggalkan bagi keluargamu? Ia menjawab: Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasulnya: ”Aku (umar)berkata: Aku tidak akan mampu mengalahkan Abu Bakr selamanya.” (Hr Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh al-bani).
Imam Al-baghawi telah memadukan keterangan para ulama diatas dengan perbuatan Abu Bakr dengan berkata: Yang terbaik ia lah seseorang hendaknya menyedekahkan harta di luar kebutuhannya dan menyisakan untuk keperluan dirinya. Karena dikhwatirkan dilanda cobaan kemiskinan. Bila itu terjadi, bisa saja dia menyesali perbuatannya (berinfak) sehingga terhapuslah pahalanya lalu menjadi beban orang lain. Rasulullah tidak mengingkari Abu Bakr yang menyedekahkan seluruh hartanya. Karena mengetahui kekuatan iman dan kebeneran tawakkalnya. Dan beliau tidak mengkhwatirkan fitnah atas diri Abu Bakr, seperti yang dikhwatirkan terjadi pada orang lain.
Adapun seseorang yang bersedekah, sementara keluarganya membutuhkan atau masih terlilit hutang dalam keadaan seperti ini maka melunasi hutang dan mencukupi kebutuan keluargannya itu lebih utama. Kecuali jika ia seorang yang penyebar dan mengutamakan orang lain atas dirinya meskipun membutuhkan, seperti yang dilakukan Abu Bakr. Begitu pula yang dilakukan kaum Anshar yang telah mengutamakan kaum muhajirin. Allah telah memuji mereka dalam firmannya:
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَ ايَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin). dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”
Syaikh asy-syinqithi dengan menukil keterangan dari sejumlah ulama, beliau ingin mendudukan persoalan ini.Kata beliau: Masing-masing kesempatan memiliki cara tersendiri. Suatu saat perbuatan itsar (mengutamakan orang lain dengan bantuan materi) terlarang. Demikian ini manakalah ada sejumlah biyaya yang wajib ditanggung seseorang yang berinfak. Misalnya tanggungan nafkah bagi istri-istri dan lain-lain. Kemudian dia berinfak pada bagian yang tidak wajib dengan meninggalkan kewajibannya. (ini itsar yang terlarang). Berdasarkan sabda Rasulullah : “Dan mulai lah dengan orang-orang yang menjadi tanggunganmu” (HR Muslim)
KESIMPULANNYA: Infak diambilkan dari harta yang sudah berlebih, di luar kebutuhan primer. Tujuannya supaya tidak berpengaruh pada anggaran kebutuhan pokok rumah tangga, dan hal ini tergantung pada kondisi seseorang. Wallahu a’lam.
DITULIS OLEH : USTAD ABU MINHAL
DISALIN : USTADZAH ANITA SARI (PENGAJAR PONPES DARUL-QUR’AN WAL-HADITS OKU TIMUR)
DIAMBIL DARI : MAJALAH AS-SUNNAH EDISI 03/Th.XII/1429H/2008M
BACA JUGA:
Leave a Reply