Renungan Pemutus Kenikmatan Dunia

RENUNGAN PEMUTUS KENIKMATAN DUNIA

Renungan Pemutus Kenikmatan Dunia

 

Ketahuilah bahwa kematian merupakan ketetapan Allah  yang pasti terjadi. Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tentu mengimani ketetapan Allah berupa kematian. Atas dasar inilah seorang muslim yang hidup di dunia wajib muhasabah (intropeksi diri) sebelum kematian menjemputnya.

Manakala seorang maninggal, bisa jadi ia adalah seorang yang sangat dicintai oleh keluarganya, dihormati oleh kerabatnya, dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Namun ia akan tinggal di liang lahat. Tidak ada harta yang dapat dibawa kecuali secarik kain kafan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Artinya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.(QS. Ali Imran: 3/185)

Pernahkah kita melihat gelapnya kuburan dan melihat sempitnya ruang didalamnya? Pernahkah kita membayangkan kedahsyatan alam kubur? Sadarkah kita bahwa kuburan itu dipersiapkan untuk kita dan untuk semua manusia? Bukankah kita sering melihat teman, orang tercinta dan keluarga diusung dari dunia fana ini ke alam kubur?

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pada suatu hari menasehati para sahabatnya: “Jika kalian melewati kuburan, panggilah mereka, jika engkau bisa memanggil. Lihatlah, betapa sempitnya tempat tinggal mereka. Tanyakanlah kepada orang-orang kaya dari mereka, masih tersisakah kekayaan mereka? Tanyakanlah pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masih tersisakah kemiskinan mereka? Tanyakanlah tentang lisan-lisan yang dengannya mereka berbicara, tentang sepasang mata yang dengannya mereka melihat. Tanyakan pula tentang kulit dan tubuh mereka, apa yang diperbuat oleh ulat-ulat di balik kafan-kafan mereka?

Lisan-lisan telah hancur, anggota badan telah berserakan. Lantas di mana teman dekat yang dulu setia? Di mana tumpukan harta dan sederet pangkat? Di mana rumah-rumah mewah yang banyak dan menjulang? Di mana kebun-kebun yang dicintai? Di mana kesengan dunia yang dulu pernah dinikmati? Bukankah sekarang berada di tempat yang sunyi, dan bukankah siang dan malam bagi penghuni kubur adalah sama.

Janganlah kita terpedaya dengan dunia? Renungkanlah tentang orang-orang yang telah pergi meninggalkan kita. Sungguh mereka amat berharap untuk bisa kembali ke dunia agar bisa menghimpun amal sebanyak-banyaknya. Tetapi, itu semua tidak mungkin terjadi.

Abdul Haq al-Isybily rahimahullah suatu ketika berkata: “Hendaklah orang yang berziarah kekuburan menghayalkan bahwa dirinya akan menyusul orang-orang yang dikubur sebelumnya. Kemudian hendaknya ia membayangkan tentang berubahnya warna kulit mereka, berserakannya anggota badan mereka. Ia juga harus merenungkan tentang terbelahnya tanah dan dibangkitkannya penghuni kubur. Merenungkan tentang bangkitnya setiap orang dari kuburnya dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan tanpa dikhitan. Semua sibuk dan panik dengan urusannya sendiri.

Mengapa kita terpedaya dengan kehidupan dunia. Tempat kembali kita adalah akhirat. Hari ini kita masih bisa bersenang-senang namun bisa jadi esok hari kita akan diusung ke kuburan. Maka, marilah kita bertaubat kepada Allah. Jalan itu masih mungkin sekali. Palingkanlah hawa nafsu kita karena takut kepada Allah dalam keadaan sunyi atau ramai. Jagalah selalu diri kita.

Dikisahkan bahwa ar-Robi’ bin Khutsaim sengaja menggali liang kubur di rumahnya. Ketika ia mendapati hatinya keras, maka ia masuk ke liang kubur tersebut. Ia menganggap dirinya telah mati, lalu menyesal dan ingin kembali ke dunia seraya membaca ayat:

رَبِّ ارْجِعُوْنِ ۙ لَعَلِّيْٓ اَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ

Artinya: “Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal sholih terhadap apa yang telah kutinggalkan (dahulu)”. (QS. Al-Mu’minun: 23/99-100)

Kemudian ia berkata: “Kini engkau telah dikembalikan ke dunia wahai ar-Robi’. “Setelah itu ar-Robi’ bin Khutsaim mendapati hari-hari setelahnya senantiasa dalam keadaan ibadah dan takwa kepada Allah.[1]

Allah Subhanahu Wata’ala  juga berfirman:

مُهْطِعِيْنَ مُقْنِعِيْ رُءُوْسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ اِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ ۚوَاَفْـِٕدَتُهُمْ هَوَاۤءٌ ۗ

Artinya: “mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. (QS. Ibrahim: 14/43)

Dan di ayat lainnya Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:

وَاَنْذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيْهِمُ الْعَذَابُۙ فَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا رَبَّنَآ اَخِّرْنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۙ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَۗ اَوَلَمْ تَكُوْنُوْٓا اَقْسَمْتُمْ مِّنْ قَبْلُ مَا لَكُمْ مِّنْ زَوَالٍۙ

Artinya: “Dan berikanlah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari (ketika) azab datang kepada mereka, maka orang yang zalim berkata, “Ya Tuhan kami, berilah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.” (Kepada mereka dikatakan), “Bukankah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?. (QS. Ibrahim: 14/44)

Ketahuilah, sesungguhnya kebaikan yang paling besar adalah kebaikan di akhirat yang abadi dan tidak berakhir, yang kekal dan tidak fana, yang terus berlanjut dan tak kenal putus. Hamba yang dimuliakan akan ditempatkan di sisi Allah mendapatkan segala hal yang menyenangkan dan menyejukkan. Mereka saling mengunjungi, bertemu, dan bercerita.

Jika kita meniti jalan Allah, niscaya kita akan mendapatkan kebahagian dan keberuntungan yang besar dalam waktu singkat. Namun jika kita mendahulukan syahwat, kesenangan dan main-main niscaya kamu akan mendapatkan kepahitan yang besar dan abadi di mana rasa sakit dan kepayahannya jauh lebih besar dari pada rasa sakit dan kepayahan karena bersabar untuk tidak melanggar yang diharamkan Allah dan kesabaran dalam melawan hawa nafsu karena-Nya.[2]

Kita harus mengakui, dosa telah tercatat dalam lembaran kehidupan kita, kemaksiatan demi kemaksiatan telah menorehkan luka menganga dan noda-noda hitam di dalam hati kita. Maha Suci Allah! Seolah-olah kita lupa hari kebangkitan, seolah-olah tidak ada hari pembalasan,  seolah-olah tidak ada Dzat yang Maha Melihat segala perbuatan dan segala yang terbesit di dalam benak pikiran.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. At-Tahrim: 66/8)

Allah menjanjikan balasan yang sangat agung bagi mereka yang bertaubat kepada-Nya dengan taubatan nasuha.

Syaikh Abdurrohman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang makna taubatan nasuha: “Yang dimaksud dengannya adalah taubat yang umum yang meliputi seluruh dosa, taubat yang dijanjikan hamba kepada Allah, dia tidak menginginkan apa-apa kecuali wajah Allah dan kedekatan kepada-Nya, dan dia terus berpegang teguh dengan taubatnya itu dalam semua kondisinya.”[3]

Ibnu Jarir Rahimahullah berkata dengan membawakan sanadnya sampai Nu’man bin Basyir, beliau (Nu’man) pernah mendengar ‘Umar bin Khothob Radhiyallahu Anhu berkata (membaca ayat) yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).”

Beliau (Umar) berkata: “(yaitu orang) yang berbuat dosa kemudian tidak mengulanginya.” (Atsar Riwayat Ibnu Jarir dalam Tafsirnya)

Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Umar pernah berkata: “Taubat yang murni adalah (seseorang) bertaubat dari dosanya kemudian dia tidak mengulanginya dan benar-benar tidak ingin mengulanginya.”

Abul Ahwash dan yang lainnya mengatakan, dari Samak dari Nu’man: “Bahwa Umar pernah ditanya tentang (makna) taubatan nasuha,  maka beliau menjawab: “Seseorang bertaubat dari perbuatan buruknya kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.”[4]

Syaikh Abdurrohman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyebutkan ada empat sebab yang akan memudahkan hamba meraih ampunan dari Allah:

Pertama: taubat, yaitu kembali dari segala yang dibenci Allah; baik lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya; baik lahir maupun batin, taubat itulah yang akan menutupi dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya; yang kecil maupun yang besar.

Kedua: iman, yaitu pengakuan dan pembenaran yang kokoh dan menyeluruh terhadap semua berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, yang menuntut berbagai amalan hati, kemudian harus diikuti dengan amalan anggota badan.

Ketiga: amal shalih, ini mencakup amalan, amlan anggota badan dan ucapan lisan, dan kebaikan-kebaikan (hasanaat) itulah yang akan menghilangkan keburukan-keburukan (sayyi’aat).

Keempat: konsisten (terus menerus) berada di atas keimanan dan hidayah serta terus berupaya meningkatkannya, barang siapa menyempurnakan keempat sebab ini maka berilah berita gembira kepadanya dengan magfiroh dari Allah yang menyeluruh dan sempurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Artinya: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”  (QS. Al-a’raf 7/23)

Mungkin ini saja sedikit ringkasan tentang tulisan ini, dan semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari apa yang kami sampaikan. Dan semoga kita semua senantiasa dalam lindungan dan ampunan Allah. Allahu a’lam.

Referensi

Sumber dari: Karya Ustadz Abdusy-Syakur Abu Fathi as-Salafy (MAJALAH AL-FURQON EDISI KE 10 TH KE 9)

Diringkas oleh: Lailatul Fadilah (Staf Pengajar Ponpes Darul Qur-an wal Hadits Oku Timur)

[1]  Dia adalah Umar bin Dzar bin Abdillah bin Zaraqah al-Hamdani al-Murhabi, seorang tabi’it tabi’in yang tsiqah, wafat pada tahun 135 H. Riwayat hidupnya ada dalam Tahdzibut Tahdzib (VII:144), Hilyatul Auliya (V:108)

[2]  Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (V:115-116). Wasiat Para Salaf. Penulis Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali Hafidzahullahu

[3]  Tafsir Karimirrohman, hal.874

[4]  Lihat tafsir al-Qur’an al-Azim karya Imam Ibnu Katsir, VI/134)

Baca juga artikel:

Membantah Al-Qur’an Adalah Kekafiran

Bolehkah Menempati Rumah Gadai Orang Yang Berhutang?

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.